Minggu, 29 Januari 2012

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KINERJA BANK MERGER DI INDONESIA (TAHUN 1998-2010)

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP
KINERJA BANK MERGER DI INDONESIA
(TAHUN 1998-2010)

RESEARCH PROJECT


Oleh:
RUDDY TRI SANTOSO
NIM: T4209012

PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
MINAT: MANAJEMEN KEUANGAN



UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh corporate governance terhadap kinerja keuangan bank merger di Indonesia. Corporate governance dalam penelitian ini diproksikan dengan variabel ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris independen, latar belakang dewan komisaris, rapat dewan komisaris, jumlah komite audit, proporsi komite audit independen, latar belakang pendidikan komite audit, rapat komite audit, dan struktur kepemilikan. Kinerja bank diukur dengan menggunakan pendekatan efisiensi yang diproksikan dengan DEA (Data Envelopment Analysis).
Egger dan Hahn (2010) menemukan bukti yang menguatkan pandangan bahwa bank melakukan merger ketika terjadi kondisi pasar eksternal yang tidak menguntungkan dan tujuan strategis merger adalah untuk meningkatkan profitabilitas. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Vernet (1996), pada perbankan yang melakukan merger di Uni Eropa berhasil membuktikan bahwa setelah merger terjadi adanya peningkatan efisiensi dalam biaya operasional. Egger dan Hahn (2010) mendukung pandangan bahwa ada efek positif merger pada kinerja perbankan. Franz (2007) dengan menggunakan DEA yang dikombinasikan dengan model Tobit menemukan bahwa bank-bank yang melakukan merger dan akuisisi mencapai efisiensi produktif yang lebih tinggi dibanding dengan bank yang tidak merger.
Merger bank di Indonesia dimulai pada saat krisis finansial tahun 1998 yang mengakibatkan perekonomian nasional mengalami krisis keuangan yang mengakibatkan terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap US Dollar yang disebabkan tingginya rasio pinjaman dalam bentuk mata uang US Dollar yang dilakukan oleh bank-bank devisa nasional pada waktu itu. Salah satu langkah pemulihan perekonomian nasional adalah dilakukannya penutupan beberapa bank swasta nasional dalam 2 (dua) tahap yaitu sebanyak 16 (enam belas) bank swasta pada tahap 1 dan 34 (tiga puluh empat) bank swasta pada tahap 2. Sebagai dampak kebijakan tersebut adalah pemerintah RI yang menanggung biaya dalam APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) karena penyaluran BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) terhadap bank-bank swasta nasional yang ditutup tersebut.
Data merger bank di Indonesia mulai tahun 1998 – 2010 dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini:
Tabel 1.1
Daftar Bank Yang Melakukan Merger dan Akuisisi di Indonesia
A. Merger
No Nama Bank Tahun Keterangan
1 Bank Nusa Nasional 1998 Merger dengan Bank Danamon Indonesia tahun 2000
2 Bank Mandiri 1999 -
3 Bank Artha Graha 1999 Merger menjadi Artha Graha Internasional tahun 2005
4 Bank Danamon 1999 Merger dengan Bank Danamon Indonesia tahun 2000
5 Bank Danamon Indonesia 2000 -
6 Bank Permata 2000 -
7 Bank OCBC Indonesia 2002 -
8 Bank Century 2004 Ganti nama menjadi Bank Mutiara tahun 2008
9 Bank Artha Graha Int 2005 -
10 Bank Windhu Kencana Internasional 2007 -
11 Bank CIMB Niaga 2008 -
12 Bank Indek Selindo 2008 -

B. Akuisisi
No Nama Bank Tahun Keterangan
1 Bank Hanvit 2000 Akuisisi dari Korea Commercial Surya & Hanil Tamara Bank
2 Bank Sumitomo Mitsui Indo 2001 Akuisisi dari Bank Sakura dan Bank Sumitomo Indonesia
3 Bank UFJ 2001 Akuisisi dari Bank Sanwa dan Tokai Lippo Bank
4 Bank Commonwealth 2008 Akuisisi dari Bank ANK dan Bank Commonwealth
5 Rabobank Int 2008 Akuisisi dari Bank Haga & Bank Hagakita

Keterangan:
*) Akuisisi dilakukan oleh Bank Asing yang mempunyai kantor cabang di Indonesia melalui pembelian Bank-bank lokal yang beroperasi di Indonesia

Data menunjukkan bahwa bank-bank hasil merger di Indonesia pada tahun 1998 – 2010 terdapat 9 (sembilan) buah bank hasil merger dan 5 (lima) buah bank hasil akuisisi. Hasil merger bank baik dalam satu kali tahapan merger seperti Bank Mandiri, Tbk yang merupakan hasil gabungan dari bank-bank pemerintah seperti Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Pembangunan Indonesia (BAPINDO) dan Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII) menghasilkan bank yang kuat kinerjanya dalam menghadapi kondisi perekonomian nasional; sementara itu terdapat bank yang melakukan dua kali tahapan dalam merger seperti Bank Nusa Nasional sebagai hasil bentukan dari Bank Nusa, Bank Nasional dan Bank Angkasa melakukan merger kembali dengan bank-bank lain menjadi Bank Danamon Indonesia, Tbk (BDI) yang terdiri dari penggabungan 9 (sembilan) bank yaitu: Bank Danamon, Bank Duta, Bank Jaya, Bank Nusa Nasional, Bank Pos Nusantara, Bank Rama, Bank Risjad Internasional (RSI), Bank Tamara dan Bank Tiara Asia. Hal ini juga terjadi pada bank Artha Graha yang melakukan merger dengan Bank Artha Prima menjadi Bank Artha Graha pada tahun 1999 dan kemudian pada tahun 2005 melakukan merger kembali dengan Bank Inter Pasific menjadi Bank Artha Graha Internasional, Tbk.
Phenomena yang muncul dari hasil merger dan akuisisi tersebut adalah banyak bank hasil merger dan akuisisi mempunyai kinerja yang bagus dalam menghadapi perubahan kondisi perekonomian nasional maupun global. Hal tersebut tidak berlaku bagi Bank Century, Tbk yang merupakan bank hasil merger dari Bank CIC Internasional, Tbk., Bank Pikko, Tbk dan Bank Danpac, Tbk pada tahun 2004. Kondisi yang dialami oleh Century, Tbk sebagai hasil pembentukan ketiga bank mengalami permasalahan keuangan pada saat krisis financial global pada tahun 2008; hal tersebut memerlukan kajian penelitian lebih detil untuk mengurai permasalahan yang timbul pada Bank Century, Tbk sedangkan bank-bank lain hasil merger dan akuisisi tidak mempunyai permasalahan keuangan pada tahun 2008 tersebut.
Tabel 1.2 berikut di bawah ini menggambarkan kinerja bank (dengan rasio efisiensi relatif yang dihitung dengan rasio DEA - Data Envelopment Analysis dan kinerja keuangan bank merger (yang dihitung dengan rasio ROA/Return on Assets dan ROE/Return on Equity.
Tabel 1.2
Rerata Rasio Kinerja Bank dan Rasio Kinerja Keuangan Bank
Hasil Merger dan Akuisisi di Indonesia
(Tahun 1998 – 2010)
No Nama Bank Rasio Kinerja Rasio Kinerja Keuangan
DEA ROA ROE
1
2
3
4
5
6
7
8
Bank Artha Graha Internasional, Tbk
Bank Mutiara, Tbk (d/h Bank Century, Tbk)
Bank Danamon Indonesia, Tbk
Bank Mandiri, Tbk
Bank Permata, Tbk
Bank CIMB Niaga, Tbk
Bank OCBC NISP, Tbk
Bank Windhu Kencana Internasional, Tbk 21.73%
44.17%
37.34%
100%
16.69%
85.09%
7.98%
3.14% 0.15%
-5.11%
2.35%
2.09%
1.16%
0.21%
1.43%
0.13% 1.74%
-95.70%
19.23%
20.51%
147.69%
1.63%
75.53%
0.74%

Dalam penelitian ini rasio kinerja bank yang dipergunakan adalah rasio efisiensi yang dihitung dengan metode DEA (Data Envelopment Analysis). Kinerja bank yang terlihat cukup kuat setelah merger dan akuisisi ini membuat sebuah phenomena bahwa merger dan akuisisi akan menyebabkan kinerja bank meningkat. Oleh karena itu penelitian ini menarik untuk dilakukan karena dapat menjelaskan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan bank hasil merger dan akuisisi tersebut meningkat kinerjanya? Apakah penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan sistem manajemen perusahaan yang benar memang akan memberikan dampak bagi peningkatan kinerja bank hasil merger dan akuisisi? serta pertanyaan mendasar yang perlu dijawab dan melatar belakangi penelitian ini tentang faktor-faktor/variabel-variabel apa saja didalam good corporate governance yang berpengaruh terhadap kinerja bank hasil merger dan akuisisi tersebut?
Penelitian ini akan menjelaskan secara terperinci tentang faktor-faktor/variabel-variabel dalam good corporate governance yang berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja bank sebagai hasil penggabungan usaha tersebut, serta menjelaskan hubungan pengaruhnya dan besarnya skala pengaruh terhadap masing-masing variabel yang signifikan tersebut.

B. Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang dan judul penelitian, maka yang menjadi permasalahan pada penelitian ini adalah:
1. Apakah jumlah dewan komisaris (DEKOM) berpengaruh terhadap kinerja bank merger di Indonesia?
2. Apakah proporsi komisaris independen (KOMIND) berpengaruh terhadap kinerja bank merger di Indonesia?
3. Apakah latar belakang pendidikan dewan komisaris (LBPDK) berpengaruh terhadap kinerja bank merger di Indonesia?
4. Apakah jumlah rapat dewan komisaris (RAKOM) berpengaruh terhadap kinerja bank merger di Indonesia?
5. Apakah jumlah komite audit (KOMA) berpengaruh terhadap kinerja bank merger di Indonesia?
6. Apakah proporsi komite audit independen (KAI) berpengaruh terhadap kinerja bank merger di Indonesia?
7. Apakah latar belakang pendidikan komite audit (LBPKA) berpengaruh terhadap kinerja bank merger di Indonesia?
8. Apakah jumlah rapat komite audit (RAKA) berpengaruh terhadap kinerja bank merger di Indonesia?
9. Apakah proporsi kepemilikan saham (OWN) berpengaruh terhadap kinerja bank merger di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pengaruh jumlah dewan komisaris (DEKOM) terhadap kinerja bank merger di Indonesia,
2. Mengetahui pengaruh proporsi komisaris independen (KOMIND) terhadap kinerja bank merger di Indonesia,
3. Mengetahui pengaruh latar belakang pendidikan dewan komisaris (LBPDK) terhadap kinerja bank merger di Indonesia,
4. Mengetahui pengaruh jumlah rapat dewan komisaris (RAKOM) terhadap kinerja bank merger di Indonesia,
5. Mengetahui pengaruh jumlah komite audit (KOMA) terhadap kinerja bank merger di Indonesia,
6. Mengetahui pengaruh proporsi komite audit independen (KAI) terhadap kinerja bank merger di Indonesia,
7. Mengetahui pengaruh latar belakang pendidikan komite audit (LBPKA) terhadap kinerja bank merger di Indonesia,
8. Mengetahui pengaruh jumlah rapat komite audit (RAKA) terhadap kinerja bank merger di Indonesia,
9. Mengetahui pengaruh proporsi kepemilikan saham (OWN) terhadap kinerja bank merger di Indonesia,

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap berbagai pihak di bawah ini:
1. Bagi para praktisi penelitian ini bermanfaat untuk menentukan faktor-faktor yang berpengaruh dalam efisiensi perbankan melalui langkah merger dan akuisisi.
2. Bagi dunia akademisi merupakan sumbangan ilmu pengetahuan untuk menyatakan hubungan pengaruh antara faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi perbankan terutama dalam pengukuran rasio kinerjanya dan pengaruh merger dan akuisisi dalam efisiensi perbankan di Indonesia serta hubungan pengaruh antara efisiensi perbankan dan merger dan akuisisi dalam kondisi krisis.
3. Bagi regulator khususnya bank Indonesia penelitian ini bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran untuk menentukan kriteria merger dan akuisisi melalui penilaian faktor-faktor kinerja kuantitatif keuangannya.






















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA / KERANGKA DASAR TEORITIS

A. Kerangka Dasar Teoritis
a. Definisi Merger
Merger menurut kamus Wikipedia Indonesia adalah proses difusi atau penggabungan dua perseroan dengan salah satu diantaranya tetap berdiri dengan nama perseroannya, sementara yang lain lenyap dengan segala nama dan kekayaannya dimasukkan dalam perseroan yang tetap berdiri tersebut. Merger terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Merger horizontal adalah merger yang dilakukan oleh usaha sejenis (usahanya sama), misalnya merger antar dua bank,
2. Merger vertikal adalah merger yang terjadi antara perusahaan-perusahaan yang saling berhubungan misalnya dalam alur produksi yang berurutan sepeti perusahaan pemintalan benang merger dengan peurusahaan kain,
3. Konglomerat adalah berbagai perusahaan yang menghasilkan berbagai produk yang berbeda-beda dan tidak ada kaitannya dan mempunyai tujuan untuk mencapai pertumbuhan badan usaha dengan cepat dan mendapatkan hasil yang lebih baik melalui pertukaran antar saham kedua perusahaan.
Merger dalam penelitian ini adalah merger horizontal yang merupakan penggabungan dua atau lebih beberapa buah bank menjadi sebuah bank yang kekayaannya merupakan hasil penggabungan beberapa buah bank tersebut.
b. Motif dalam Merger dan Akuisisi
Menurut Sutarjo dalam Payamta (Simposium Nasional Akuntansi IV) menggolongkan motivasi untuk melakukan merger dan akuisisi menjadi dua, yaitu motivasi ekonomis dan motivasi non ekonomis.
a. Motivasi ekonomis yaitu perusahaan target mempunyai keunggulan kompetitif, yang diharapkan akan menghasilkan sinergi setelah digabung.
b. Motivasi non ekonomis. Misalnya, karena perusahaan sudah lemah secara modal dan ketrampilan manajemen, kinginan menjadi kelompok yang terbesar di dunia, Meskipun ada kemungkinan penggabungan usaha yang dilakukan tersebut tidak menguntungkan, karena diambil alih oleh pihak bank.
Menurut Bringham dan Daves (2002) dalam Setyawan (2004) motif utama yang menyangkut kepentingan bisnis dalam merger dan akuisisi adalah dalam hal ‘improvement financial performance’, terutama menyangkut motif-motif sebagai berikut:
1) Synergy, kombinasi dari beberapa perusahaan akan menurunkan biaya tetap (fixed cost) dengan menghilangkan duplikasi antar departemen yang sama maupun operasionalnya; hal tersebut akan menekan biaya perusahaan secara relatif dengan tingkat penerimaan yang sama jadi akan meningkatkan profit margins (PM).
2) Pertimbangan Pajak. Keringanan dalam menanggung beban pajak juga menjadi alasan mengapa perusahaan melakukan merger. sebuah perusahaan dengan profit yang besar dapat membeli perusahaan target yang sedang merugi untuk melakukan penyesuaian pembayaran pajaknya.
3) Transfer sumber daya. Sumber daya secara langsung akan terdistribusi antar perusahaan (Barney, 1991) dan merupakan interaksi dari perusahaan target dengan perusahaan pengakuisisi, sumber daya dapat meningkatkan nilai perusahaan melalui penanggulangan information assymetri atau kombinasi sumber daya (King, Slotegraff, Kesner, 2008: 327-340).
4) Meningkatkan pendapatan/ revenue atau pangsa pasar/ market share, hal tersebut diasumsikan bahwa pembeli akan menyerap semua kompetitornya dan meningkatkan kekuatan pasarnya (melalui peningkatan pangsa pasarnya) untuk membentuk harga.
5) Cross Selling, sebagai contoh misalnya sebuah bank membeli perusahaan broker saham (stock broker) untuk membantu memasarkan produk perbankannya kepada para nasabah.
6) Economy of Scale, untuk meningkatkan kesempatan dalam pembelian ekonomi melalui skala usaha yang lebih besar.
7) Pertimbangan geografis dan diversifikasi lainnya, hal ini didisain agar pendapatan/earnings perusahaan meningkat lebih smooth secara jangka panjang sehingga harga saham pun stabil. Hal tersebut akan meningkatkan value bagi para pemegang saham sehingga investor yang konservatif lebih merasa confidence.
8) Resource transfer, resources are unevenly distributed across the firms (Barney, 1991) dan merupakan interaksi dari perusahaan target dengan perusahaan pengakuisisi, resources dapat meningkatkan value melalui penanggulangan information assymetri atau kombinasi resources yang sukar didapat (King, Slotegraff, Kesner, 2008: 327-340).
9) Vertical Integration; vertical integration terjadi ketika perusahaan upstream dan downstream merger (atau salah satu mengakuisisinya). Beberapa alasan hal ini terjadi. Satu alasan internal adalah adanya problem eksternal, misalnya adanya double marginalization. Double marginalization terjadi ketika perusahaan upstream dan downstream mempunyai kekuatan monopoli, masing-masing perusahaan mengurangi output dari level persaingan ke level monopoli, menciptakan kehilangan bobot mati pasarnya. Dengan merger secara vertikal terpadu, perusahaan dapat mengumpulkan bobot matinya untuk melakukan setting output perusahaan upstream ke level persaingan. Menaikkan laba dan surplus konsumen. Dengan sebuah merger dapat menciptakan perusahaan yang vertikal terpadu yang profitable.

c. Corporate Governance
Dalam menjalankan sebuah perusahaan diperlukan adanya tata kelola perusahaan (corporate governance) yang baik yang bertujuan untuk menjaga agar perusahaan tetap dapat bertahan dalam menjalankan aktifitasnya. Terdapat beberapa definisi yang mengenai corporate governance.
Forum for Corporate Governance in Indonesia (2001: 1) mendefinisikan corporate governance sebagai:
“Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan.”

Definisi lain diungkapkan oleh OECD (2004) yang melihat corporate governance sebagai suatu sistem dimana sebuah perusahaan atau entitas bisnis diarahkan dan diawasi. Sesuai dengan pengertian tersebut, maka struktur corporate governance menjelaskan distribusi hak-hak dan tanggung jawab dari masing-masing pihak yang terlibat dalam sebuah bisnis, yaitu dewan komisaris dan direksi, manajer, pemegang saham, serta pihak-pihak lain yang terkait sebagai stakeholders. Ho dan Wong (2001) mendefinisikan corporate governance sebagai sebuah cara yang efektif untuk menggambarkan hak dan tanggungjawab masing-masing kelompok stakeholder dalam sebuah perusahaan dimana transparansi merupakan indikator utama standar corporate governance dalam sebuah ekonomi.
Dari beberapa definisi mengenai corporate governance, maka dapat disimpulkan corporate governance merupakan sebuah sistem (struktur dan mekanisme) yang ideal untuk mengendalikan dan mengelola suatu perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan nilai pemegang saham serta mengakomodasi berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan seperti kreditur, pemasok, asosiasi bisnis, konsumen, karyawan, pemerintah dan masyarakat luas. Menurut FCGI (2001) prinsip-prinsip dasar corporate governance adalah sebagai berikut:
a. Pertanggungjawaban (responsibility). Tanggung jawab perusahaan tidak hanya diberikan kepada pemegang saham tetapi juga kepada stakeholders. Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen (KNKG, 2006).
b. Transparansi (transparency). Transparansi yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan (KNKG, 2006). Perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan.
c. Akuntabilitas (accountability). Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif (Stephanie, 2009). Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar.
d. Kesetaraan dan kewajaran (fairness). Perusahaan harus memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Fairness juga mencakup adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem hukum dan penegakan peraturan untuk melindungi hak-hak investor, khususnya pemegang saham minoritas dari berbagai bentuk kecurangan (Mintara, 2008)
e. Independensi (independency). Untuk melancarkan pelaksanaan asas tata kelola perusahaan yang baik, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain (KNKG, 2006). Para komisaris, direktur ataupun manajer dalam melaksanakan peran dan tanggung jawabnya harus bebas dari segala benturan yang mungkin akan muncul.

1) Dewan Komisaris
Peran penting dalam melaksanakan corporate governance berada pada dewan komisaris yang berfungsi sebagai pengawas aktifitas dan kinerja bank serta sebagai penasihat direksi dalam memastikan bahwa perusahaan melaksanakan corporate covernance yang baik (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006). Dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas (FCGI, 2001). Nasution dan Setiawan (2007) menyatakan secara umum dewan komisaris ditugaskan dan diberi tanggung jawab atas pengawasan kualitas informasi yang terkandung dalam laporan keuangan. Menurut Egon Zehnder (FCGI, 2001), dewan komisaris merupakan inti corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, dan mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Pada intinya, dewan komisaris merupakan suatu mekanisme pengawasan dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan.
Menurut Herwidayatmo (2000), Indonesia menganut two tier boards system, artinya bahwa komposisi dewan pengurus perseroan terdiri dari fungsi eksekutif yaitu dewan direksi dan fungsi pengendalian yaitu dewan komisaris. Berdasarkan kerangka hukum yang ada, fungsi independent (non-executive) directors pada single-board system dapat direpresentasikan dengan fungsi dewan komisaris pada two tier board system. Oleh karena itu, sistem pengawasan yang ada pada perusahaan di Indonesia terletak pada dewan komisaris.
Jumlah anggota dewan komisaris yang optimum akan lebih efektif daripada jumlah yang kecil (Dalton et al, 1999). Selain itu, menurut Andres, Azofra dan Lopez (2005) jumlah anggota dewan komisaris sangat mempengaruhi aktivitas pengendalian dan pengawasan. Kusumawati dan LS (2005) dalam penelitiannya membuktikan bahwa variabel karakteristik dewan yang berupa jumlah komisaris terbukti berhubungan dengan nilai perusahaan.
Dalam menjalankan tugasnya, dewan komisaris biasanya mengadakan pertemuan rutin melalui rapat dewan komisaris. Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/14/PBI/2006 dewan komisaris wajib menyelenggarakan rapat secara berkala sekurang-kurangnya empat kali dalam setahun. Hasil penelitian yang dilakukan Vafeas (2003) menunjukkan bahwa jumlah rapat yang diselenggarakan dewan komisaris akan meningkatkan kinerja perusahaan. Sejalan dengan hasil penelitian Vafeas (2003), penelitian yang dilakukan oleh Brick dan Chidambaran (2007) menunjukkan semakin banyak frekuensi rapat yang diselenggarakan dewan komisaris maka akan meningkatkan kinerja perusahaan.
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (KNKG, 2006). Komisaris independen ditetapkan sebagai seseorang yang independen dari posisi manajemen eksekutif atau fungsi manajemen lainnya dalam perusahaan dan bebas dari hubungan apapun yang dapat mempengaruhi keputusan mereka (Hegazy dan Hegazy, 2010). Untuk lebih memantapkan efektifitas komisaris independen, keberadaan komisaris independen telah diatur dalam PBI Nomor: 8/14/PBI/2006 pasal 5 yang menetapkan bahwa komposisi komisaris independen sekurang-kurangnya berjumlah 50% dari jumlah anggota dewan komisaris.
Menurut Ho dan Wang (2001) memasukkan anggota independen dalam dewan komisaris harapkan dapat meningkatkan pengawasan dan mencegah manajer membuat keputusan yang tidak efisien. Siallagan dan Machfoedz (2006) menggunakan proporsi komisaris independen untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kualitas laba dan nilai perusahaan. Hasil penelitian mereka menunjukan bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh secara positif terhadap nilai perusahaan.

2) Komite Audit
Komponen penting lain yang mendukung terlaksananya corporate governance yang baik, yaitu komite audit (FCGI, 2001). Sesuai dengan Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: kep. 29/PM/2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan dan pengelolaan perusahaan. Menurut Herwidayatmo (2000), syarat untuk menjadi anggota komite audit adalah independen atau tidak memiliki hubungan usaha maupun afiliasi dengan perusahaan, direktur, komisaris, maupun pemegang saham utama. Berdasarkan PBI Nomor: 8/4/PBI/2006, keanggotaan komite audit sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang anggota, seorang diantaranya merupakan komisaris independen perusahaan yang sekaligus merangkap sebagai ketua komite audit, sedangkan dua anggota lainnya merupakan pihak ekstern yang independen dimana satu diantaranya memiliki keahlian dibidang keuangan atau akuntansi dan yang lainnya memiliki keahlian di bidang hukum atau perbankan.
Abeysekera (2008) menyatakan bahwa komite audit merupakan mekanisme untuk memastikan tidak ada tindakan manajemen yang merugikan stakeholder.
Komite audit dibentuk oleh komisaris dan bertanggung jawab kepada komisaris. Berdasarkan Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), komite audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memastikan bahwa:
a) Laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum,
b) Struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik,
c) Pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku,
d) Tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen.
Menurut pasal 43, PBI Nomor: 8/4/PBI/2006 tugas dan tanggung jawab komite audit adalah memantau dan mengevaluasi perencanaan dan pelaksanaan audit serta pemantauan atas tindak lanjut hasil audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk kecukupan proses pelaporan keuangan perbankan. Menurut Herwidayatmo (2000) tugas komite audit adalah memberikan pendapat profesional yang independen kepada dewan komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi. Agar tugas dan fungsi komite audit dalam membantu dewan komisaris dapat berjalan secara efektif, komite audit minimal mengadakan rapat tiga sampai empat kali dalam satu tahun (FCGI, 2001).

1. Kinerja dan Efisiensi Relatif
a. Kinerja
Kinerja berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai sesuatu yang dicapai diperlihatkan, kemampuan kerja (tentang peralatan). Berdasarkan pengertian tersebut kinerja keuangan didefinisikan sebagai prestasi manajemen, dalam hal ini manajemen keuangan dalam mencapai tujuan perusahaan yaitu menghasilkan keuntungan dan meningkatkan nilai perusahaan.
Pengukuran kinerja bank sangat penting dilakukan karena bank merupakan bagian penting dalam perekonomian suatu Negara. Menurut Hunjak (2001) mengatur system keuangan dalam sebuah Negara dibutuhkan metode yang memungkinkan institusi keuangan mengetahui masalah manajemen secara cepat sehingga langkah perlindungan terhadap system dan masyarakat dapat segera diambil, karena masalah keuangan suatu bank dapat mengancam seluruh sistem keuangan sebuah Negara.
Dari sudut pandang bank, pengukuran kinerja perlu dilakukan dalam membanding kinerja bank dengan bank yang lain dan menemukan penyebab ketidakefisiensian. Peniliain kinerja perbankan juga menjadi penting bagi para nasabah dalam kaitannya untuk menghindari high-risking bank (Hunjak, 2001).
Secara tradisional kinerja dapat diukur dengan menggunakan rasio keuangan. Rasio keuangan tersebut dapat dikalsifikasikan menjadi : rasio likuiditas, rasio rasio aktivitas, rasio leverage dan rasio pofitabilitas. Namun pengukuran kinerja menggunakan rasio keuangan tidak memberikan hasil yang memuaskan dan tidak dapat menggambarkan kinerja perusahaan secara menyeluruh.
Menurut Dess dan Lumpkin (2003) ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai kinerja perusahaan yaitu pendekatan yang pertama analisis rasio keuangan (financial ratio analysis) dan pendekatan yang kedua dilihat dari perspektif pihak yang berkepentingan (stakeholder perspective). Menurut Agus Sartono (1995), karena sulitnya memahami laporan keuangan dalam bentuk aslinya, maka ditempuh berbagai cara untuk melakukan analsisis kinerja keuangan perusahaan seperti:
a. Analisis common size yaitu menyajikan presentase setiap elemen terhadap total aktiva dan untuk laporan laba rugi persentase setiap elemen terhadap penjualan
b. Analisis indek menyajikan persentase elemen neraca terhadap tahun tertentu sebagai tahun dasar, kemudian mencari indek untuk periode berikutnya. Begitu juga dengan laporan keuangan, indek tersebut jug didasarkan atas tahun tertentu sebagai tahun dasar. Dengan analisis indek dapat diketahui fluktuasi setiap elemen baik neraca maupun rugi laba sebelum periode tertentu
c. Analisis rasio keuangan adalah cara membandingkan prestasi suatu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga diketahui adanya kecenderungan selama periode tertentu selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan perusahaan sejenis dalam industri sehingga dapat diketahui bagaimana posisi perusahaan dalam industri.
Menurut Dalton, Daily, dan Ellstrand (1999), terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan, yaitu accounting based indicator, market based indicator atau kombinasi di antara keduanya sebagai indikator yang digunakan. Accounting based indicator terdiri dari return on asset (ROA), return on equity (ROE), dan return on investment (ROI) (Dalton, Daily dan Ellstrand, 1999; Pathan, Skully dan Wickramanayake, 2007; Staikouras, Staikouras dan Agoraki, 2007). Market based indicator terdiri dari Tobin’s Q, market to book value, jensen’s alpha, the treynor measure, dan sharpe measure (Dalton, Daily dan Ellstrand, 1999; Larmou dan Vafeas, 2010).
Pengukuran menggunakan accounting based saja dirasa kurang karena beberapa alasan, di antaranya pengukuran tersebut (1) berpotensi terjadi manipulasi, (2) terdapat penilaian aset yang undervalue, (3) menciptakan distorsi karena mengadopsi metode yang berbeda dalam melakukan konsolidasi, dan (4) sulit dalam menginterpretasi jika terdapat kasus partisipasti multi-industri (Dalton, Daily dan Ellstrand, 1998; Nayyar, 1992). Oleh karena itu, diperlukan adanya indikator yang lain yang digunakan sebagai alternatif ataupun sebagai pendamping accounting based indicator, yaitu market based indicator. Pengukuran menggunakan market based indicator memberikan beberapa kelebihan, di antaranya (1) dapat merefleksikan kinerja risiko disesuaikan, (2) pengukuran ini tidak terpengaruh oleh konteks multi-industri atau multidimensional, dan (3) tunduk pada kekuatan di luar kendali manajemen (Dalton, Daily dan Ellstrand, 1998: Nayyar, 1992; Hambrick dan Finkelstein, 1995).

b. Efisiensi Relatif
Menurut Huri dan Susilowati (2002) efisiensi dapat didefinisikan sebagai perbandiangan antara input dan output. Lebih lanjut menurut Syafaroedin (1989) dalam Pemono (2000) suatu perusahaan dapat dikatakan efisien apabila: (1) Mempergunakan jumlah unit input yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah input yang digunakan oleh perusahaan lain namun menghasilkan output yang sama, (2) Menggunakan jumlah input yang sama namun menghasilkan output yang lebih besar.
Adapun konsep dalam mendefinisikan hubungan input-output dalam Berger dan Mester (1997), dan juga seperti pada Hadad et.al (2003b), menjelaskan bahwa perilaku lembaga keuangan dapat melalui beberapa pendekatan, antara lain: (i) Pendekatan produksi (production approach), yaitu dengan melihat bahwa institusi keuangan sebagai produsen simpanan (deposit account) dan juga pinjaman kredit (loans). Pendekatan ini mendefinisikan output adalah penjumlahan dari keduanya dari berbagai transaksi-transaksi terkait, sedangkan input-inputnya adalah biaya tenaga kerja, pengeluaran modal dan asset-asset tetap (fixed assets), serta pengeluaran-pengeluaran lainnya yang bersifat material; (ii) Pendekatan intermediasi (intermediation approach), yaitu memperlakukan institusi keuangan sebagai lembaga yang menjalankan fungsi intermediasi, dengan mengubah dan mentransfer berbagai asset finansial dari unit-unit surplus menjadi unit-unit defisit. Dalam pendekatan ini, biaya tenaga kerja, pengeluaran modal, dan pembayaran bunga simpanan dikategorikan sebagai input-input, sedangkan pinjaman kredit dan investasi pada instrumen keuangan (financial investment) sebagai output-outputnya; dan (iii) Pendekatan aset (asset approach), pendekatan ini hampir sama dengan pendekatan intermediasi, namun dengan lebih memperlakukan institusi keuangan adalah lembaga yang menjalankan fungsi utama sebagai pencipta pinjaman kredit (loans). Berbeda dengan Berger dan Humprey (1991), yang mengklasifikasikan pinjaman kredit (loans), demand deposit, time deposit, dan saving deposit sebagai output utama, sedangkan tenaga kerja, modal, dan pembelian dana sebagai input.
Studi literatur terdahulu tentang analisis kinerja keuangan yang dikemukakan oleh Halkos dan Salamouris (2004) bahwa kinerja sebagai acuan efisiensi diukur dengan suatu vector output yang terdiri dari enam rasio perbankan tanpa input. Penggunaan model ini merupakan suatu alternatif untuk mengevaluasi efisiensi dan sebagai pelengkap terhadap rasio keuangan yang lazim digunakan dalam menilai kinerja keuangan lembaga perbankan. Rasio efisiensi perbankan merupakan variabel untuk mengevaluasi efisiensi, sebagai pengganti dari variabel-variabel input-output yang biasa digunakan pada hampir semua aplikasi perbankan berdasarkan kualitas input, output serta harga.
Efisiensi menurut Hadad, et.al (2003) merupakan salah satu parameter kinerja yang secara teoritis merupakan salah satu ukuran kinerja yang mendasari seluruh kinerja organisasi. Efisiensi dalam dunia perbankan merupakan salah satu parameter kinerja yang cukup popular sehingga lazim digunakan karena dapat memberikan jawaban atas berbagai kesulitan dalam menghitung berbagai ukuran kinerja seperti yang disebutkan di atas.
Menurut Hadad, et.al (2003) pengukuran efisiensi bank dapat dilakukan menggunakan dua pendekatan. Pertama, menggunakan pendekatan parametrik yaitu SFA (Stochastic Frontier Approach) dan DFA (Distribution Frontier Approach). Pendekatan kedua, menggunakan pendekatan non parametrik yaitu DEA (Data Envelopment Analysis).

Kaitan Merger dengan Kinerja Bank
Memasuki era perdagangan bebas persaingan usaha diantara perusahaan semakin ketat. Kondisi demikian menuntut perusahaan untuk selalu mengembangkan strategi perusahaan agar dapat bertahan atau dapat lebih berkembang. Untuk itu perusahaan perlu mengembangkan suatu srategi yang tepat agar perusahaan bisa mempertahankan eksistensinya dan memperbaiki kinerjanya. Dalam rangka tumbuh dan berkembang ini perusahan bisa melakukan ekspansi bisnis dengan memilih salah satu diantara dua jalur alternatif yaitu pertumbuhan dari dalam perusahaan (organic/internal growth), dan pertumbuhan dari luar perusahan (external growt).
Pertumbuhan internal adalah ekspansi yang dilakukan dengan membangun bisnis atau unit bisnis baru dari awal ( start-up business ). Merger dan Akuisisi adalah strategi pertumbuhan eksternal dan merupakan jalur cepat untuk mengakses pasar baru produk baru tanpa harus membangun dari awal. Terdapat penghematan waktu yang sangat signifikan antara pertumbuhan internal dan eksternal melalui Merger dan Akuisisi, dari waktu ke waktu perusahaan lebih menyukai pertumbuhan eksternal melalui Merger dan Akuisisi dibanding pertumbuhan internal.
Alasan perusahaan melakukan Merger dan Akuisisi adalah untuk memperoleh sinergi, strategic opportunities, meningkatkan efektifitas dan mengeksploitasi mis-pricing di pasar modal (Foster 1994). Alasan utama yang telah diungkapkan mengenai motif merger dan akuisisi adalah dalam hal ‘improvement financial performance’.
Penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Lukviarman (2008) tentang pengukuran kinerja bank komersial dengan pendekatan efisiensi , studi terhadap perbankan go-public di Indonesia dengan menggunakan teknis analisis DEA (Data Envelopment Analysis) melalui pendekatan non-parametrik dalam mengukur tingkat efisiensi perbankan menunjukkan bahwa pengukuran tingkat kesehatan bank lebih tepat dilakukan melalui analisis rasio efisiensi daripada rasio keuangan.
Huizinga,et.al. (2001) menemukan bahwa ada perubahan yang significant dari skala ekonomi pada perbankan di Eropa akibat merger dan akuisisi. Dengan membandingkan bank yang merger dengan bank yang tidak merger, penelitian tersebut menemukan bahwa, akibat adanya merger, bank-bank yang kecil, profit efisiensinya lebih baik dibandingkan dengan bank-bank yang besar sedangkan efisiensi biaya dari bank-bank kecil maupun besar meningkat. Merger cenderung untuk menurunkan efisiensi profit dari bank-bank yang besar, sedangkan efisiensi pofit dari bank-bank yang kecil meningkat. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa tingkat suku bunga deposito cenderung meningkat akibat merger, yang mengindikasikan bahwa bank-bank hasil merger tidak dapat memperoleh market power yang lebih besar.
Bank-bank melakukan merger dan akuisisi untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi operasi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Franz (2007) dengan menggunakan DEA yang dikombinasikan dengan model Tobit menemukan bahwa bank-bank yang melakukan merger dan akuisisi mencapai efisiensi produktif yang lebih tinggi dibanding dengan bank yang tidak merger. Efek merger dan akuisisi baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek juga menunjukan bahwa bank merger tersebut tidak hanya menjadi profitabel tapi juga kompetitif dalam industri (Maditos et. al., 2009). Penelitian efek jangka panjang merger dan akuisisi juga dilakukan oleh Fraser dan Zhang (2009) yang menemukan bahwa dilihat dari baik profitabilitas arus kas dan penggunaan tenaga kerja meningkat.

2. Skema Konsep Penelitian
Dari hasil kajian terhadap penelitian-penelitian yang dikemukakan diatas, diperoleh sebuah kerangka pemikiran teoritis untuk mendukung penelitian dan ringkasan grand theory penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini dibagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama mengukur pengaruh CG (corporate governance) terhadap kinerja bank. Variabel CG yang dipilih adalah dewan komisaris, komite audit, serta proporsi kepemilikan. Pengaruh dewan komisaris, komite audit, dan proporsi kepemilikan terhadap kinerja Bank diukur dengan efisiensi Relatif ( menggunakan program DEA) dan profitabilitas (ROA). Dewan komisaris diproksikan dengan variabel ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris independen, jumlah rapat dewan komisaris, latar belakang pendidikan komisaris utama. Komite audit diproksikan dengan variabel jumlah komite audit, proporsi komite audit independen, jumlah rapat komite audit, dan latar belakang pendidikan komite audit. Proporsi kepemilikan di ukur dengan menggunakan variabel dummy, dimana apabila terdapat kepemilikan lebih dari 50% = 1,selain itu 0. Kinerja keuangan Bank merger diukur dengan menggunakan pendekatan DEA yaitu mencari efisiensi relatif dan profitabilitas dengan rasio ROA. Skema penelitian dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Variabel Independen Variabel Dependen











3. Pengembangan Hipotesis
a. Dewan Komisaris

Seperti yang disampaikan dalam FGCI (2000) dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Secara umum dewan komisaris memiliki tugas dan tanggung jawab atas pengawasan kualitas informasi yang terkandung dalam laporan keuangan (Nasution dan Setiawan, 2007). Dalam penelitian ini dewan komisaris diproksikan menjadi 4, sebagai berikut:
1) Ukuran Dewan Komisaris
Dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas (FCGI, 2000). Jumlah komisaris mempengaruhi aktivitas pengendalian dan pengawasan (Andres, Azofra, dan Lopez, 2005). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abeysekera (2008) terhadap perusahaan di Kenya, jumlah dewan komisaris yang dinilai efektif berada pada rentang lebih dari lima orang dan kurang dari 14 orang. Ukuran dewan komisaris yang besar lebih efektif jika dibandingkan dengan ukuran dewan komisaris yang kecil (Dalton et al, 1999; Nasution dan Setiawan, 2007; dan Abeysekera, 2008). Dan menurut Andres, Azofra dan Lopez (2005) jumlah anggota dewan komisaris sangat mempengaruhi aktivitas pengendalian dan pengawasan.
Semakin besar ukuran dewan komisaris di harapkan dapat melakukan pengawasan terhadap manajemen dengan lebih baik, sehingga dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Dari penjelasan diatas disusun hipotesis sebagai berikut:
H1a : Ukuran Dewan Komisaris berpengaruh terhadap kenerja perusahaan.
2) Proporsi Komisaris Independen
Komisaris independen lebih efektif dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan karena kepentingan mereka tidak terganggu oleh ketergantungan pada organisasi (Ayuso dan Argondana, 2007). Komisaris yang berasal dari luar perusahaan dapat meningkatkan keefektifan dewan komisaris dalam melakukan fungsi utamanya, yaitu mengawasi pengelolaan perusahaan oleh manajemen (Fama dan Jansen,1983). Pathan, Skully, dan Wickramanayake (2007) menyimpulkan terdapat pengaruh signifikan positif antara proporsi komisaris independen dengan kinerja perbankan. Komposisi komisaris independen juga berpengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas (Abor dan Biekpe, 2007). Sedangkan Filatotchev, Lien, dan Piesse (2005) menyatakan bahwa komisaris independen berpengaruh negatif terhadap kinerja perusahaan.
Berbagai penelitian yang dilakukan menunjukan hasil bahwa terdapat pengeruh komisaris independen terhadap kinerja perusahaan. Semakin besar jumlah komisaris independen maka keputusan yang dibuat dewan komisaris lebih mengutamakan keapada kepentingan perusahaan, sehingga berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Dari penjelasan tersebut makan disusun hipotesis sebagai berikut:
H1b : Proporsi komisaris independen berpengaruh terhadap kinerja Bank.
3) Jumlah Rapat Dewan Komisaris
Dalam menjalankan tugasnya dewan komisaris secara rutin melakukan rapat. Rapat tersebut dilakukan sebagai bentuk pengawasan terhadap operasi perusahaan, dimana secara berkala dewan komisaris melakukan evaluasi dan pengecekan. Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/14/PBI/2006 dewan komisaris wajib menyelenggarakan rapat secara berkala sekurang-kurangnya empat kali dalam setahun. Semakin banyak rapat yang dilakukan dewan komisaris akan semakin meningkatkan pengawasan yang kemudian akan berdampak pada kinerja perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Vafeas (2003) dan Brick dan Chidambaran (2007) menunjukkan bahwa semakin banyak frekuensi rapat yang diselenggarakan dewan komisaris maka akan meningkatkan kinerja perusahaan. Dari penjelasan tersebut maka disusun hipotesis sebagai berikut:
H1c : Jumlah rapat dewan komisaris berpengaruh terhadap kinerja Bank.
4) Latar Belakang Pendidikan Komisaris Utama
Kusumastuti, Supatmi, dan Sastra (2007) menyatakan meskipun bukan menjadi suatu keharusan bagi seseorang yang beraktivitas di dunia bisnis untuk berpendidikan bisnis, akan lebih baik jika anggota dewan memiliki latar belakang pendidikan bisnis dan ekonomi. Latar belakang pendidikan komisaris utama di bidang bisnis dan ekonomi menjadi penting bagi perbankan karena pengetahuan di bidang bisnis dan ekonomi dapat mempengaruhi kelangsungan bisnis perbankan. Dengan memiliki pengetahuan bisnis dan ekonomi, komisaris utama memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih baik untuk mengelola bisnis dan mengambil keputusan bisnis yang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan.
H1d : Latar belakang pendidikan komisaris utama berpengaruh terhadap kinerja Bank.

Komite Audit
Komponen penting lain yang mendukung terlaksananya corporate governance yang baik, yaitu komite audit (FCGI, 2001). Sesuai dengan Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: kep. 29/PM/2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan dan pengelolaan perusahaan. Komite audit dalam penelitian ini di proksikan menjadi 4, sebagai berikut:
1) Ukuran Komite Audit
Penelitian yang dilakukan oleh Xie, Davidson dan DaDalt (2003) manemukan bahwa komite audit meruapakan factor penting dalam pengawasan terhadap manajemen. Dalam penelitian tersebut rata-rata komite audit yang dimiliki oleh perusahaan sampel adalah 5 orang anggota dalam rentang 2 hingga 12 anggota. Jumlah anggota komite audit berpengaruh terhadap besarnya pengaruh yang dapat diberikan terhadap perusahaan, ukuran komite audit yang lebih besar diharapkan dapat menjaga kinerja bank dengan lebih baik. Dari uraian tersebut maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut:
H2a : Ukuran komite audit berpengaruh terhadap kinerja Bank.
2) Proporsi Komite Audit Independen
Komite audit memiliki tugas terpisah dalam membantu dewan komisaris untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam memberikan pengawasan secara menyeluruh (FGCI, 2001). Dari aspek pengendalian, keberadaan komite audit sangat penting dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan (Herwidayatmo, 2005). Komite audit dipandang sebagai alat untuk menghindari kecurangan dalam pelaporan keuangan dan memonitoring kinerja manajemen. Nasution dan Setiawan (2007) dan Li et al (2008) mengungkapkan bahwa anggota komite audit yang independen berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Dengan adanya komite audit independen diharapkan dapat meningkatkan keinerja perusahaan. Dari pernyataan tersebut maka disusun hipotesis sebagai berikut:
H2b : Proporsi komite audit independen berpengaruh terhadap kinerja Bank.
3) Jumlah Rapat Komite Audit
Komite audit harus transparan, dimulai dengan keharusan adanya audit charter dan agenda program kerja tahunan tertulis dari komite audit yang kemudian didukung dengan keteraturan rapat komite audit (Alijoyo, 2003). Dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab yang menyangkut sistem pelaporan keuangan, komite audit perlu mengadakan rapat tiga sampai empat kali dalam setahun (FCGI, 2001). Semakin banyak rapat komite audit yang dilakukan akan meningkatkan kinerja komite audit. Dengan diadakannya rapat komite audit yang rutin diharapkan dapat meningkatkan kinerja bank. Dari uraian tersebut maka hipotesis yang dikembangkan adalah:
H2c : Jumlah rapat komite audit berpengaruh terhadap kinerja Bank.
4) Latar Belakang Pendidikan Komite Audit
Menurut Dezoort dan Salterio (2001) anggota komite audit yang memiliki pengetahuan tentang pelaoran audit dan keuangan memberikan dukungan terhadap auditor eksternal dalam perselisihan yang terjadi dengan pihak manajemen. Dezoort (1998) juga menemukan bahwa pengetahuan dan keahlian dalam bidang akuntansi/audit sangat diperlukan oleh anggota komite audit dalam menyelesaikan perselisihan pendapat antara pihak manajemen dengan auditor eksternal. Adanya perselisihan antara pihak manajemn dengan auditor eksternal dapat mempengaruhi kinerja perusahaan, sehingga dengan adanya komite audit yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut maka diharapka perusahaan memiliki kinerja yang baik. Dari penjelasan tersebut maka hipotesis yang diajukan adalah:
H2d : Latar belakang pendidikan anggota komite audit berpengaruh terhadap kinerja Bank.

Proporsi Kepemilikan
Salah satu masalah yang dihadapi perusahaan adalah pendanaan. Dana tersebut dibutuhkan oelh perusahaan dalam operasi usahanya. Salah satu bentuk pendaan yaitu pendanaan eksternal. Masalah pendanaan ini berpengaruh terhadap tingkat kapitalisasi modal (Purba, 2004). Sumber pendanaan ekternal tersebut salah satunya dapat diperoleh dari saham dari masyarakat. Penyertaan saham masyarakat menceriminkan adanya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja perusahaan. Purba (2004) menemukan bahwa proporsi kepemilikan saham publik berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Dari penjelasan diatas maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
H3: Proporsi kepemilikan saham berpengaruh terhadap kinerja Bank.
















BAB III
METODE PENELITIAN

Dalam bab ini akan dibahas tentang disain penelitian, populasi, sampel, dan teknik pengambilan sampel, data dan metode pengumpulan data, definisi operasional dan pengukuran variabel, dan metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini.

A. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pengujian hipotesis (hypothesis testing). Penelitian ini menguji pengaruh corporate governance terhadap kinerja bank merger yang diproksikan dengan efisiensi.

B. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dari penelitian ini adalah semua perbankan di Indonesia baik perbankan yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (listing) maupun perbankan yang tidak terdaftar di Bursa Efek Indonesia (nonlisting), baik bank pemerintah/ BUMN, swasta nasional, asing maupun campuran.
Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Teknik purposive sampling adalah pengambilan sampel yang dilakukan dengan mengambil sampel berdasarkan kriteria tertentu sesuai dengan tujuan penelitian (Hartono, 2005). Kriteria perbankan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah perbankan yang melakukan merger pada periode 1998-2008 dan perbankan yang bersangkutan harus menyediakan data yang diperlukan terkait dengan variabel dalam penelitian ini; untuk bank-bank yang melakukan akuisisi tidak dijadikan sampel dalam penelitian ini. Tahun 1998 dipilih sebagai awal periode sampel karena terjadinya krisis multidimensional yang melanda Indonesia khususnya yang menyerang sektor perbankan. Banyaknya bank yang tidak sehat kala itu menyebabkan bank tersebut akhirnya melakukan merger.
Berdasarkan kriteria tersebut, terdapat 15 sampel perbankan yang melakukan merger. Daftar perbankan yang menjadi sampel dalam penelitian ini dan rinciannya dapat dilihat pada lampiran III.1.

C. Data dan Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan data sekunder yang diambil dari laporan tahunan perbankan yang melakukan merger pada periode 1998-2008. Laporan tahunan dipilih karena memiliki kredibilitas yang tinggi (Zeghal dan Ahmed, 1999), selain itu laporan tahunan digunakan oleh sejumlah stakeholder sebagai sumber utama informasi yang pasti (Deegan dan Rankin, 1997). Data sekunder yang dikumpulkan diperoleh dari situs www.idx.co.id, situs masing-masing perusahaan sampel, dan direktori Bank Indonesia.

D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Berikut ini dijelaskan mengenai definisi variabel penelitian dan pengukurannya:
1. Variabel Independen
Penelitian ini menggunakan variabel corporate governance sebagai variabel independen. Corporate governance dalam penelitian ini diproksikan dengan ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris independen, latar belakang dewan komisaris, rapat dewan komisaris, jumlah komite audit, proporsi komite audit independen, latar belakang pendidikan komite audit, rapat komite audit, dan struktur kepemilikan.

a. Ukuran Dewan Komisaris
Menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007, dewan komisaris adalah anggota perseroan yang bertugas melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberi nasihat kepada direksi. Ukuran dewan komisaris diukur berdasarkan jumlah komisaris yang terdapat pada jajaran dewan, baik komisaris internal maupun komisaris ekternal perusahaan. Indikator dalam penelitian ini sesuai dengan indikator yang digunakan oleh Akhtaruddin, Hossain, Hossain, dan Yao (2009); Anderson dan Gupta (2009); Fich dan Slezak. (2008).

ukuran dewan komisaris = ∑ komisaris internal + ∑ komisaris eksternal

b. Proporsi Komisaris Independen
Persyaratan seorang komisaris independen adalah bukan anggota manajemen, bukan pemegang saham mayoritas, tidak menjabat sebagai eksekutif perusahaand dalam tiga tahun terakhir, bukan penasihat profesional perusahaan, bukan pemasok/pelanggan yang signifikan bagi perusahaan, tidak memiliki perjanjian kontraktual, dan terbebas dari urusan bisnis apapun dengan perusahan (Forum for Corporate Governance in Indonesia, 2002). Indikator yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Sami, Wang, dan Zhou (2011); Akhtaruddin, Hossain, Hossain, dan Yao (2009); Fich dan Slezak. (2008) yaitu jumlah komisaris independen (komisaris yang tidak memiliki hubungan afiliasi dengan perusahaan) terhadap jumlah dewan komisaris.
∑ komisaris independen
proporsi komisaris independent = x 100%
∑ anggota dewan komisaris


c. Latar Belakang Pendidikan Dewan Komisaris
Latar belakang pendidikan dewan komisaris diukur menggunakan pengukuran jumlah dewan komisaris yang memiliki latar belakang pendidikan yang berasal dari disiplin ilmu ekonomi dan bisnis terhadap jumlah dewan komisaris. Indikator ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Anderson dan Gupta (2009).
∑ komisaris dari disiplin ilmu ekonomi
proporsi komisaris independent = x 100%
∑ anggota dewan komisaris

d. Rapat Dewan Komisaris
Rapat dewan komisaris merupakan suatu proses yang dilakukan oleh dewan komisaris dalam pengambilan suatu keputusan mengenai kebijakan perusahaan. Xie (2003) menyatakan bahwa semakin seringnya dewan komisaris bertemu atau mengadakan rapat, maka penyimpangan pengelolaan semakin kecil. Indikator yang digunakan untuk mengukur rapat dewan komisaris dalam penelitian ini mengacu pada Fich dan Slezak. (2008); Brick dan Chidambaran (2007); Vafeas (2003) yaitu jumlah rapat yang dilakukan oleh dewan komisaris selama satu tahun fiskal.

e. Ukuran Komite Audit
Sesuai dengan Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: Kep-29/PM/2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Akhtaruddin, Hossain, Hossain, dan Yao (2009) mengukur komite audit berdasarkan jumlah komite audit terhadap keseluruhan jumlah anggota dewan. Filipovic dan Filipovic (2008) mengukur komite audit berdasarkan jumlah keseluruhan anggota komite audit baik yang berasal dari internal perusahaan maupun anggota komite audit independen. Oleh karena itu, penelitian ini lebih mengacu pada penelitian yang digunakan oleh Filipovic dan Filipovic (2008).

Ukuran komite audit = ∑ KA internal + ∑ KA independen


f. Proporsi Komite Audit Independen
Komite audit independen merupakan anggota komite audit yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota komisaris lainnya, dan pemegang saham pengendali. Indikator yang digunakan untuk mengukur proporsi komite audit independen dalam penelitian ini yaitu jumlah komite audit independen terhadap jumlah seluruh anggota komite audit sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Li et al (2008).

∑ komite audit independen
KAI = x 100%
∑ anggota komite audit


g. Latar Belakang Pendidikan Komite Audit
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 mewajibkan komite audit terdiri dari minimal satu orang anggota yang berlatar belakang pendidikan di bidang ekonomi dan satu orang anggota yang berlatar pendidikan di bidang hukum. Menurut Rahmat, Iskandar, dan Saleh (2007), komite audit harus memiliki minimal satu orang anggota komite audit yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang ekonomi (akuntansi/keuangan). Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah persentase jumlah anggota komite audit yang memiliki latar belakang pendidikan atau pengetahuan di bidang ekonomi terhadap jumlah komite audit.
∑ komite audit dari disiplin ilmu ekonomi
LBPKA = x 100%
∑ anggota komite audit


h. Rapat Komite Audit
Penelitian McMullen, (1996); Collier dan Gregory, (1999) melaporkan bahwa komite audit di Amerika Serikat dan Inggris mengadakan pertemuan rata-rata empat sampai enam kali per tahun dengan durasi rata-rata tiga sampai empat jam per pertemuan. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian Li et al (2008) dan Ettredge et al (2010), yaitu jumlah rapat komite audit yang dilaksanakan dalam satu tahun fiskal.

i. Struktur Kepemilikan
Indikator yang digunakan dalam penelitian mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Sami, Wang, dan Zhou (2011), yaitu persentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh pemegang saham terbesar pada bank merger; dalam hal ini mayoritas pemegang saham diproporsionalkan sebesar 51% dari prosentase kepemilikan pemegang saham perusahaan.

2. Variabel Dependen
Dalam penelitian ini, variabel dependen yaitu kinerja perusahaan diukur menggunakan proksi efisiensi dan profitabilitas. Profitabilitas terdiri dari return on asset (ROA), sebagai berikut:
a. Efisiensi
Efisiensi menurut Hadad, et.al (2003) merupakan salah satu parameter kinerja yang secara teoritis merupakan salah satu ukuran kinerja yang mendasari seluruh kinerja organisasi. Menurut Hadad, et.al (2003) pengukuran efisiensi bank dilakukan menggunakan dua pendekatan. Pertama, menggunakan pendekatan parametrik yaitu SFA (Stochastic Frontier Approach) dan DFA (Distribution Frontier Approach). Pendekatan kedua, menggunakan pendekatan non parametrik yaitu DEA (Data Envelopment Analysis). Penelitian ini menggunakan indikator DEA (Data Envelopment Analysis) untuk mengukur tingkat efisiensi bank merger.

b. Return on Asset (ROA)
ROA menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba serta mengukur tingkat efisiensi operasional perusahaan secara keseluruhan dan efisiensi perusahaan dalam menggunakan aset yang dimiliki (Haniffa dan Cook, 2005). ROA memberikan gambaran kepada investor tentang bagaimana perusahaan mengkonversikan uang yang telah diinvestasikan dalam laba bersih. Semakin tinggi ROA, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil (Judijanto dan Khmaladze, 2003). Semakin tinggi nilai ROA, maka perusahaan tersebut semakin efisien dalam menggunakan asetnya.
Indikator yang digunakan sesuai dengan penelitian Brown dan Caylor (2009); Dalton, Daily, Johnson, dan Ellstrand (1999) dan SE BI No. 3/30DPNP tanggal 14 Desember 2001. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung ROA adalah sebagai berikut:
Pendapatan Setelah Pajak
ROA =
Total Aset

E. METODE ANALISIS DATA
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan statistik deskriptif dan pengujian hipotesis. Pengujian dilakukan dengan menggunakan bantuan program Eviews release 7 dengan metode Data Panel Model GLS (General Least Square) dan Fixed Effect Model (FEM).
1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif terdiri dari penghitungan mean, standar deviasi, nilai maksimum, dan nilai minimum. Analisis ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai distribusi dan perilaku data (Ghozali, 2006).
2. Pengujian Hipotesis
a. Analisis Regresi Berganda
Analisis regresi berganda digunakan untuk mengukur hubungan antara dua variabel atau lebih dan menunjukkan arah hubungan antara variabel dependen dan independen (Ghozali, 2006). Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui pengaruh corporate governance yang diproksikan dengan ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris independen, latar belakang dewan komisaris, rapat dewan komisaris, jumlah komite audit, proporsi komite audit independen, latar belakang pendidikan komite audit, rapat komite audit, dan struktur kepemilikan berpengaruh terhadap kinerja bank merger yang diproksikan dengan efisiensi. Persamaan regresi berganda untuk pengujian hipotesis dalam penelitian ini adalah:


K


Keterangan:
Simbol Keterangan
EFI Efisiensi kinerja bank merger
DEKOM Jumlah dewan komisaris
KOMIND Proporsi komisaris independen
LBPDK Latar belakang pendidikan dewan komisaris
RAKOM Jumlah rapat dewan komisaris
KOMA Jumlah komite audit
KAI Proporsi komite audit independen
LBPKA Latar belakang pendidikan komite audit
RAKA Jumlah rapat komite audit
OWN Struktur kepemilikan
α Konstanta
β Koefisien Regresi
ε Error
i Observasi

Ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktual dapat diukur dari goodness of fit-nya. Secara statistik, goodness of fit suatu model dapat diukur dari nilai koefisien determinasi (R2), nilai statistik F, dan nilai statistik t. Perhitungan statistik dikatakan signifikan apabila nilai uji statistiknya berada dalam daerah kritis (daerah dimana Ho ditolak). Sebaliknya disebut tidak signifikan bila nilai uji statistiknya berada dalam daerah dimana Ho diterima (Ghozali, 2006). Pengukuran goodness of fit suatu model sebagai berikut:

1) Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh variabel independen mampu menerangkan variabel dependen. Untuk jumlah variabel independen lebih dari dua, lebih baik menggunakan koefisien determinasi yang telah disesuaikan yaitu adjusted R2 (Ghozali, 2006). Besarnya koefisien determinasi adalah 0 (nol) sampai dengan 1 (satu). Semakin mendekati nol, semakin kecil pengaruh semua variabel independen (X) terhadap variabel dependen (Y). Jika koefisien determinasi mendekati satu, maka semakin besat perngaruh semua variabel independen (X) terhadap variabel dependen (Y) (Ghozali, 2006).
2) Nilai F
Merupakan pengujian bersama-sama variabel independen yang dilakukan untuk melihat pengaruh variabel independen secara keseluruhan terhadap variabel dependen. Melalui nilai F kita akan mengetahui apakah corporate governance berpengaruh secara simultan terhadap kinerja bank merger.
3) Nilai t
Merupakan pengujian yang dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Nilai t digunakan untuk menguji koefisien regresi secara parsial dari variabel independennya. Dalam penelitian ini, nilai t menggunakan tingkat signifikansi 5%. Jika ρ value < 0,05 maka H1 diterima, sedangkan jika ρ value > 0,05 maka H1 ditolak.

Sebelum pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi berganda, sebelumnya dilakukan clean up data dengan pemenuhan asumsi klasik untuk memastikan bahwa data penelitian valid, tidak bias, konsisten, dan penaksiran koefisien regresinya efisien (Gujarati, 2003). Pengujian asumsi klasik terdiri dari beberapa macam pengujian, meliputi:
1) Uji Normalitas
Untuk menguji data yang berdistribusi normal akan digunakan alat uji normalitas, yaitu One Sampel Kolmogorov-Smirnov (Ghozali, 2006 Hasil pengujian data dilakukan dengan menguji Kolmogorov-Sminorv. Kriteria pengujian apabila ρ value > 0,05 maka data berdistribusi secara normal, sedangakan apabila ρ value < 0,05 data tidak berdistribusi normal. Hal ini didukung juga dengan tampilan grafik histogram dan normal probability plot.
2) Uji Multikolonieritas
Multikolonieritas merupakan suatu kondisi dimana satu atau lebih variabel independen terdapat korelasi dengan variabel lainnya. Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah masalah yang sering muncul dalam analisis regresi terjadi, yaitu dimana terdapat korelasi yang tinggi antar dua atau lebih variabel independen (Ghozali, 2006).
Menurut Ghozali (2006), salah satu cara untuk mendeteksi multikolonieritas pada suatu model regresi dengan melihat nilai tolerance dan VIF (Variance Inflation Factor), yaitu:
a) Jika nilai tolerance > 0,10 dan VIF < 10, maka dapat diartikan bahwa tidak terdapat multikolonieritas pada penelitian tersebut.
b) Jika nilai tolerance < 0,10 dan VIF > 10, maka dapat diartikan bahwa terjadi gangguan multikolonieritas pada penelitian tersebut.
3) Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (Ghozali, 2006). Untuk mengetahui dan menguji ada tidaknya autokorelasi dalam model analisis regresi, bisa digunakan cara pengujian statistik dengan menggunakan pengujian run test dengan signifikansi 5%.
4) Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain (Ghozali, 2006). Untuk menentukan heteroskedastisitas dengan grafik scatterplot, titik yang terbentuk harus menyebar secara acak, baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Bila kondisi ini terpenuhi maka tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2006).
5) Uji Skewness dan Kurtosis
Uji Skewness dan kurtosis dilakukan untuk mendeteksi normalitas semua variabel yang diuji baik variabel independen (x) dan variabel dependen (y) (Ghozali, 2009:110). Uji statistik yang dilakukan berdasarkan nilai kurtosis atau skewness (z).
Nilai z untuk skewness dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Z skewness = Skewness
V 6 / N
Sedangkan nilai z kurtosis dapat dihitung dengan rumus sebagai:
Z kurtosis = kurtosis
V 24 / N





























BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Deskriptif Data
Analisis deskriptif data terdiri dari seleksi sampel dan statistik deskriptif dan uji asumsi klasik terhadap distribusi data yang dipergunakan sebagai variabel-variabel penelitian.
1. Seleksi Sampel
Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa annual report tahun 2004 hingga 2010. Data ini diperoleh dari situs www.idx.co.id dan situs masing-masing perusahaan sampel. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perbankan yang melakukan merger dari tahun 2004 hingga 2010 yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 4.1.
Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian
Tahun Populasi Sampel
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010 9
9
9
10
15
15
15 5
6
6
7
8
8
7

Perusahaan yang menjadi sampel adalah perusahaan yang memenuhi kriteria dan merupakan bank hasil merger. Berdasarkan kriteria tersebut dari 17 (tujuh belas) bank, ternyata hanya terdapat 12 (dua belas) bank yang termasuk dalam kriteria merger dan dari 12 (dua belas) bank tersebut hanya 8 (delapan) bank yang dapat dijadikan sampel penelitian dan menyediakan data serta informasi secara lengkap terkait dengan variabel-variabel penelitian. Nama perusahaan sampel dapat dilihat pada Lampiran 1 dan data-data tentang variabel penelitian serta jumlah komposisinya dapat dilihat pada Lampiran 2 penelitian ini.
2. Statistik Deskriptif
Pada tahapan berikut dibawah ini dilakukan uji data statistik deskriptif dari variabel dependen penelitian untuk memenuhi uji asumsi klasik penelitian. Berdasarkan data penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa selama 7 (tujuh) tahun terakhir terjadi peningkatan terhadap sistem pengendalian manajemen perusahaan yang sehat dan terarah dalam memenuhi kriteria GCG (good corporate governance) dan penerapan manajemen risiko bagi bank umum sesuai Peraturan Bank indonesia Nomor: 5/8/PBI/2003, meskipun terdapat satu kasus bank umum pada tahun 2008 yang tidak memenuhi kriteria tersebut dan terjadi pada Bank century, Tbk. dimana hal itu menunjukkan bahwa dewan komisaris tidak menjalankan tugasnya dengan baik, terbukti dengan pemecatan dan penjatuhan hukuman kepada komisaris utama Bank Century, Tbk. (www.tempointeraktif.com., 2009).
Berdasarkan data penelitian diperoleh hasil bahwa rerata jumlah dewan komisaris bank sebagai berikut:




Tabel 4.2
Jumlah Rata-rata Dewan Komisaris Bank (Tahun 2004 -2010)
No Nama Bank Jumlah rata-rata per tahun Dewan Komisaris Bank
1
2
3
4
5
6
7
8 Bank Artha Graha Internasional, Tbk.
Bank Century, Tbk
Bank Danamon Indonesia, Tbk
Bank Mandiri, Tbk
Bank Permata, Tbk
Bank CIMB Niaga, Tbk
Bank OCBC NISP, Tbk
Bank Windhu Kencana Internasional, Tbk. 7
3
8
7
8
7
9
4 6 – 8
1 – 4
7 – 10
6 – 10
7 – 10
6 – 8
7 – 10
3 - 4

Abeysekera (2008) mengungkapkan bahwa jumlah dewan komisaris dinilai efektif berada pada rentang lebih dari 5 (lima) orang dan kurang dari 14 (empat belas) orang. Jumlah dewan komisaris paling sedikit dimiliki oleh Bank Century, Tbk. dan Bank Windhu Kencana International, Tbk., dimana Bank Century, Tbk pernah memliliki hanya 1 (satu) orang dewan komisaris pada tahun 2008 dari sebelumnya sebanyak 4 (empat) orang dewan komisaris. Pada tahun 2008, Bank Century, Tbk. dianggap tidak memenuhi Undang-undang RI Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 108 yang menyebutkan bahwa perusahaan go public wajib memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota dewan komisaris. Ada beberapa perusahaan yang memiliki jumlah dewan komisaris yang paling besar sebanyak 10 (sepuluh) orang yaitu: Bank Danamon Indonesia, Tbk. pada tahun 2004, Bank Permata, Tbk. pada tahun 2004 dan Bank OCBC NISP, Tbk. pada tahun 2005 dan 2006.
Nabila (2006) mengemukakan bahwa kebijakan Pakto 88 yang menyebabkan pertumbuhan bank di Indonesia dimana dengan modal Rp. 10 Milyar seseorang sudah bisa mendirikan bank sekaligus menjadi pemilik dan direktur-nta membawa dampak pada struktur industri perbankan Indonesia dengan intensitas kompetisi yang tinggi dan berpengaruh buruk pada tingkat efisiensi dan kesehatan perbankan dalam jangka panjang karena pendirian bank ini tidak diimbangi dengan kualitas dan kemampuan bank dalam menjalankan usahanya. Bank Indonseia akhirnya menyadari hal tersebut dan pada tahun 2006 menerbitkan PBI Nomor : 8/14/PBI/2006 yang menetapkan bahwa komposisi komisaris independen sekurang-kurangnya berjumlah 50,00% dari jumlah anggota dewan komisaris. Komisaris independen diharapkan dapat meningkatkan kualitas pengawasan karena komisaris independen adalah pihak yang tidak terafiliasi dengan manajemen.
Rerata proporsi dewan komisaris independen adalah 49,96%. Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam pada tanggal 1 Juli tahun 2000, yang menyatakan bahwa proporsi dewan komisaris independen adalah 30,00% dari total anggota dewan komisaris, maka proporsi dewan komisaris independen ini sudah baik. Komisaris independen mempunyai peranan penting dalam pengungkapan manajemen risko pada annual report. Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa semua perusahaan sudah memenuhi persyaratan jumlah minimal komisaris independen yang ditetapkan oleh Bapepam.
Proporsi komisaris independen pada Bank Permata, Tbk. pada tahun 2004 dan Bank OCBC NISP, Tbk. pada tahun 2005 yang sebesar 30 %, mengindikasikan bahwa perusahaan ini sangat minim dalam memenuhi peraturan Bapepam, meskipun setahun sesudahnya mengalami peningkatan yang signifikan menjadi 33 % untuk Bank Permata, Tbk. dan 40 % untuk Bank OCBC NISP, Tbk. Ada bank yang proporsi komisaris independennya paling besar, sebanyak 100,00% yaitu Bank Century, Tbk. pada tahun 2008. Hal tersebut terjadi karena baik Bank Century memiliki jumlah komisaris independen sama dengan jumlah anggota dewan komisarisnya. Bank Century, Tbk. hanya memiliki satu anggota dewan komisaris pada tahun 2008 yang sekaligus merupakan komisaris independen.
Rerata proporsi latar belakang pendidikan dewan komisaris adalah 64,15%. Angka tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar dewan komisaris bank merger pernah menempuh pendidikan formal di bidang ekonomi/bisnis, bankan banyak dari mereka bahkan menempuh studinya hingga master ataupun doktor. Hal tersebut menunjukkan bahwa dewan komisaris memiliki level pendidikan yang tinggi. Latar belakang pendidikan yang dimiliki dewan komisaris menunjukkan luasnya pengetahuan yang dimiliki yang juga dapat mempengaruhi kemampuan mereka dalam melakukan analisis masalah yang ada. Dari seluruh jumlah anggota dewan komisaris pada semua sampel perbankan, anggota dewan komisaris yang berasal dari ekonomi/bisnis terlihat mendominasi. Untuk data mengenai jumlah anggota dewan komisaris yang berlatar pendidikan ekonomi/bisnis dan non ekonomi/bisnis dapat dilihat pada tabel di bawah ini.




Tabel 4.3
Latar Belakang Pendidikan Dewan Komisaris
Tahun Jumlah Anggota Dewan Komisaris Ekonomi & Bisnis Non Ekonomi & Bisnis
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010 40
47
45
111
115
109
108 32
30
31
76
82
71
82 8
17
14
35
33
38
26

Untuk ukuran jumlah rapat dewan komisaris diukur melalui banyaknya jumlah rapat yang dilakukan oleh pengawas masing-masing bank dalam setahunnya. Menurut PBI Nomor: 8/14/PBI/2006 dewan komisaris wajib menyelenggarakan rapat secara berkala sekurang-kurangnya empat kali dalam setahun. Menurut Vafeas (2003) semakin banyak rapat yang dilakukan dewan komisaris akan semakin meningkatkan pengawasan yang kemudian akan berdampak pada kinerja perusahaan. Dalam penelitian ini rata-rata jumlah rapat dewan komisaris yang dilakukan dalam setahun adalah sebesar 12 kali untuk masing-masing bank, sehingga apabila dikaitkan dengan Peraturan Bank Indonesia tersebut dapat dikemukakan bahwa para pengawas bank telah cukup melakukan fungsi pengawasan untuk peningkatan kinerja masing-masing bank. Jumlah rapat dewan komisaris terkecil secara minimal sesuai ketentuan PBI sebanyak 4 (empat) kali dalam setahun dilakukan oleh Bank Danamon Indonesia, Tbk., Bank Permata, Tbk., dan Bank Century, Tbk. pada tahun 2004. Pada tahun 2005, dilakukan oleh Bank OCBC NISP., Tbk., Bank Century, Tbk., dan Bank Artha Graha International, Tbk. Pada tahun 2006, dilakukan oleh Bank OCBC NISP, Tbk., Bank Century, Tbk., dan Bank Artha Graha International, Tbk. Pada tahun 2007, dilakukan oleh Bank OCBC NISP, Tbk., Bank Century, Tbk., dan Bank Windhu Kencana International, Tbk. Pada tahun 2008, dilakukan oleh Bank OCBC NISP, Tbk. dan Bank Century, Tbk dan tahun 2009 hanya Bank Century, Tbk. dan Bank Artha Graha International, Tbk. yang melakukan rapat minimal tersebut; serta tahun 2010 tinggal Bank OCBC NISP, Tbk. yang melakukannya.
Latar belakang pendidikan komisaris utama yang mempunyai pendidikan di bidang ilmu ekonomi dan bisnis adalah sebesar 64,14%. Latar belakang tersebut menjadi penting karena sifat bisnis perbankan yang sangat tergantung dengan perkembangan dunia bisnis dan perekonomian makro dengan memiliki kemampuan bisnis dan ekonomi diharapkan bahwa komisaris utama mampu melakukan pengawasan melekat untuk menunjang kelangsungan bisnis perbankan tersebut (Kusumastuti, 2007). Latar belakang pendidikan komisaris utama di bidang ilmu ekonomi dan bisnis paling rendah dimiliki oleh Bank OCBC NISP, Tbk. pada tahun 2004 sebesar 44% dan Bank Artha Graha International, Tbk., sebesar 38% pada tahun 2005 dan 2006 serta 33% pada tahun 2007 dan Bank Windhu Kencana International, Tbk. sebesar 25% pada tahun 2007. Pada tahun 2008, Bank Artha Graha International, Tbk. dan Bank Windhu Kencana International, Tbk. masing-masing sebesar 335 dan tahun 2009 Bank Artha Graha International, Tbk. tetap pada posisi sebesar 33% , demikian pula pada tahun 2010. Latar belakang pendidikan komisaris utama ini menjadi penting karena berpengaruh terhadap independensi pengawasan bank dalam upaya meningkatkan kinerja.
Komponen lain yang mendukung terlaksananya corporate governance untuk peningkatan kinerja bank adalah Komite Audit (FCGI, 2001). Sesuai dengan Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: Kep. 29/PM/2004, Komite Audit adalah komite yang dibentuk oleh Dewan Komisaris untuk melakukan tugas pengawasan dan pengelolaan perusahaan. Xie, et.al. (2003) mengemukakan bahwa rata-rata komite audit yang harus dimiliki oleh perusahaan adalah 5 orang dalam rentang 2 sampai 12 anggota. Semakin besar jumlah anggota Komite Audit semakin dapat menjaga kinerja bank dengan lebih baik. Dalam penelitian ini, jumlah Komite Audit terkecil yang dimiliki oleh bank hasil merger tersebut adalah pada Bank OCBC NISP, Tbk. yang pada tahun 2004 hanya memiliki 2 (dua) anggota Komite Audit. Jumlah Komite Audit paling kecil dimiliki oleh Bank Windhu Kencana Internasional, Tbk. yang pada tahun 2008 hanya memiliki 1 (satu) orang anggota. Bank-bank lain memiliki anggota Komite Audit antara rentang 3 – 7 anggota dari masing-masing bank untuk masing-masing tahun penelitian.
Menurut Li, et.al. (2008) anggota Komite Audit Independen (KAI) berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja perusahaan. KAI dipandang sebagai alat untuk menghondari kecurangan dalam pelaporan keuangan dan memonitor kinerja manajemen peusahaan. Dalam penelitian ini variabel KAI masing-masing bank menunjukkan proporsi yang cukup bagus terhadap jumlah seluruh anggota Komite Audit. Bank-bank yang mempunyai proporsi KAI di angka 100% pada tahun 2004 adalah Bank Danamon Indonesia, Tbk., Bank Permata, Tbk., Bank OCBC NISP, Tbk., dan Bank Century, Tbk., pada tahun tersebut proporsi paling rendah dimiliki oleh Bank Mandiri, Tbk. dengan angka sebesar 85%. Pada tahun 2005, proporsi KAI di angka 100% dimiliki oleh Bank Permata, Tbk., Bank OCBC NISP, Tbk., Bank Century, Tbk., dan Bank Artha Graha International, Tbk., dan yang terendah dimiliki oleh Bank Danamon Indonesia, Tbk. sebesar 83% dan Bank Mandiri, Tbk. sebesar 80%. Pada tahun 2006, proporsi KAI sebesar 100% masih dimiliki oleh Bank OCBC NISP, Tbk., Bank Century, Tbk, dan Bank Artha Graha International, Tbk. Proporsi KAI yang paling rendah dimiliki oleh Bank Danamon Indonesia, Tbk., sebesar 83% dan Bank mandiri, Tbk. serta Bank Permata, Tbk. masing-masing sebesar 80%. Pada tahun 2007, bank-bank yang memiliki proporsi KAI sebesar 100% adalah Bank mandiri, Tbk., Bank OCBC NISP, Tbk. dan Bank Century, Tbk. Bank-bank yang memiliki proporsi KAI rendah adalah Bank Danamon Indonesia, Tbk., Bank Permata, Tbk., Bank Artha Graha Internasional, Tbk. dan Bank Windhu Kencana Internasional, Tbk. masing-masing sebesar 67%. Pada tahun 2008, proporsi KAI terbesar dimiliki oleh Bank Mandiri, Tbk., Bank OCBC NISP, Tbk., Bank Century, Tbk., Bank Artha Graha Internasional, Tbk. dan Bank Windhu Internasional, Tbk. masing-masing sebesar 100%. Proporsi KAI terendah dimiliki oleh Bank Permata, Tbk. sebesar 50%, Bank Danamon Indonesia, Tbk. sebesar 67% dan Bank CIMB Niaga sebesar 85%. Pada tahun 2009, proporsi KAI sebesar 100% dimiliki oleh Bank Mandiri, Tbk., Bank Century, Tbk. dan Bank Artha Graha Internasional, Tbk. Proporsi paling rendah dimiliki oleh Bank Danamon Indonesia sebesar 33%, Bank Permata, Tbk. dan Bank Artha Graha Internasional, Tbk. masing-masing sebesar 50%, serta Bank Windhu Kencana Internasional, Tbk. sebesar 67% dan Bank CIMB Niaga, Tbk. sebesar 71%. Pada tahun 2010, proporsi KAI 100% dimiliki oleh Bank Permata, Tbk., Bank OCBC NISP, Tbk., Bank Artha Graha Internasional, Tbk. dan Bank Windhu Kencana Internasional, Tbk. Proporsi paling rendah dimiliki oleh Bank CIMB Niaga, tbk. sebesar 33%, BankDanamon Indonesia, Tbk. dan Bank Century, Tbk. masing-masing sebesar 67%.
Variabel berikutnya yang berpengaruh adalah variabel latar belakang pendidikan Komite Audit. Menurut Dezoort (1998) pengetahuan dan keahlian dalam bidang akuntansi/audit sangat diperlukan oleh anggota Komite Audit dalam menyelesaikan perselisihan antara pihak manajemen dengan auditor eksternal karena hal terseut akan memperngaruhi kinerja perusahaan. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing bank mempunyai Komite Audit yang mempunyai pengalaman di bidang akuntansi/audit antara 2 (dua) sampai 6 (enam) orang untuk masing-masing perusahaan. Hanya terdapat 5(lima) bank yang mempunyai 1 (satu) orang anggota Komite Audit yang berpengalaman dalam bidang akuntansi/audit yaitu Bank Artha Graha Internasional, Tbk. pada tahun 2005 dan tahun 2007 serta tahun 2008, Bank Permata, Tbk. pada tahun 2006, Bank Century, Tbk. pada tahun 2008, Bank Windhu Kencana Internasional, Tbk. pada tahun 2009 dan Bank OCBC NISP, Tbk. pada tahun 2010.
Untuk mendukung kesinambungan kinerja usaha perusahaan dengan baik maka Komite Audit tersebut harus secara rutin melakukan rapat 3(tiga) sampai 4(empat) kali dalam setahun (FCGI, 2001). Rapat tersebut terutama membahas tentang kewajiban dan tanggung-jawab yang menyangkut sistem pelaporan keuangan. Hasil data penelitian menunjukkan bahwa masing-masing bank melakukan rapat Komite Audit antara rentang 9 (sembilan) hingga 42 (empat puluh dua) kali rapat dalam setahunnya. Terdapat hanya 1(satu) bank yang melakukan rapat antara 2(dua) sampai 4(empat) kali dalam satu tahun yaitu Bank Windhu Kencana Internasional, Tbk. yaitu sebanyak 2(dua) kali rapat dalam tahun 2007 dan 4(empat) kali rapat dalam tahun 2009 dan 2010. Jumlah rapat tertinggi dilakukan oleh bank Permata, Tbk. yang setiap tahun melakukan rapat 10(sepuluh) hingga 50(lima puluh) kali dalam setahun.
Variabel independen lain adalah proporsi kepemilikan saham, undang-undang Perseroan Terbatas terbaru Nomor $0 tahun 1997 menyatakan bahwa proporsi kepemilikan mayoritas pemegang saham dimiliki oleh pemegang saham pengendali yang mempunyai komposisi kepemilikan saham sampai 50% dari keseluruhan saham yang diterbitkan oleh perusahaan. Hal ini menururt Purba (2004) akan berpengaruh terhadap tingkat kapitalisasi modal, Purba (2004) juga menyatakan bahwa proporsi kepemilikan saham publik berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Untuk itu, dalam penelitian ini variabel proporsi kepemilikan saham diasumsikan mempunyai nilai dummy variabel 1 apabila proporsi kepemilikan saham mayoritas di perusahaan lebih dari 51% dan nilai 0 apabila berada dibawah proporsi tersebut. Hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa kepemilikan saham mayoritas mulai tahun 2004 dimiliki oleh Bank Mandiri, Tbk.dan Bank Danamon Indonesia, Tbk, masing-masing sebesar 69,50% dan 65,75%. Pada tahun 2005, dimiliki oleh Bank Mandiri, Tbk., Bank Danamon Indonesia, Tbk. dan Bank OCBC NISP, Tbk. masing-masing sebesar 69,10%, 69,69% dan 72,29%. Pada tahun 2006, menjadi sebesar 67,86%, 69,25% dan 72,35%. Pada tahun 2007, menjadi sebesar 67,27%, 68,05% dan 72,40%. Pada tahun 2008, menjadi 66,96%, 67,87% dan 74,73% ditambah oleh Bank Century, Tbk. yang dimiliki oleh pemerintah sebesar 99,99% dan Bank CIMB NIAGA, Tbk. sebesar 77,24%. Pada tahun 2009, kepemilikan mayoritas dimiliki oleh Bank Mandiri, Tbk., Bank Danamon Indonesia, Tbl., Bank OCBC NISP, Tbk., Bank Century/Mutiara, Tbk. dan Bank CIMB NIAGA, Tbk. masing-masing sebesar 66,76%, 67,63%, 74,73%, 99,99% dan 77,24%. Pada tahun 2010, komposisi kepemilikan saham mayoritasnya adalah Bank Mandiri, Tbk., Bank Danamon Indonesia, Tbk., Bank OCBC NISP, Tbk., Bank Century/Mutiara, Tbk. dan Bank CIMB NIAGA, Tbk. masing-masing sebesar 60,00%, 67,42%, 81,90%, 99,99% dan96,91%.

B. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan satu pengujian, yaitu dengan menggunakan analisis regresi berganda. Sebagai prasyarat pengujian regresi berganda dilakukan uji asumsi klasik untuk memastikan bahwa data penelitian valid, tidak bias, konsisten, dan penaksiran koefisien regresinya efisien (Gujarati, 2003). Pengujian asumsi klasik terdiri dari beberapa macam pengujian, meliputi: Uji Normalitas menggunakan uji Skewness dan Kurtosis, Uji Multikolonearitas, Uji Autokorelasi, dan Uji Heteroskedastisitas.
Penelitian ini telah memenuhi uji asumsi klasik, hasil pengujian asumsi klasik tersebut dapat dilihat pada lampiran 3.



Analisis Regresi Berganda
Regresi berganda dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab perumusan masalah yaitu menguji apakah corporate governance bank-bank hasil merger berpengaruh terhadap kinerja perbankan. Pengujian variabel-variabel corporate governance diproksikan dengan ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris independen, latar belakang dewan komisaris, rapat dewan komisaris, jumlah komite audit, proporsi komite audit independen, latar belakang pendidikan komite audit, raoat komite audit dan struktur kepemilikan. Kinerja perbankan diproksikan dengan efisiensi.
Uji regresi berganda ini dilakukan dengan metode backward . Pengolahan data menggunakan metode backward pada penelitian ini menghasilkan 4(empat) model persamaan regresi yang memberikan signifikasi konstanta yang berbeda-beda. Model ketiga dipilih karena memiliki nilai signifikasi konstanta sebesar 0,000003 dan nilai R-Squared sebesar 0,641072 (lihat Lampiran 6). Dalam uji tersebut model ini memiliki jumlah variabel signifikan yang tertinggi yaitu sebesar 5 (lima) variabel independen dibanding model-model lain yang tidak mempunyai jumlah variabel signiifikan pada tingkat uji kesalahan (p-value) 5%..
Model tersebut merupakan model yang paling signifikan dalam memprediksi persamaan regresi antara tingkat kinerja efisiensi perbankan dengan corporate governance. Berdasarkan hasil pengujian regresi berganda terkait pengaruh corporate governance terhadap kinerja efisiensi perbankan diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.4
Hasil Uji Data Panel dengan Pendekatan GLS (General Least Square)
Variabel Koefisien t Sig.
(Constant) -0,5151 -1,451 0,154
DEKOM -0,0850 -3,252 0,002
KOMIND 0,1457 0,418 0,678
LBPDK -0,1457 -0,679 0,501
RAKOM 0,0113 2,809 0,007
KOMA 0,1238 2,577 0,013
KAI 0,4204 1,536 0,132
LBPKA
0,4804 2,588 0,013
RAKA 0,0157 2,594 0,013
OWN -0,0159 0,777 0,4420
R Square 0,641072
Adjusted R Square 0,556063
F 7,541200
Sig
0,05
*Secara statistik signifikan pada tingkat 5%

Koefisien Determinasi (R2) digunakan untuk mengukur seberapa jauh variabel independen mampu menerangkan variabel dependen. Setiap tambahan satu variabel independen, maka R2 pasti meningkat tidak peduli apakah variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Oleh karena itu, untuk jumlah variabel independen lebih dari dua, lebih baik menggunakan koefisien determinasi yang telah disesuaikan yaitu Adjusted R2 ( Ghozali, 2006).
Dari tabel 4.7 di atas menunjukkan bahwa nilai R Square (R2) sebesar 0,641072 dan nilai adjusted R Square (Adjusted R2) sebesar 0,556063. Berdasarkan nilai Adjusted (R2) tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebanyak 44,40% variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen serta variabel kontrol dan sisanya sebanyak 55,60% dijelaskan oleh faktor lain.
Dalam tabel tersebut juga menunjukkan nilai F hitung sebesar 7,541200 dengan probabilitas 0,000003 (ρ-value < 0,050). Karena nilai F lebih besar dari 4 dan probabilitas jauh lebih kecil dari 0,050 maka model regresi ini menunjukkan tingkatan yang baik (good overall model fit) sehingga model regresi dapat digunakan untuk memprediksi kinerja efisiensi atau dapat dikatakan bahwa jumlah dewan komisaris, proporsi komisaris independen, latar belakang pendidikan dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, jumlah komite audit, proporsi komite audit independen, latar belakang pendidikan komite audit, jumlah rapat komite audit dan struktur kepemilikan secara bersama-sama berpengaruh terhadap kinerja efisiensi perbankan (Ghozali, 2006).
Berdasarkan pengujian hipotesis yang telah dilakukan, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah dewan komisaris (DEKOM), jumlah rapat dewan komisaris (RAKOM), proporsi komite audit independen (KAI), latar belakang pendidikan komite audit (LBPKA) dan jumlah rapat komite audit (RAKA) berpengaruh terhadap kinerja efisiensi (EFI), sedangkan proporsi komisaris independen (KOMIND), latar belakang pendidikan dewan komisaris LBPDK), proporsi komite audit independen (KAI) dan struktur kepemilikan (OWN) tidak berpengaruh terhadap kinerja efisiensi perbankan (EFI).
Dewan komisaris dianggap sebagai mekanisme pengendalian intern tertinggi, yang bertanggung jawab untuk memonitor dan mengontrol perilaku oportunistik manajemen sehingga dapat membantu menyelarasakan kepentingan pemegang saham dan manajemen. Dikaitkan dengan pengungkapan informasi oleh perusahaan, penelitian yang dilakukan Sembiring (2005) menunjukkan adanya pengaruh positif antara berbagai karakteristik dewan komisaris dengan tingkat pengungkapan informasi oleh perusahaan.
Ukuran dewan komisaris - DEKOM (β = -0,0850, ρ-value = 0,002) menunjukkan bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat risk disclosure. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin besar jumlah anggota komisaris sebuah perusahaan memberikan pengawasan/kontrol yang lebih optimal terhadap proses pelaksanaan corporate governance sehingga perusahaan dapat mengungkapkan risiko (risk disclosure) dengan lebih baik, lengkap, dan informatif. Dengan pengawasan yang baik dan efektif, dewan komisaris dapat mendorong manajemen agar dapat lebih transparan dalam mengungkapkan risiko. Hal ini sesuai dengan fungsi kontrol dewan komisaris seperti disebutkan dalam Bab I.
Ukuran dewan komisaris yang semakin besar menjadikan dewan komisaris memiliki power (kekuatan) sehingga tekanan yang diberikan untuk melakukan pengungkapan yang lebih luas juga semakin besar. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Che Haat, Rahman, dan Mahenthiran (2008) yang menyatakan bahwa dewan komisaris memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keputusan manajemen dan keputusan penting lainnya. Semakin besar ukuran ukuran dewan komisaris maka kekuatan yang dimiliki untuk melakukan monitoring jalannya perusahaan juga semakin besar.
Selain memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keputusan manajemen, dewan komisaris dengan jumlah yang lebih banyak dapat memberikan jasa konsultasi atau konseling dengan lebih beragam dan objektif. Semakin banyak anggota dewan komisaris dapat memberikan jasa konsultasi yang lebih banyak dan lebih berkualitas. Dalton et al (1999) menyatakan bahwa peranan keahlian atau konseling yang diberikan oleh dewan komisaris merupakan jasa yang berkualitas bagi manajemen dan perusahaan yang tidak dapat diberikan oleh pasar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dewan komisaris sudah menjalankan fungsi servis dengan baik.
Mengenai fungsi utama dewan komisaris dapat dilihat di bab I. Koefisien negatif ukuran dewan komisaris menunjukkan pengaruh negatif antara ukuran dewan komisaris dengan tingkat efisiensi perbankan. Hasil peneltian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2005), Coller dan Gregory (2009), dan hasil ini juga berhasil mendukung hasil penelitian Arifin (2002) yang menemukan bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap luas pengungkapan perusahaan di Indonesia.
Untuk mengilustrasikan pengaruh ukuran dewan komisaris, dapat dilihat pada Bank Mandiri, Tbk. yang memiliki tingkat efisiensi sebesar 100% mulai tahun 2004 sampai tahun 2010 (atau selama tujuh tahun berturut-turut), ternyata memiliki jumlah anggota dewan komisaris sebanyak enam sampai tujuh orang. Sebaliknya, pada Bank Century, Tbk. yang memiliki jumlah dewan komisaris paling banyak 4 (empat) orang tingkat kinerja efisiensinya rendah dibawah nilai 60% meskipun juga pernah mencapai nilai 100% pada tahun 2005 setahun sesudah melakukan merger dan pada saat diambil alih
oleh Pemerintah RI pada tahun 2008 dengan jumlah dewan komisaris sebanyak 1 (satu) orang kinerja efisiensinya merosot sampai dibawah 10%.
Komisaris sebanyak satu orang yang bahkan komisaris tersebut juga merangkap sebagai komisaris independen, jelas tidak sesuai dengan apa yang sudah disyaratkan oleh Bapepam mengenai jumlah anggota dewan komisaris. Ternyata bank dengan jumlah dewan komisaris lebih banyak memiliki tingkat kinerja efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank yang memiliki dewan komisaris lebih sedikit. Dari pernyataan di atas ditarik kesimpulan bahwa jumlah dewan komisaris mempengaruhi tingkat efisiensi perbankan bank hasil merger. Hasil ini sejalan dengan hipotesis pertama dalam penelitian ini, sehingga hipotesis pertama bagian a (H1a) diterima.
Proporsi komisaris independen - KOMIND (β = 0,1481, ρ-value = 0,678) menunjukkan bahwa proporsi komisaris independen3 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat efisiensi perbankan.

Koefisien sebesar 0,1481 menunjukkan pengaruh positif antara proporsi komisaris independen dengan tingkat efisiensi perbankan. Hal ini dimungkinkan karena komisaris independen tidak menggunakan independensinya untuk mengawasi kebijakan direksi dengan maksimal sehingga dapat menciptakan kinerja efisien.
Hal menarik dapat dilihat berkaitan dengan independensi, yaitu bahwa terdapat fenomena di Indonesia yang memberikan jabatan komisaris kepada seseorang bukan berdasarkan kompetensi dan profesionalisme, namun sebagai penghormatan atau penghargaan. Dapat dikatakan pemilihan komisaris di Indonesia kurang mempertimbangkan integritas serta kompetensi (Surya dan Yustiavandana 2006).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa peran dan tanggung jawab dewan komisaris independen pada perbankan di Indonesia belum berfungsi sebagai mana mestinya. Hal ini mengindikasikan bahwa tingginya rerata komposisi komisaris independen di Indonesia sebesar 58,59% hanya untuk mematuhi ketentuan Bapepam mengenai persyaratan jumlah minimal komisaris independen, bukan untuk mendorong penerapan corporate governance. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Suhardjanto dan Afni (2009), Suhardjanto dan Miranti (2009), Ho dan Wong (2001), Dalton et al (1999), dan Wan Mohamad dan Sulong (2010). Hasil penelitian ini mendukung survei dari Asian Development Bank yang menemukan bahwa kuatnya kendali pendiri perusahaan dan kepemilikan saham mayoritas menjadikan dewan komisaris tidak independen dan fungsi pengawasan tidak efektif karena timbulnya masalah dalam koordinasi, komunikasi, dan pembuatan keputusan. Hasil ini tidak sejalan dengan hipotesis kedua dalam penelitian ini, sehingga hipotesis pertama bagian b (H1b) ditolak.
Jumlah rapat dewan komisaris – RAKOM (β = 1,1398, ρ-value = 0,007) menunjukkan bahwa jumlah rapat dewan komisaris berpengaruh secara signifikan terhadap efisiensi perbankan. Hasil ini sejalan dengan hipotesis ketiga dalam penelitian ini, sehingga hipotesis pertama bagian c (H1c) diterima4. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Khanchel (2007) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara masing-masing variabel dalam index corporate government dengan ukuran perusahaan, intangible assets, kesempatan berinvestasi, direksi dan pemegang saham.
Untuk latar belakang pendidikan dewan komisaris – LBPDK (β = -0,1457, ρ-value = 0,501) menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan dewan komisaris tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat efisiensi perbankan5. Hal tersebut mengindikasikan bahwa latar belakang pendidikan dewan komisaris tidak menentukan keputusan manajemen perbankan dalam meningkatkan efisiensinya, sehingga hipothesis pertama bagian d (H1d) dalam penelitian ini ditolak. Jumlah rerata proporsi latar belakang pendidikan dewan komisaris yang cukup tinggi sebesar 72,00% menunjukkan bahwa jajaran dewan komisaris pada perbankan Indonesia didominasi oleh figur yang berlatar belakang pendidikan ekonomi/bisnis. Pada perbankan terdapat dominasi anggota dewan komisaris yang memiliki latar belakang pendidikan ekonomi/bisnis dan dianggap telah sesuai dengan disiplin ilmu mereka di mana sampel dari penelitian ini adalah industri perbankan. Dalam penelitian ini proporsi latar belakang pendidikan dewan komisaris bukan variabel yang berpengaruh terhadap kinerja efisiensi. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Dalton, et al (1999) yang menyatakan bahwa latar belakang pendidikan dewan komisaris bukan variabel yang berpengaruh terhadap kinerja perusahaan dan kuatnya kendali pendiri perusahaan serta kepemilikan saham mayoritas menjadikan dewan komisaris tidak independen dan fungsi pengawasan tidak efektif karena timbulnya masalah dalam koordinasi, komunikasi dan pembuat keputusan.
Jumlah komite audit - KOMA (β = 12,3863, p-value = 0,013) menunjukkan bahwa jumlah komite audit berpengaruh secara signifikan terhadap efisiensi perbankan6. Hipothesis kedua bagian a (H2a) diterima, hal ini sejalan dengan hasil penelitian Green (1994) yang menyatakan bahwa komite audit mempunyai konstribusi dalam proses penyediaan laporan keuangan audited dengan pihak audit eksternal. Hal tersebut akan menyebabkan efektivitas komite audit untuk mengurangi gap antara manajemen dengan pihak eksternal auditor yang independen dan menjadikan kinerja corporate governance lebih mantap di perusahaan.
Proporsi komite audit independen – KAI (β = 42,0428, p-value = 0,1327) menunjukkan bahwa proporsi komite audit independent tidak berpengaruh7 secara signifikan terhadap efisiensi perbankan. Sehingga hipothesis kedua bagian b (H2b) ditolak, hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lin, et.al (2007) yang menyatakan bahwa karakteristik komite audit perusahaan-perusahaan di Cina hanya mencerminkan image Good Corporate Governance (GCG), aturan-aturan tersebut meliputi hal-hal tentang improvement internal control, aturan-aturan compliance, sistem pelaporan keuangan dan proses audit secara efektif.
Hasil uji variabel jumlah rapat komite audit – RAKA (β = 1,1575, p-value = 0,013) signifikan terhadap kinerja efisiensi perbankan8, sehingga hipothesis kedua bagian c (H2c) diterima. Hal ini sejalan dengan penelitian Chan & Li (2008) bahwa independensi komite audit (independent directors) menyebabkan peningkatan nilai-nilai perusahaan.
Hasil uji terhadap latar belakang pendidikan komite audit – LBPKA (β= 48,0428, p-value = 0,0136) menunjukkan bahwa variabel latar belakang pendidikan komite audit signifikan terhadap kinerja efisiensi perbankan9, sehingga hipotheis kedua bagian d (H2d) diterima. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Akhtaruddin, et.al. (2010) yang menyatakan bahwa perusahaan yang didukung dengan komite audit yang berlatar belakang akuntansi dan audit akan meningkatkan level pengawasan melekat secara internal dan mengurangi asimetri informasi antara manajemen perusahaan dengan pemegang saham (investor).
Hasil uji variabel struktur kepemilikan – OWN (β = -0,1599, p-value= 0,4420) menunjukkan bahwa variabel struktur kepemilikan tidak signifikan10 terhadap kinerja efisiensi perbankan, sehingga hipothesis ketiga (H3) ditolak. Hal ini sejalan dengan penelitian Lukas Setia Atmaja (2009) bahwa konsentrasi kepemilikan hanya berdampak negatif pada independensi manajemen tetapi tidak berdampak pada independensi komite audit. Hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa independensi manajemen menyebabkan peningkatan nilai-nilai perusahaan dan dampak kinerja dari manajemen yang independen lebih kuat dalam penyelenggaraan perusahaan yang melakukan pembayaran dividen rendah.








BAB V
PENUTUP

Hasil penelitian tersebut diatas memperoleh kesimpulan hasil penelitian, saran, keterbatasan, dan rekomendasi untuk peneliti selanjutnya seperti yang diuraikan dalam uraian berikut dibawah ini.
A. Kesimpulan
Penelitian ini dilakukan dengan menguji peran corporate governance (direpresentasikan dengan jumlah dewan komisaris, proporsi komisaris independen, latar belakang pendidikan dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, jumlah komite audit, proporsi komite audit independen, latar belakang pendidikan komite audit, jumlah rapat komite audit dan struktur kepemilikan) dalam menciptakan kinerja efisiensi perbankan hasil merger di Indonesia. Hasil penelitian memperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Sesuai dengan Hipotesis 1a (H1a) dan hasil uji penelitian maka H1a – diterima, sehingga ukuran/jumlah dewan komisaris (DEKOM) berpengaruh terhadap kinerja perusahaan dengan nilai konstanta pengaruh -0,8506.
2. Hipotesis 1b (H1b) sesuai hasil uji penelitian ditolak sehingga H1b – ditolak, dalam arti bahwa proporsi komisaris independen (KOMIND) tidak berpengaruh terhadap kinerja bank.
3. Hipotesis 1c (H1c) sesuai hasil uji penelitian diterima sehingga H1c – diterima, jumlah rapat Dewan Komisaris (RAKA) berpengaruh terhadap kinerja bank hasil uji penelitian menunjukkan nilai konstanta pengaruh +0,0113.
4. Hipotesis 1d (H1d) ditolak, sehingga latar belakang pendidikan komisaris utama tidak berpengaruh terhadap kinerja bank.
5. Hipotesis 2a (H2a) diterima, sehingga ukuran atau jumlah komite audit berpengaruh terhadap kinerja bank dengan hasil uji penelitian menunjukkan koefisien pengaruh sebesar +0,1238.
6. Hipotesis 2b (H2b) ditolak, sehingga proporsi komite audit independen tidak berpengaruh terhadap kinerja bank.
7. Hipotesis 2c (H2c) diterima, sehingga jumlah rapat komite berpengaruh terhadap kinerja bank; hasil uji penelitian menunjukkan bahwa besarnya koefisien pengaruh adalah +0,0115.
8. Hipotesis 2(d) diterima, sehingga latar belakang pendidikan anggota komite audit berpengaruh terhadap kinerja bank; hasil uji penelitian menunjukkan besarnya pengaruh tersebut adalah +0,4804.
9. Hipotesis ketiga (H3) ditolak, sehingga proporsi kepemilikan saham tidak berpengaruh terhadap kinerja bank.
10. Persamaan regresi berganda dari hasil pengujian data panel data-data bank merger di Indonesia pada tahun 2004 – 2010 adalah sebagai berikut:


Dimana : EFI - Efisiensi kinerja bank merger
DEKOM - Jumlah dewan komisaris
RAKOM - Jumlah rapat dewan komisaris
KOMA - Jumlah komite audit
RAKA - Jumlah rapat komite audit
LBPKA - Latar belakang pendidikan komite audit

B. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut:
1. Dewan komisaris sebagai komponen penting yang mendukung terlaksananya corporate governance harus meningkatkan perannya sehingga dapat meningkatkan kinerja efisiensi perbankan, Dewan komisaris sangat berperan baik dalam komposisi jumlahnya maupun jumlah rapat dewan komisaris yang dilakukan per tahunnya. Semakin banyak jumlah rapat dewan komisaris maka akan semakin efektif pengawasan melekat pada bank tersebut dalam menciptakan kinerja efisiensinya.
2. Komite audit juga mempunyai peran penting dalam menciptakan kinerja efisiensi perbankan, yang sangat berperan menciptakan kinerja efisiensi perbankan adalah jumlah komite audit, jumlah rapat komite audit per tahun dan latar belakang pendidikan komite audit di bidang akuntansi dan auditing untuk lebih dapat mengefektifkan pengawasan internal di bank dan menghindarkan tindakan fraud.
3. Perlu diadakan sosialisasi mengenai pengukuran kinerja bank menurut indikator alternatif berdasarkan rasio keuangan perbankan yang meliputi rasio BOPO, ROA dan ROE serta klasifikasi tingkat sehat atau tidaknya sebuah bank berdasarkan rasio-rasio keuangan serta kaitannya dengan kinerja efisiensi relatif yang diukur melalui DEA (Data Envelopment Analysis).
C. Keterbatasan
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah penggunaan ukuran kinerja efisiensi perbankan menggunakan skala efisiensi relatif dengan metode DEA (Data Envelopment Analysis) yang merupakan metode non-parametrik dan belum mengukur efisiensi matematis/finasial dengan rasio-rasio keuangan yang dipersyaratkan oleh Bank Indonesia untuk menentukan tingkat sehat atau tidaknya sebuah bank.
Karakteristik item yang digunakan untuk mengukur tingkat kinerja efisiensi hanya mempertimbangkan faktor input dan output sebuah bank yang terdiri dari sumber dana dan penggunaan dana tersebut, hal ini masih umum dan kurang spesifik mengungkapkan tentang tingkat efisiensi dari setiap unit sumber dana yang menghasilkan laba usaha maupun menciptakan kinerja efisiensi perbankan melalui rasio biaya dan pendapatan operasionalnya (BOPO), tingkat pengembalian asset (ROA), maupun tingkat pengembalian atas modal sendiri (ROE) Hal tersebut mengakibatkan adanya kendala untuk mengukur tingkat kinerja efisiensi perbankan hasil merger secara matematis/finansial.

D. Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat diberikan peneliti untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Peneliti selanjutnya bisa melakukan penelitian mengenai pengungkapan atas perhitungan kinerja efisiensi perbankan dengan menggunakan rasio keuangan secara lebih terperinci untuk mengukur distibusi manfaat dari setiap unit mata uang yang dipergunakan untuk dapat menghasilkan sebuah keuntungan bagi bank.
2. Item pengungkapan dalam penelitian ini mengacu pada penngukuran kinerja bank menurut indikator alternatif dari Bank Indonesia, yaitu : indikator BOPO (rasio biaya operasional dan pendapatan operasional), ROA (return on equity) dan ROA (return on assets).
3. Peneliti selanjutnya juga dapat melakukan komparasi mengenai pengungkapan kinerja efisiensi perbankan hasil merger di Indonesia dengan kinerja efisiensi perbankan hasil akuisisi maupun hasil konsolidasi di Indonesia, hal ini dapat diungkapkan untuk menghindarkan efek bias terhadap kinerja bank yang dihasilkan dari beberapa proses yang berbeda sifatnya dari segi keuangan tersebut.
4. Perlu dilakukan penelitian secara kualitatif dengan meneliti pengaruh Direktur yang tidak profesional terhadap kinerja keuangan bank hasil merger di Indonesia, sehingga dapat disinergikan faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kinerja bank dan kinerja keuangan bank hasil merger di Indonesia baik secara kuantitatif maupun kualitatif.











DAFTAR PUSTAKA

Abeysekera, I. 2008. The role of corporate governance in intellectual capital disclosure in Kenyan listed firms. www.ssrn.com. 30 Agustus 2011.
Agrawal, A., J. Jaffe, dan G. N. Mandelker. 1992. The post-merger performance of acquiring firms: a re-examination of an anomaly. Journal of Finance 47(4): 1605-21.
Agus Sartono. 1995. Manajemen Keuangan. Yogyakarta: BPFE.
Akhtaruddin, M., M. A. Hossain, M. Hossain, dan L. Yao. 2009. Corporate governance and voluntary disclosure in corporate annual reports of Malaysian listed firms. Journal of Applied Management Accounting Research 7(1): 1-19.
Akhtaruddin, M. and Haron, Hasnah, 2010. Board Ownership, audit committees’ rffectiveness and corporate voluntary disclosures. Asian Review of Accounting Vol. 18 No. 1, 2010. PP. 68 – 82.
Alijoyo, F. Antonius. 2003. Keberadaan & peran komite audit dalam rangka implementasi GCG. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional GCG–FKSPI BUMN/BUMD wilayah Jawa Timur, Surabaya-Indonesia tanggal 7 Mei 2003.
Anderson, A., dan P. P. Gupta. 2009. A cross-country comparison of corporate governance and firm performance: Do financial structure and the legal system matter? Journal of Contemporary Accounting & Economics 5(2): 61–79.
Andres, P., Azofra, V., Lopez, F. 2005. Corporate boards in OECD countries: size, composition, functioning and effectiveness. Journal of Corporate Governance, 13 (2): 197-210.
Ayuso, S., dan A. Argandona. 2007. Responsible Corporate Governance: Towards a Stakeholder Board of Directors? Working Paper No. 701, IESE Business School, Barcelona.
Bantel, K.A. and S.E. Jackson. 1989. Top management innovations in banking: does the composition of the top team make a difference?” Strategic Management Journal 10: 107-124.
Bart, R.S., Seiford, L.M., and T.F. Siems. “An Envelopment Analysis Approach to Measuring the Managerial Efficiency of Banks”, Annals of Operations Research 45 (1993), pp. 1-19.

Barney, J.B., (1991), Firm Resources and Sustained Competitive Advantage. Journal of Management; 17, (1), pp.99–120.
Beccalli, E. dan P. Frantz. 2009. M&A operations and performance in banking. Journal Finance Services Research 36(2-3): 203-226.
Berger, N. Allen dan D.B Humphrey. 1992. Measurement and Efficiency issue in Commercial Banking. National bureau of Economic Research, University of Chicago Press.
Brick E, Ivan dan Chidambaran N.K. 2007. Board Meetings, Committee Structure and Firm Performance. http://ssrn.com. 21 Agustus 2011.
Brick, E. I. dan N.K.Chidambaran. 2007. Board Meetings, Committee Structure and Firm Performance. http://ssrn.com. 21 November 2010.
Brigham, Eugene F dan Phillip R. Daves. 2002. Intermediate Financial Management. Thomson Learning Inc.
Brown, L. D. dan M. L. Caylor. 2004. Corporate Governance and Firm Performance. Working Paper. http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=586423&http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=586423&http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=586423. 26 April 2011.
Chan, Kam, C. and Li, Joanne, 2008. Audit committee and Firm value: Evidence on outside Top Executives as Expert – Independent Directors. Journal of Department of Accounting & Finance, Gordon Ford College of Business, Western Kentucky University Volume 16, Number 1, January 2008.
Collier, P. dan A. Gregory, 1999. Audit committee activity and agency cost. Journal of Accounting and Public Policy, 18(4-5): 311-332.
Coyle Brian. 2000. Mergers and Acquisitions. Amacom: New York.
Dalton D., Daily C., Johnson J. dan Ellstrad, A. 1999. Number of director and financial performance: Meta analisys. Academy of Management Journal, 42 (6): 674-686.
Dalton, D. R., C. M. Daily, J. I. Johnson dan A. E. Ellstrand. 1999. Number of directors and financial performance: A meta-analysis. Academy of Management Journal 42(6): 974-686.
Deegan, C. dan M. Rankin. 1997. The materiality of environmental information to users of annual reports. Accounting, Auditing, and Accountability Journal 10 (4): 562-583
Dess, G. G., & Lumpkin, G. T. 2003. Strategic management: Creating competitive advantage, McGraw-Hill/ Irwin.
De Young, R. “Management Quality and X-inefficiency in National Banks”. Journal of Financial Services Research 13 (1) (1998), pp. 5-22.

DeZoort, F. T., 1998. An analysis of experience effects on audit committee members’ oversightjudgments. Accounting, Organizations and Society 23, 1–21.
DeZoort, F. T., Salterio, S., 2001. The effects of corporate governance experience and financial reporting and audit knowledge on audit committee members’ judgments. Auditing: A Journal of Practice & Theory 20, 31-47.
Ducolombier,F. 2009. Mergers and Acquisitions.
Egger, P. dan F. R. Hahn. 2010. Endogenous bank mergers and their impact on banking performance: Some evidence from Austria. International Journal of Industrial Organization 28(2): 155 – 166.
Egger, Peter dan Franz R. Hahn. 2010. Endogenous bank mergers and their impact on banking performance: Some evidence from Austria. International Journal of Industrial Organization 28: 155 – 166.
Ettredge, M., K. Johnstone, M. Stone,dan Q. Wang. 2010. The Effects of Company Size, Corporate Governance Quality, and Bad News on Disclosure Compliance. Review of Accounting Studies, Forthcoming. http://ssrn.com. 21 November 2010.
Fama, E.F. dan Jensen, M.C. 1983. Separation of Ownership and Control. Journal of Law & Economics 26 (2): 301-28.
Fich, E. M., dan S. L. Slezak. 2008. Can corporate governance save distressed firms from bankruptcy? An empirical analysis. Review of Quantitative Finance and Accounting 30(2): 225-251.
Filipovic, D. dan I. Filipovic. 2008. An Enterprise Odyssey. International Conference Proceedings. Zagreb: Jun 11-Jun 14, 2008 page 1094-1109.
Forum for Corporate Governance in Indonesia. 2001. Peranan dewan komisaris dan komite audit dalam pelaksanaan corporate governance. Seri Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance), Jilid II. Edisi ke–2. Jakarta. http://fcgi.org.id. 14 agustus 2010.
Forum for Corporate Governance in Indonesia. 2002. Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan). http://fcgi.or.id. 15 September 2010.
Fraser, Donald R. dan Hao Zhang. 2009. Mergers and long-term corporate performance: Evidence from cross-border bank acquisitions. Journal of Money, Credit and Banking 41 (7): 1503-1513.
Ghozali, I. 2006. Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gottesman, Aron A., Matthew R. Morey. 2006. Does a better education make for better managers? An empirical examination of CEO educational quality and firm performance. Working paper.
Green, L. Duncan, 1994. Canadian Audit Committees and Their Constribution to Corporate Governance. Journal of International Accounting Auditing & Taxation, 3 (2) : 135-151.
Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics. Forth Edition. New York: Mc. Graw-Hill.
Gujarati, D.N., and Porter, D.C., 2009, Basic Econometrics, 5th Edition, McGraw-Hill International Edition, Singapore.
Hadad, M. D. W. Santoso, D. Ilyas, dan E. Mardanugraha 2003. Analisis Efisiensi Industri Perbankan Indonesia: Penggunaan Metode Non-parametrik DEA (Data Envelopment Analysis). http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/E5610BE0-6CC1-4161-AFE9-F8116800B44B/7829/PenggmetodeparametrikDEA.pdf. 31 Oktober 2011.
Hadad, Muliaman D. 2003. Analisis Efisiensi Industri Perbankan Indonesia Penggunaan Metode Non-parametrik DEA (Data Envelopment Analysis), Jurnal Bank Indonesia.
Halkos G.E, Salamouris D.S. Efficiency measurement of the Greek commercial banks with the use of financial ratios: a data envelopment analysis approach. Management Accounting Research 2004; 15; 201-224.
Hanh, Franz R.. 2007. Domestic mergers in the Austrian banking sector: a performance analysis. Applied Financial Economics 17: 185–196.
Hanifah, Ester Manik. 2006. Pengaruh merger terhadap peningkatan kinerja keuangan pada industry perbankan di Indonesia. Jurnal Ilmiah Ekonomi 6 (1).
Haniffa, R. M. dan T. E. Cooke. 2005. The impact of culture and governance on corporate social reporting. Journal of Accounting and Public Policy 24 (5): 391–430.
Hartono, J. 2005. Metode Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalaman-Pengalaman. Yogyakarta: BPFE.
Harwood, I. A. (2006). Confidentiality constraints within mergers and acquisitions: gaining insights through a bubble' metaphor. British Journal of Management 17 (4): 347–359.
Hegazy, M., dan Hegazy, K. 2010. Corporate governance in the U.K: Audit committees and disclosure arrangements–A web-based analysis. Journal of Business Studies Quarterly, 1 (2): 32-55.
Herwidayatmo. 2000. Implementasi good corporate governance untuk perusahaan publik Indonesia. Artikel pada majalah Usahawan No. 10 Th XXIX, Oktober 2000.
Hitt, M.E., et.al., 2000. Strategic Management. South Western College Publishing.
Ho, Simon S.M. dan Wong, Kar Shun. 2001. A study of relationship between corporate governance structure and extent of voluntary disclosure. Journal of International Accounting Auditing and Taxation, (10): 139-156.
Humphrey, D.B., and L.B. Pulley. “ Bank Responses to Deregulations: Profits, Technology, and Efficiency “. Journal of Money, Credit and Banking (1997), pp. 73-93

Hunjak, Tihomir dan Jakovcevic, Drago. 2001. AHP Based Model for Bank performance Evaluation and Rating. Berne, Switzerland, ISAHP, August 2-4, 2001.
Huri, Mumu Daman, dan Indah Susilowati. 2004. Pengukuran efisiensi relatif emiten perbankan dengan metode data envelopment analysis (DEA) (Studi Kasus: Bank-Bank yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta Tahun 2002). Dinamika Penbangunan 1(2): 95-110.
Januarti. 2002. Variabel proksi camel dan karakteristik bank lainnya untuk memprediksi kebangkrutan bank di Indonesia. Jurnal Bisnis Strategi 10: 10-26.
Judijanto, L., dan E. V. Khamaladze. 2003. Analysis of bank failure using published financial statements: the case of Indonesia (Part 1). Journal of Data Science 1(2): 199-230.
Khanchel, Imen, 2007. Corporate governance: measurement and determinant analysis. Managerial Auditing Journal Vol. 22, No. 8, 2007, PP. 740-760.
Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: kep. 29/PM/2004 Peraturan Nomor IX.I.5: Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit. http://www.bapepam.go.id/old/hukum/peraturan/IX/IX.I.5.pdf. 9 November 2010.
Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: kep. 29/PM/2004 Peraturan Nomor IX.I.5: Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit. http://www.bapepam.go.id/old/hukum/peraturan/IX/IX.I.5.pdf. 9 November 2010.
Kimberly, J.R. and M.J. Evansiko. 1981. Organizational innovation: the influence of individual, organizational, and contextual factors on hospital adoption of technical and administrative innovations. Academy of Management Journal 24: 689-713.
King, D., D. Dalton, C. Daily. J. Covin. 2004. Meta-analyses of post-acquisition performance: indication of unidentified moderators. Strategic Management Journal 25: 187-200.
King, DR, Slotegraaf, R, & Kesner, I. 2008. Performance implications of firm resource interactions in the acquisition of R&D-intensive firms. Organization Science 19(2): 327-340.
Komite Nasional Kebijakan Governance. 2006. Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. http://governance-indonesia.com. 9 November 2010.
Kusumastuti, Sari Supatmi, dan Sastran Perdana. 2007. Pengaruh Board Diversity Terhadap Nilai Perusahaan dalam Perspektif Corporate Governance. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 9 (2): 88-98.
Laughran, T., dan A. Vijn. 1997. Do-long term shareholders benefit from corporate acquisition? Journal of Banking and Finance 21(1): 99-102.
Leung, S., dan B. Horwitz. 2010. Corporate governance and firm value during a financial crisis. Review of Quantitative Finance and Accounting 34(4): 459-481.
Li, J., R. Pike, dan R. Haniffa . 2008. Intellectual capital disclosure and corporate governance structure in UK firms. Accounting and Business Research, 38 (2): 137-159.
Li, Jing, Richard Pike, dan Roszaini Haniffa. 2008. Intellectual Capital Disclosure and Corporate Governance Structure in UK Firms. Accounting and Business Research, 38 (2): 137-159.
Lin, Junz, Xiao, Jazon Z, Tang, Qingliang, 2007. The roles, responsibilities and characteristics of audit committee in China. Accounting, Auditing & Accoutability Journal, Vol 21. No. 5, 2008, PP. 721-751.
Maditinos, Dimitrios, Nikolaos Theriou, dan Efstathios Demetriades. 2009. The effect of mergers and acquisitions on the performance of companies – the Greek case of Ioniki-laiki Bank and Pisteos Bank. European Research Studies 12 (2): 111-130.
McMullen, D. A. dan K. Raghunandan. 1996. Enhancing audit committee effectiveness. Journal of Accountancy 182(2): 79-81.
Mintara, Yunita Heryani. 2008. Pengaruh implementasi corporate governance terhadap pengungkapan informasi. www.uii.com. 8 November 2010.
Nasution, Marihot dan Setiawan, Doddy. 2007. Pengaruh corporate governance terhadap manajemen laba di industri perbankan. Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar. Ikatan Akuntan Indonesia.
Organization for Economic Corporation and Development (OECD). 2004. Principles of corporate governance. http://www.oecd.org/dataoecd/32/18/31557724.pdf. 9 November 2010.
Pathan, S., M.Skully dan J. Wickramanayake. 2007. Board size, independence and performance: an analysis of Thai banks. Asia-Pacific Financial Markets 14(3): 211–227.
Payamta dan Doddy Setiawan. 2004. “Analisis Pengaruh Merger dan Akuisisi Terhadap Kinerja Perusahaan Publik di Indonesia”. Jurnal Riset Akuntansi, Vol 7, No. 3, September 2004.: hal 265-282.
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/14/PBI/2006 Tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. http://bi.go.id. 5 September 2010.
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/14/PBI/2006 Tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum.
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas
Peraturan Pemerintah RI No. 27 tahun 1998. Tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas.
Purba, Jan Horas V. 2004. Pengaruh proporsi saham publik terhadap kinerje perusahaan. Jurnal Ilmiah Ranggagading 4(2): 109-116.
Putri, Vicky Rahma dan Niki Lukviarman. 2008. Pengukuran Kinerja Bank Komersial Dengan Pendekatan Efisiensi: Studi Terhadap Perbankan Go-Public Di Indonesia. Jurnal JAAI 12 (1): 37.
Rahmat, M. M., T. M. Iskandar, dan N. M. Saleh. 2009. Audit committee characteristics in financially distressed and non-distressed companies. Managerial Auditing Journal 24(7): 624-638.
Sami, H., J. Wang, dan H. Zhou. 2011. Corporate governance and operating performance of Chinese listed firms. Journal of International Accounting, Auditing and Taxation 20(2): 106-114.
Samosir, A. P. 2003. Analisis kinerja bank Mandiri setelah merger dan sebagai bank rekapitalisasi. Kajian Ekonomi dan Keuangan 7(1): 1-38.
Sekaran, Uma. 2006. Research Methods for Business. Fourth Edition. John Wiley and Sons Inc.
Setiawan, Anton. 2004. Beberapa Aspek Dalam Merger Dan Akuisisi. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan 3 (1): 72-81.
Setia – Atmaja, Lukas, Y. 2009. Governance Mechanism and Firm value: The Impact of Ownership Concentration & Dividends. Corporate Governance: An International Review, 2009, 17 (6): 694-709.
Setyawan, Anton A. 2004. Beberapa aspek dalam merger dan akuisisi. Jurnal Akuntansi dan Keuangan 3(1): 72-81.
Siallagan, Hamonangan dan Mas’ud Machfoedz. 2006. Mekanisme corporate governance, kualitas laba dan nilai perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang. Ikatan Akuntan Indonesia.
Siswandari. 2009. Statistika. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Staikouras, P. K., C. K. Staikouras dan M-E. K. Agoraki. 2007. The effect of board size and composition on European bank performance. Europe Jurnal Law Economic 23(1): 1–27.
Surat Edaran Bank Indonesia tentang Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan tertentu yang disampaikan kepada Bank Indonesia. http://www.bi.go.id/biweb/utama/peraturan/SE%20Lap.publikasi.PDF. 31 Oktober 2011.
Thomas, A.S., R. J. Litschert, K. Ramaswamy. 1991. The performance impact of strategymanager coalignment: an empirical examination. Strategic Management Journal 12: 509-522.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Vafeas, N. 2003. Futher Evidence on Compensation Committee Composition As A Determinant of CEO Compensation, Financial Management 32(2): 53-77.
Vafeas, Nikos. 2003. Futher Evidence on Compensation Committee Composition As A Determinant of CEO Compensation, Financial Management, 32: 53-77.
Vennet, R. V. 1996. The effect of merger and acquisition on the efficiency and profitability of EC Credit Institution. Jurnal of Banking and Finance 20 (9): 1531-1538.
Vennet, Rudi Vander (1996), “ The Effect of Merger and Acquisition on The Efficiency and Profitability of EC Credit Institution”. Journal
of Banking and Finance,20. 1531-1538.
Xie, Biao, Wallace N. Davidson, Peter J. DaDalt. 2003. Earnings management and corporate governance: the role of the board and the audit committee. Journal of Corporate Finance 9: 295– 316.
Zeghal, D. dan Ahmed, S.A. 1990. Comparison of social responsibility information disclosure media used by Canadian firms. Accounting, Auditing & Accountability Journal 3(1): 38-53.
http://bi.go.id
http://nasional.kompas.com
http://www.daneprairie.com
www.idx.co.id,
www.tempointeraktif.com