Selasa, 31 Oktober 2017

TEORI TENTANG STRUKTUR MODAL

           

Pembahasan tentang struktur modal ( capital structure ) sangat berkaitan dengan keputusan pembelanjaan ( financial decision ) yang akan dilakukan oleh perusahaan., yang antara lain akan dapat menjawab beberapa pertanyaan berikut ini :
a.     Bagaimana usulan investasi yang ada akan dibelanjai ?
b.     Bagaimana pengaruhnya terhadap perusahaan ?
Dengan kata lain, apakah pembelanjaan dengan menggunakan sumber dana yang berbeda akan ada pengaruhnya terhadap nilai perusahaan ( value of the firm ) yang biasanya dicerminkan dalam harga saham perusahaan ? Kalau memang ada pengaruhnya, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana struktur modal yang optimal bagi perusahaan ?


TEORI STRUKTUR MODAL DALAM PASAR YANG SEMPURNA

Pasar modal yang sempurna adalah pasar modal yang yang sangat kompetitif. Dalam pasar tersebut antara lain tidak dikenal biaya kebangkrutan, tidak ada biaya transaksi, informasi bisa diperoleh tanpa biaya,  bunga pinjaman dan simpanan sama, serta aktiva tersebut bisa dibagi-bagi ( fully divisible ). Sebagai tambahan diasumsikan tidak ada pajak penghasilan ( income tax ). Secara intuitif kita bisa mengatakan bahwa apabila pasar modal tersebut adalah sempurna, maka variasi dalam struktur modal tidak akan mempengaruhi penilaian terhadap perusahaan. Apabila perusahaan dinilai berdasarkan resiko sistematisnya, maka tingkat leverage ( yaitu perbandingan antara modal asing dengan modal sendiri ) tidak akan mempengaruhi. Tentu saja asumsi-asumsi yang telah dikemukakan diatas tidak akan kita jumpai dalam dunia nyata. Tetapi untuk lebih mempermudah dalam memahami tentang struktur modal ini, analisis kita awali dengan kondisi seperti yang dikemukakan diatas.
Asumsi-asumsi lain yang digunakan sebagai tambahan dalam mempermudah pemahaman kita, antara lain :
1.     Laba operasi yang diperoleh setiap tahunnya dianggap konstan. Ini berarti bahwa perusahaan tidak merubah keputusan investasinya.
2.     Semua laba yang tersedia bagi pemegang saham dibagikan sebagai deviden. Ini berarti bahwa kita tidak memasukkan unsur kerumitan faktor kebijakan deviden.
3.     Hutang yang dipergunakan bersifat permanen. Ini berarti bahwa hutang yang jatuh tempo akan diperpanjang lagi. Asumsi ini hanya untuk mempermudah perhitungan biaya hutang ( cost of Debt ) dan membuat hutang dan modal sendiri comparable.


4.     Pergantian struktur hutang dilakukan secara langsung. Artinya, apabila perusahaan menambah hutang, maka modal sendiri dikurangi, demikian juga sebaliknya.

Sesuai dengan asumsi diatas, bahwa hutang bersifat permanen, maka kita dapat merumuskan biaya modal dari masing-masing sumber dana sebagai berikut ini :
                   E
Ke       =
                   S    
Dimana : Ke    = biaya modal sendiri ( cost of equity )
               E       = laba per lembar saham
               S       = nilai pasar modal sendiri

Sedangkan bagi kreditur, biaya modal yang mereka syaratkan disebut sebagai biaya hutang ( cost of Debt ).
                                 F
            Kd       = 
                                 B
Dimana : Kd   = biaya hutang ( cost of Debt )
               F       = beban bunga yang dibayarkan
               B      = Total nilai pinjaman ( hutang )

Berdasarkan kedua formulasi diatas, maka biaya modal perusahaan dapatlah diformulasikan sebagai berikut :
                            S                         B
ko        =   ke  (              )  +  kd  (              )
                           B + S                   B + S
                                 O                  Laba Operasi
ko        =                =
                                 V               Nilai Perusahaan

Dimana : Nilai Perusahaan ( value of the firm ) adalah V = B + S


PENDEKATAN TRADISIONAL

Pendekatan tradisional ini beranggapan bahwa dalam pasar modal yang sempurna dan tidak ada pajak, nilai perusahaan ( value of the firm ) atau biaya modal perusahaan bisa berubah dengan cara merubah struktur modalnya ( yaitu B/S ). Untuk lebih jelasnya perhatikan ilustrasi perhitungan dibawah ini.



Misalkan, Perusahaan PT. XYZ mempunyai 100% modal sendiri, dan diharapkan akan memperoleh laba bersih setiap tahunnya sebesar Rp. 10 juta. Andaikan tingkat keuntungan yang dipersyaratkan oleh pemilik modal sendiri        ( = ke ) adalah sebesar 20%, maka value of the firm dan cost of Equity dapat dihitung sebagai berikut ini :

O         Laba bersih operasi                                         Rp. 10.000.000,-
F          Bunga                                                                                 000,-
E          Laba tersedia untuk pemilik saham                Rp. 10.000.000,-
ke         Biaya modal sendiri ( 10 juta : 50 juta )                     0,20
S          Nilai modal sendiri( 10 juta : 0,20 )               Rp. 50.000.000,-
B         Nilai pasar hutang                                                          -
V         Nilai perusahaan                                             Rp. 50.000.000,-
ko        Biaya modal perusahaan
            = 0,20 ( 50 / 50 ) + 0 ( 0 / 50 )                                    0,20
            atau
            = 10.000.000 / 50.000.000                                          0,20
                                                                                                                                                                                                                                                                                    Andaikata sekarang perusahaan PT XYZ berkeinginan untuk mengganti sebagian modal sendiri dengan hutang ( debt ), dimana biaya hutang ( kd ) atau tingkat keuntungan yang diminta oleh kreditur adalah sebesar 16%. Dengan penggunaan hutang ini, perusahaan mempunyai kewajiban membayar bunga sebesar Rp. 4.000.000,- setiap tahunnya. Kalau laba operasi tidak berubah, berapakah value of the firm dan biaya modal perusahaan ?

O         Laba bersih operasi                                         Rp. 10.000.000,-
F          Bunga                                                                       4.000.000,-
E          Laba tersedia untuk pemilik saham                Rp.   6.000.000,-
ke         Biaya modal sendiri (6 juta : 27.272 )                                    0,22
S          Nilai modal sendiri ( 6 juta : 0,22 )                Rp. 27.272.700,-
B         Nilai pasar hutang ( 4 juta : 0,16 )                  Rp. 25.000.000,-
V         Nilai perusahaan                                             Rp. 52.272.700,-
ko        Biaya modal perusahaan
            = 0,22 (27.272 / 52.272) + 0,16 (25.000 / 52.272 )    0,19
            atau
            = 10.000.000 / 52.272.700                                          0,19
                                                                                                                                                                                                                                                                       


Dari ilustrasi perhitungan diatas, tampak bahwa dengan menggunakan hutang, biaya modal sendiri ( ke ) menjadi naik yakni sebesar 22% tetapi keadaan perusahaan menjadi lebih baik karena nilai perusahaan menjadi lebih tinggi dan biaya modal perusahaan ( ko ) menjadi menurun yakni dari sebesar 0,20 menjadi 0,19.  Andaikata, sebelum perusahaan menggunakan hutang mempunyai 1.000 lembar saham, maka harga sahamnya ( Rp. 50 juta : 1000 ) = Rp. 50.000,- per lembar. Setelah perusahaan mengganti sebagian sahamnya dengan hutang, maka harga sahamnya mengalami kenaikan yakni menjadi sebesar ( Rp. 27.272.700,- : 500 ) = Rp 54.545,-
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa penggunaan hutang ( debt ) dalam struktur modal perusahaan akan berdampak pada naiknya harga saham perusahaan serta dapat menurunkan biaya modal perusahaan.


PENDEKATAN MODIGLIANI DAN MILLER
            Menurut Modigliani & Miller ( MM ), bahwa apa yang dikatakan dalam pendekatan tradisional adalah tidak benar. MM dalam hal ini menunjukkan kemungkinan munculnya “ arbitrage process “ yang akan membuat harga saham        ( atau nilai perusahaan / value of the firm ) yang tidak menggunakan hutang           ( debt ) maupun yang menggunakan hutang, akhirnya sama.
            Arbitrage process ini muncul karena investor akan lebih menyukai investasi yang memerlukan dana yang lebih sedikit tetapi memberikan penghasilan bersih yang sama dengan resiko yang sama pula. Dalam contoh diatas, pemodal bisa memperoleh keuntungan yang sama tetapi dengan investasi yang lebih kecil, apabila memiliki saham PT XYZ yang tidak memiliki hutang.

            Misalkan apabila kita memiliki 20% saham PT XYZ yang menggunakan hutang ( Debt ), maka nilai kekayaan yang kita miliki adalah sebesar ( 0,20 x     Rp. 27.272.700,- ) = Rp 5.450.000,-.

Langkah dalam arbitrage process :
1.     Jual saham PT. XYZ, dan kita akan memperoleh dana sebesar Rp. 5.450.000,-
2.     Pinjam dana sebesar Rp. 5.000.000,-. Nilai pinjaman ini adalah sebesar 20% dari nilai hutang PT. XYZ.
3.     Beli 20% saham PT. ABC yang tidak memiliki hutang dalam struktur modalnya senilai 0,20 x Rp. 50.000.000,- = Rp. 10.000.000,-
4.     Dengan demikian kita dapat menghemat investasi sebesar Rp. 450.000,-






Apabila kita lihat sebelum menjual dan membeli, keuntungan yang diharapkan besarnya sama, yakni :
Pada waktu memiliki saham PT. XYZ = 0,20 x Rp. 6.000.000,- = Rp. 1.200.000,-
Pada waktu membeli saham PT ABC :
-   Keuntungan dari saham                  = 0,20 x Rp. 10.000.000,- = Rp. 2.000.000,-
-   Bunga yang dibayar                       = 0,16 x Rp. 5.000.000,-   = Rp.    800.000,-
    Keuntungan bersih                                                                        Rp. 1.200.000,-


            Sebenarnya kalau kita amati dengan mendasarkan pada pendekatan tradisional diatas, maka disini kita akan menjumpai kejanggalan dalam masalah penggantian struktur modal sendiri dengan hutang yang nilainya Rp. 25 juta menjadi Rp. 27,27 juta. Andaikata nilai modal sendiri yang asalnya sebesar Rp. 50 juta kemudian berubah menjadi Rp. 25 juta karena adanya penggantian dengan hutang yang nilainya Rp. 25 juta, maka seharusnya biaya modal sendiri akan menjadi :
ke         =  E     =     6 juta        = 24%
                                         S          25 juta
Dengan kd = 16%, maka biaya modal perusahaan setelah menggunakan hutang adalah  :
                        ko        = 24% ( 25 / 50 )  +  16% ( 25 / 50 )
                                    = 20%
Hal ini berarti bahwa biaya modal perusahaan ( value of the firm ) tidak berubah, dengan adanya perubahan struktur modal tersebut. Karena pada pendekatan tradisional diasumsikan biaya modal sendiri meningkat tetapi hanya menjadi 22%, maka perusahaan yang menggunakan hutang menjadi lebih tinggi nilainya dari perusahaan yang tidak menggunakan hutang.
            Dalam kondisi pasar modal sempurna dan tidak ada pajak, MM merumuskan bahwa biaya modal sendiri akan berperilaku sebagai berikut :
                        ke         =  keu  +  (  keu  -  kd  )  (  B / S  )
                        ke         =  20%  +  ( 20% - 16% ) ( 25 / 25 )
                                    =  24%
Dimana : keu adalah biaya modal sendiri pada saat perusahaan tidak menggunakan hutang dalam komponen struktur modalnya.
            Dari hasil perhitungan diatas, maka kita akan memperoleh hasil yang sama sebesar 24% seperti ditunjukkan dalam perhitungan sebelumnya diatas. Perhatikan bahwa biaya hutang ( kd ) selalu lebih kecil dari modal sendiri ( keu ). Hal ini disebabkan karena pemilik modal sendiri menanggung resiko yang lebih besar dari pemberi kredit, disamping itu kita berada dalam pasar modal yang kompetitif. Kondisi ini disebabkan karena :



1.     Penghasilan yang diterima pemilik modal sendiri bersifat lebih tidak pasti dibandingkan dengan pemberi kredit.
2.     Dalam kondisi likuidasi, pemilik modal sendiri akan menerima bagian yang paling akhir setelah kredit-kredit dilunasi.
Jadi tidaklah benar argumen yang dikemukakan oleh pendekatan traditional yang mengatakan bahwa apabila perusahaan menghimpun dana dalam bentuk equity, perusahaan kemudian berhasil menghimpun dana murah. MM kemudian berpendapat bahwa semua sumber pendanaan mempunyai biaya, dan untuk modal sendiri justru biayanya lebih mahal dibandingkan dengan dana pinjaman.

            Berdasarkan hal ini, maka MM kemudian mengemukakan argumennya      “ bahwa dalam keadaan pasar modal sempurna dan tidak ada pajak, maka keputusan pembelanjaan ( financing decision ) menjadi tidak relevan “. Artinya, penggunaan hutang ataukah modal sendiri akan memberi dampak yang sama bagi kemakmuran para pemegang saham ( pemilik ) perusahaan.


PASAR MODAL SEMPURNA DAN ADA PAJAK

            MM mengemukakan argumentasinya bahwa “ keputusan pendanaan akan menjadi relevan dalam kondisi pasar yang sempurna dan ada pajak “. Hal ini disebabkan karena pada umumnya bunga yang dibayarkan ( dari adanya hutang ) bisa dipergunakan untuk mengurangi penghasilan yang dikenakan pajak ( bersifat tax deductible ). Dengan kata lain, apabila ada dua perusahaan yang memperoleh laba operasi yang sama, tetapi yang satu menggunakan hutang ( debt ) dengan adanya beban bunga, sedangkan yang satunya lagi tidak menggunakan hutang, maka perusahaan yang membayar bunga akan membayar pajak penghasilan          ( income tax ) yang lebih kecil. Karena menghemat membayar pajak merupakan manfaat bagi pemilik perusahaan, maka tentunya nilai perusahaan ( value of the firm ) yang menggunakan hutang akan lebih besar dari nilai perusahaan yang tidak menggunakan hutang dalam struktur permodalannya.
            Untuk lebih memperjelas argumen dari MM tersebut, perhatikan contoh ilustrasi perrhitungan dibawah ini :









                                                              PT. DGE                      PT. KLM

    Laba Operasi                                Rp. 10.000.000,-            Rp.   10.000.000,-
    Bunga                                                              000,-            Rp.     4.000.000,-
    Laba Sebelum Pajak                    Rp. 10.000.000,-            Rp.     6.000.000,-
    Pajak ( 25% )                               Rp.   2.500.000,-            Rp.     1.500.000,-
    Laba Setelah Pajak                      Rp.   7.500.000,-            Rp.     4.500.000,-


            Dari ilustrasi perhitungan diatas, nampak bahwa PT. KLM membayar pajak yang lebih kecil ( lebih hemat ) dari PT. DGE ( dalam hal ini selisihnya sebesar Rp. 1 juta ).
            Persoalan yang kemudian muncul adalah : “ Apakah penghematan pajak tersebut merupakan manfaat ?”. Jawabannya adalah “ ya “. Masalahnya adalah    “ bagaimana menghitung besarnya manfaat tersebut ? “.
            Apabila dipergunakan asumsi bahwa hutang bersifat permanen, maka     PT. KLM akan memperoleh manfaat yang berupa penghematan pajak sebesar    Rp. 1 juta setiap tahun selamanya. Berapakah nilai manfaat tersebut ? Nilai penghematan pajak bisa dicari dengan perhitungan berikut ini :

                                                          Rp. 1 juta
PV penghematan pajak           =  Σ 
                                                    t=1    ( 1 + r )t

Dimana : PV   = present value
               r        = tingkat bunga ( biaya hutang / kd ), dan karena n =  ∞

               PV penghematan pajak        = Rp. 1 juta / kd

            Karena itu kemudian MM berargumen bahwa nilai perusahaan yang menggunakan hutang ( debt ) akan lebih besar daripada yang tidak menggunakan hutang. Selisihnya adalah sebesar  “ present value penghematan pajak “. Atau secara lebih mudahnya dapat diformulasikan sebagai berikut :

                VL   =  VU  +  PV penghematan pajak      

Dimana : VL   = nilai perusahaan yang menggunakan hutang
                VU   = nilai perusahaan yang tidak menggunakan hutang
            Andaikata biaya modal sendiri ( keu ) sebesar 20% dan biaya hutang ( kd ) adalah sebesar 16% maka nilai perusahaan ( value of the firm ) PT. DGE adalah :


     VU  = Rp. 7.500.000,- / 0,20
                        = Rp. 37.500.000,-

Penghematan pajak     = Rp. 1.000.000,- / 0,16
                                    = Rp. 6.250.000,-
Dengan demikian maka nilai perusahaan ( value of the firm ) PT. KLM yang menggunakan hutang didalam struktur permodalannya adalah :

      VL =  VU  +  PV penghematan pajak      
            =  Rp. 37.500.000,-  +  Rp. 6.250.000,-
            =  Rp. 43.750.000,-

            Perhatikan bahwa laba yang tersedia untuk pemilik modal sendiri pada    PT. DGE adalah sebesar Rp. 7.500.000,-. Dengan demikian nilai modal sendiri     ( S ) PT. DGE adalah Rp. 37.500.000,- dan karena PT. DGE tidak menggunakan hutang dalam struktur permodalannya ( unleverage ), maka berarti nilai perusahaan ( value of the firm / V ) adalah sebesar Rp. 37.500.000,-. Untuk lebih jelasnya perhatikan ilustrasi dibawah ini.

                                                              PT. DGE                      PT. KLM

    Laba Operasi                                Rp. 10.000.000,-            Rp.   10.000.000,-
    Bunga                                                              000,-            Rp.     4.000.000,-
    Laba Sebelum Pajak                    Rp. 10.000.000,-            Rp.     6.000.000,-
    Pajak ( 25% )                               Rp.   2.500.000,-            Rp.     1.500.000,-
    Laba Setelah Pajak                      Rp.   7.500.000,-            Rp.     4.500.000,-
    kd                                                                -                                     0,16
    B   ( 4 juta : 0,16 )                                                               Rp.   25.000.000,-
    K( 4,5 juta : 18,750 juta )                     0,20                                  0,24
    S    ( 4,5 juta : 0,24 )                    Rp. 37.500.000,-           Rp.    18.750.000,-
    V                                                  Rp. 37.500.000,-            Rp.   43.750.000,-
    ko                                                          0,2000                              0,1714                                   

            Biaya rata-rata tertimbang ( weighted average cost of capital ) dapat dihitung dengan cara :

ko        = Laba Operasi  ( 1 – t ) / V
            = [ 10.000.000 ( 1 – 0,25 ) ]  /  43.750.000
            = 0,1714


Cara kedua adalah dengan menghitung biaya rata-rata tertimbang ( weighted average cost of capital ) atas dasar setelah pajak sebagai berikut ini :

ko        =  ke ( S / V )  +  kd ( 1 – t )  ( B / V )
=  0,24 (18.750.000 /43.750.000) + 0,16(1–0,25)( 25.000.000/43.750.000 )
=  0,1714

Argumen yang dikemukakan oleh MM yang menunjukkan bahwa             “ perusahaan akan bisa meningkatkan nilainya ( value of the firm ) kalau menggunakan hutang sebesar-besarnya dalam struktur permodalannya ( dalam keadaan ada pajak ) “, tentu saja banyak mengundang kritikan dan keberatan dari para praktisi keuangan. Keberatan ini muncul salah satunya disebabkan oleh asumsi yang dipergunakan oleh MM yang menyiratkan bahwa dalam pasar modal yang sempurna, biaya modal sendiri ( ke ) akan mengikuti rumus sebelumnya yakni :

ke         =  keu  +  (  keu  -  kd  )  (  B / S  )  (  1 – t  )

Dalam contoh kasus ini, berarti bahwa ke PT. KLM adalah

            ke         =  20%  +  ( 20% - 16% ) ( 25.000.000 / 18.750.000 ) ( 1 – 0,25 )
                        =  24%

            Apabila kita gambarkan pendapat MM, baik dalam keadaan tidak ada maupun ada pajak, mengenai perilaku biaya modal ( baik biaya modal sendiri, biaya hutang, maupun biaya modal perusahaan ) akan nampak seperti gambar dibawah ini.  

 






kd
 
ke ( 1 – t )
 
ko
 
16
 
12
 
20
 
0
 
1.33
 
1.00
 
0
 
B/S
 
B/S
 
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       
            Dari ilustrasi gambar mengenai perilaku biaya modal berdasarkan argumen MM diatas, maka dapatlah dijelaskan bahwa dalam keadaan tidak ada pajak, maka biaya modal perusahaan ( ko ) akan konstan, berapapun komposisi hutang yang dipergunakan dalam struktur permodalannya. Sebaliknya, dalam keadaan ada pajak, maka ko akan makin menurun dengan semakin besarnya komposisi hutang yang dipergunakan, turun mendekati biaya hutang setelah pajak. Biaya modal sendiri meningkat secara linier, meskipun slope-nya berbeda antara keadaan tidak ada pajak dengan keadaan ada pajak. Biaya hutang ( kd ) diasumsikan konstan, berapapun proporsi hutang yang dipergunakan dalam struktur permodalam perusahaan.


MENGAPA TIDAK MENGGUNAKAN EXTREME LEVERAGE
            Apa yang telah kita uraikan diatas menunjukkan bahwa penggunaan hutang akan menguntungkan karena sifat tax deductibility of interest payment. Apabila diperhatikan adanya ketidaksempurnaan pasar modal maka pemilik perusahaan ( pemegang saham ) mungkin keberatan untuk menggunakan leverage yang ekstrim dalam struktur permodalannya karena akan menurunkan nilai perusahaan.
            Apabila pasar modal tidak sempurna, salah satu kemungkinan yang muncul adalah adanya biaya kebangkrutan ( bankcruptcy cost ) yang cukup tinggi. Biaya kebangkrutan ( bankcruptcy cost ) terdiri antara lain dari legal fee ( biaya yang harus dibayar kepada para ahli hukum untuk menyelesaikan claim ), dan distress price ( kekayaan perusahaan terpaksa dijual dengan harga murah sewaktu perusahaan dinyatakan bangkrut ). Semakin besar kemungkinan terjadi kebangkrutan ( bankcruptcy ), dan semakin besar biaya kebangkrutannya               ( bankcruptcy cost ) semakin tidak menarik penggunaan hutang.
            Dalam hal adanya biaya kebangkrutan, biaya modal sendiri akan naik dengan tingkat yang makin cepat, tidak lagi mengikuti persamaan dalam pasar modal yang sempurna seperti dikemukakan sebelumnya dibawah ini.

ke         =  keu  +  (  keu  -  kd  )  (  B / S  )  (  1 – t  )

Misalkan dengan menggunakan contoh perhitungan sebelumnya, apabila biaya kebangkrutan dipertimbangkan maka bisa terjadi biaya modal sendiri akan lebih besar dari 24%. Sebagai akibatnya, penggunaan hutang yang besar meskipun memperoleh manfaat dari penghematan pajak, akhirnya akan menaikkan biaya modal sendiri ( ko ).
Misalkan perusahaan akan menggunakan B/S = 2,00. Anggaplah bahwa biaya modal sendiri masih tetap sebesar 20%, maka :



ke         =  20%  +  ( 20% - 16% ) ( 2.00 ) ( 1 – 0,25 )
                        =  26%

Apabila kd tidak berubah, maka biaya modal perusahaan akan sebesar :

ko        =  16% ( 1 – 0,25 ) ( 2 / 3 )  +  26% ( 1 / 3 )
            =  16,67%
Andaikan sekarang misalkan ke naik menjadi 30% ( tidak lagi sebesar    26% ), apa yang akan terjadi dengan biaya modal perusahaan ( ko ).

ko        =  16% ( 1 – 0,25 ) ( 2 / 3 )  +  30% ( 1 / 3 )
            =  18,00%

Ini berarti bahwa biaya modal rata-rata sudah lebih besar apabila dibandingkan dengan sewaktu B/S = 1.33. Artinya, struktur modal yang menggunakan hutang sampai dua kali lipat modal sendiri ( yaitu B/S = 2 ) dinilai lebih jelek daripada apabila B/S hanya sebesar 1.33. Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan leverage yang ekstrim akan sangat merugikan pihak kreditur .
Keberatan juga mungkin diajukan oleh pemberi kredit. Apabila perusahaan berbentuk PT dan pemilik melakukan diversifikasi usaha, maka ada kecenderungan untuk menggunakan hutang sebesar-besarnya. Hal ini dikarenakan oleh penggunaan hutang yang tinggi akan menggeser resiko ke kreditur.
Sebagai contoh, andaikan ada seorang pemodal yang memiliki dana sebesar Rp. 1000 juta yang akan mendirikan perusahaan berupa PT. Dan kemudian perusahaan akan mengadakan investasi, untuk kepentingan ini ia memerlukan dana Rp. 1000 juta. Seandainya ia menanamkan seluruh dananya, maka modal sendirinya akan sebesar Rp. 1000 juta. Misalkan kemudian ia hanya menyetorkan dananya hanya sebesar Rp. 100 juta sebagai modal sendiri dan sisanya sebesar Rp. 900 juta dibiayai dengan oleh kreditur berupa hutang, maka ratio hutang terhadap modal sendiri akan sebesar 900%. Kemudian, andaikan prediksi mengenai pendapatan dari investasi tersebut merosot hanya sebesar      Rp. 600 juta.
Dari ilustrasi diatas dapatlah dijelaskan bahwa seandainya perusahaan memiliki modal sendiri sebesar 100%, maka kerugihan yang ia tanggung menjadi sebesar Rp. 400 juta. Akan tetapi karena struktur modalnya terdiri dari Rp. 900 juta berupa hutang dan Rp. 100 juta berupa modal sendiri, maka kerugian yang ia tanggung hanya sebesar Rp. 100 juta ( yaitu maksimum sebesar modal sendiri yang ia setor ) sedangkan yang Rp. 300 juta ditanggung oleh kreditur. Dengan kondisi yang demikian ini, oleh karenanya para kreditur akan enggan untuk memberikan kredit yang besar yang melebihi dari jumlah modal sendiri yang dimiliki dalam struktur permodalannya, kecuali ada jaminan tambahan.


PERSONAL TAX

Gambaran mengenai struktur modal yang dijelaskan diatas, sama sekali belum memasukkan pajak pribadi ( personal tax ), yakni pajak yang harus dibayar oleh pemodal manakala mereka menerima pembayaran deviden atau bunga obligasi dari perusahaan dan hasil penjualan saham atau obligasi yang mereka miliki.
Andaikan sekarang personal tax ditentukan sebesar 25%, bagaimana dampaknya bagi para pemegang saham ?  Kalau kemudian PT. KLM mengambil kebijakan akan membagikan deviden secara keseluruhan, maka para pemegang saham akan menerima sebesar : ( 1 – 0,25 ) ( 4.500.000 )     = Rp. 3.375.000, dan bukannya sebesar Rp. 4.500.000,- seperti nampak dalam contoh perhitungan sebelumnya. Demikian juga kalau pemodal memiliki obligasi PT. KLM maka apabila sewaktu PT. KLM membagikan bunga obligasi, penghasilan bersih yang diterima oleh pemilik obligasi adalah sebesar : ( 1 – 0,25 ) ( Rp. 4.000.000, - ) = Rp. 3.000.000,- dan bukannya sebesar Rp. 4.000.000,-.
Contoh pengenaan personal tax diatas, tentunya akan mempunyai dampak yang sama bagi para pemodal. Dengan demikian, preferensi atas penggunaan hutang masihlah tetap berlaku. Masalahnya sekarang adalah : bagaimana laba itu akan dibagikan, apakah seluruh laba akan dibagikan ataukah hanya sebagaian saja yang akan dibagikan sebagai deviden ? Apakah besarnya tarif pajak untuk capital gain dan deviden berbeda ?
Andaikan asumsi dalam pertanyaan diatas berlaku, maka preferensi atas hutang mungkin tidak akan selalu berlaku. Dalam contoh diatas, dapatlah dijelaskan kalau pemegang saham akan menerima penghasilan bersih yang lebih besar apabila mereka memiliki saham, maka mereka akan lebih menyukai membeli saham dibandingkan dengan obligasi. Implikasinya adalah perusahaan akan lebih mudah menerbitkan saham baru daripada obligasi. Bahkan dalam kondisi dimana personal tax yang dibayarkan besarnya sama, para pemegang saham masih akan lebih baik memilih alternatif saham daripada obligasi. Masalahnya adalah bahwa para pemegang saham dapat menunda pembayaran pajak atas capital gains dengan memutuskan untuk tidak membagikan devidennya terlebih dahulu. Sedangkan dalam alternatif obligasi, pembayaran bunga atas obligasi tidak akan mungkin dapat dilakukan penundanaan.


PECKING ORDER THEORY

            Uraian-uraian daripada struktur permodalan yang telah kita jelaskan diatas sebenarnya termasuk dalam apa yang disebut sebagai “ balancing theories “.
            Esensi “ balancing theories “ adalah menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul sabagai akibat daripada penggunaan hutang ( debt ) dalam struktur permodalan perusahaan.


Sejauh manfaat yang diperoleh lebih besar, maka komposisi hutang akan lebih diperbesar. Akan tetapi manakala pengorbanan yang harus dikeluarkan sudah melebihi manfaat yang akan diperoleh dengan penggunaan hutang tersebut, maka alternatif penggunaan hutang ini sudah selayaknya dihentikan dan penambahan hutang tidak boleh terjadi.
Myers dan Majluf merumuskan adanya struktur permodalan lain yang disebut dengan “ pecking order theory “ yang maksudnya adalah teori yang akan menjelaskan bahwa mengapa suatu perusahaan akan menentukan hirarki sumber dana yang paling disukainya dengan asumsi dasar bahwa informasi adalah asimetrik ( asymmetric information ).
Asymmetric information, adalah suatu istilah yang menunjukkan  bahwa manajemen mempunyai informasi yang lebih banyak ( tentang prospek, resiko dan nilai perusahaan ) daripada pemodal publik. Oleh karenanya, asymmetric information ini akan sangat mempengaruhi alternatif pilihan antara penggunaan sumber dana intern ataukah eksternal, dan antara penerbitan hutang baru ataukah saham baru. Dengan menggunakan pecking order ini, maka pembiayaan atas investasi tentunya harus didasarkan atas suatu hirarki sumber dana, mulai dari sumber dana internal terlebih dahulu, barulah kemudian diikuti oleh penerbitan hutang baru dan pada akhirnya penerbitan ekuitas baru.
Penggunaan pecking order ini pada dasarnya adalah sangat ditentukan oleh kemungkinan yang akan terjadi pada harga saham yang terjadi di pasar manakala perusahaan mengumumkan adanya pembagian deviden. Adanya pengumuman pembagian deviden dari perusahaan kepada para pemegang saham akan bisa menyebabkan harga saham bisa cenderung terlalu murah ( undervalue ) dan bisa juga terlalu mahal ( overvalue ) apabila dibandingkan dengan harga yang sesungguhnya ( true value ). Dengan demikian, perusahaan biasanya akan memilih untuk menerbitkan obligasi terlebih dahulu daripada dengan saham baru. Akan tetapi apabila komposisi hutang yang ada pada struktur permodalan perusahaan sudah terlalu besar yang nantinya akan dapat berdampak negatif pada rentabilitas modal sendiri, maka alternatif pendanaan eksternal mungkin ditarik dalam bentuk saham baru.
Brealey dan Myers, juga menyatakan pendapatnya mengenai pecking order ini sebagai berikut :
1.     Perusahaan lebih menyukai pendanaan internal.
2.     Perusahaan akan berusaha menyesuaikan rasio pembagian deviden dengan kesempatan investasi yang dihadapi, dan berupaya untuk tidak melakukan perubahan pembayaran deviden yang terlalu besar.
3.     Pembayaran deviden yang cenderung konstan dan fluktuasi laba yang diperoleh mengakibatkan dana internal kadang-kadang berlebih ataupun kurang untuk investasi.



4.     Apabila pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu. Penerbitan sekuritas akan dimulai dari penerbitan obligasi, kemudian obligasi yang dapat dikonversikan menjadi modal sendiri, baru akhirnya menerbitkan saham baru.

Permasalahan yang kemudian muncul adalah mana diantara kedua alternatif tersebut yang paling menguntungkan bagi perusahaan, apakah menggunakan modal sendiri sebesar-besarnya ( internal ) ataukah dana eksternal ?
Untuk menjawab pertanyaan ini memang agak sulit. Yang penting dalam implikasinya, adalah bahwa kita haruslah kembali memperhatikan komposisi daripada penggunaan dana internal dan dana eksternal tersebut sehingga nantinya kita akan memperoleh apa yang dinamakan sebagai “ optimal capital structure “.