TEORI TENTANG STRUKTUR
MODAL
Pembahasan tentang struktur modal ( capital
structure ) sangat berkaitan dengan keputusan pembelanjaan ( financial
decision ) yang akan dilakukan oleh perusahaan., yang antara lain akan
dapat menjawab beberapa pertanyaan berikut ini :
a. Bagaimana usulan investasi yang ada akan
dibelanjai ?
b. Bagaimana pengaruhnya terhadap perusahaan ?
Dengan kata lain, apakah pembelanjaan dengan
menggunakan sumber dana yang berbeda akan ada pengaruhnya terhadap nilai
perusahaan ( value of the firm ) yang biasanya dicerminkan dalam harga
saham perusahaan ? Kalau memang ada pengaruhnya, pertanyaan berikutnya adalah
bagaimana struktur modal yang optimal bagi perusahaan ?
TEORI STRUKTUR MODAL DALAM PASAR YANG SEMPURNA
Pasar modal yang sempurna adalah pasar modal yang
yang sangat kompetitif. Dalam pasar tersebut antara lain tidak dikenal biaya
kebangkrutan, tidak ada biaya transaksi, informasi bisa diperoleh tanpa
biaya, bunga pinjaman dan simpanan sama,
serta aktiva tersebut bisa dibagi-bagi ( fully divisible ). Sebagai
tambahan diasumsikan tidak ada pajak penghasilan ( income tax ). Secara
intuitif kita bisa mengatakan bahwa apabila pasar modal tersebut adalah
sempurna, maka variasi dalam struktur modal tidak akan mempengaruhi penilaian
terhadap perusahaan. Apabila perusahaan dinilai berdasarkan resiko
sistematisnya, maka tingkat leverage ( yaitu perbandingan antara modal
asing dengan modal sendiri ) tidak akan mempengaruhi. Tentu saja asumsi-asumsi
yang telah dikemukakan diatas tidak akan kita jumpai dalam dunia nyata. Tetapi
untuk lebih mempermudah dalam memahami tentang struktur modal ini, analisis
kita awali dengan kondisi seperti yang dikemukakan diatas.
Asumsi-asumsi lain yang digunakan sebagai tambahan
dalam mempermudah pemahaman kita, antara lain :
1.
Laba operasi
yang diperoleh setiap tahunnya dianggap konstan. Ini berarti bahwa perusahaan
tidak merubah keputusan investasinya.
2.
Semua laba
yang tersedia bagi pemegang saham dibagikan sebagai deviden. Ini berarti bahwa
kita tidak memasukkan unsur kerumitan faktor kebijakan deviden.
3.
Hutang yang
dipergunakan bersifat permanen. Ini berarti bahwa hutang yang jatuh tempo akan
diperpanjang lagi. Asumsi ini hanya untuk mempermudah perhitungan biaya hutang (
cost of Debt ) dan membuat hutang dan modal sendiri comparable.
4.
Pergantian
struktur hutang dilakukan secara langsung. Artinya, apabila perusahaan menambah
hutang, maka modal sendiri dikurangi, demikian juga sebaliknya.
Sesuai dengan asumsi diatas, bahwa hutang bersifat permanen,
maka kita dapat merumuskan biaya modal dari masing-masing sumber dana sebagai
berikut ini :
E
Ke =
S
Dimana : Ke =
biaya modal sendiri ( cost of equity )
E =
laba per lembar saham
S =
nilai pasar modal sendiri
Sedangkan bagi kreditur, biaya modal yang mereka
syaratkan disebut sebagai biaya hutang ( cost of Debt ).
F
Kd =
B
Dimana : Kd = biaya hutang ( cost of
Debt )
F =
beban bunga yang dibayarkan
B =
Total nilai pinjaman ( hutang )
Berdasarkan kedua formulasi diatas, maka biaya
modal perusahaan dapatlah diformulasikan sebagai berikut :
S B
ko =
ke (
) + kd ( )
B + S B + S
O Laba Operasi
ko = =
V Nilai Perusahaan
Dimana : Nilai Perusahaan ( value of the firm ) adalah V = B + S
PENDEKATAN TRADISIONAL
Pendekatan tradisional ini beranggapan bahwa dalam
pasar modal yang sempurna dan tidak ada pajak, nilai perusahaan ( value of
the firm ) atau biaya modal perusahaan bisa berubah dengan cara merubah
struktur modalnya ( yaitu B/S ). Untuk lebih jelasnya perhatikan
ilustrasi perhitungan dibawah ini.
Misalkan, Perusahaan PT. XYZ mempunyai 100% modal
sendiri, dan diharapkan akan memperoleh laba bersih setiap tahunnya sebesar Rp.
10 juta. Andaikan tingkat keuntungan yang dipersyaratkan oleh pemilik modal
sendiri ( = ke ) adalah sebesar 20%, maka value of the firm
dan cost of Equity dapat dihitung sebagai berikut ini :
O Laba
bersih operasi Rp.
10.000.000,-
F Bunga 000,-
E Laba
tersedia untuk pemilik saham Rp.
10.000.000,-
ke Biaya modal sendiri ( 10 juta : 50 juta
) 0,20
S Nilai
modal sendiri( 10 juta : 0,20 ) Rp.
50.000.000,-
B Nilai
pasar hutang -
V Nilai
perusahaan Rp.
50.000.000,-
ko Biaya modal perusahaan
=
0,20 ( 50 / 50 ) + 0 ( 0 / 50 ) 0,20
atau
=
10.000.000 / 50.000.000 0,20
Andaikata
sekarang perusahaan PT XYZ berkeinginan untuk mengganti sebagian modal sendiri
dengan hutang ( debt ), dimana biaya hutang ( kd ) atau tingkat keuntungan yang diminta oleh
kreditur adalah sebesar 16%. Dengan penggunaan hutang ini, perusahaan mempunyai
kewajiban membayar bunga sebesar Rp. 4.000.000,- setiap tahunnya. Kalau laba
operasi tidak berubah, berapakah value of the firm dan biaya modal perusahaan ?
O Laba
bersih operasi Rp.
10.000.000,-
F Bunga 4.000.000,-
E Laba
tersedia untuk pemilik saham Rp. 6.000.000,-
ke Biaya modal sendiri (6 juta : 27.272 ) 0,22
S Nilai
modal sendiri ( 6 juta : 0,22 ) Rp.
27.272.700,-
B Nilai
pasar hutang ( 4 juta : 0,16 ) Rp.
25.000.000,-
V Nilai
perusahaan Rp.
52.272.700,-
ko Biaya modal perusahaan
=
0,22 (27.272 / 52.272) + 0,16 (25.000 / 52.272 ) 0,19
atau
=
10.000.000 / 52.272.700 0,19
Dari ilustrasi perhitungan
diatas, tampak bahwa dengan menggunakan hutang, biaya modal sendiri ( ke
) menjadi naik yakni sebesar 22% tetapi keadaan perusahaan menjadi lebih baik
karena nilai perusahaan menjadi lebih tinggi dan biaya modal perusahaan ( ko ) menjadi
menurun yakni dari sebesar 0,20 menjadi 0,19.
Andaikata, sebelum perusahaan menggunakan hutang mempunyai 1.000 lembar
saham, maka harga sahamnya ( Rp. 50 juta : 1000 ) = Rp. 50.000,- per lembar.
Setelah perusahaan mengganti sebagian sahamnya dengan hutang, maka harga
sahamnya mengalami kenaikan yakni menjadi sebesar ( Rp. 27.272.700,- : 500 ) =
Rp 54.545,-
Dengan demikian dapatlah
dikatakan bahwa penggunaan hutang ( debt ) dalam struktur modal
perusahaan akan berdampak pada naiknya harga saham perusahaan serta dapat
menurunkan biaya modal perusahaan.
PENDEKATAN MODIGLIANI DAN MILLER
Menurut Modigliani
& Miller ( MM ), bahwa apa yang dikatakan dalam pendekatan tradisional
adalah tidak benar. MM dalam hal ini menunjukkan kemungkinan munculnya “
arbitrage process “ yang akan membuat harga saham ( atau nilai perusahaan / value of
the firm ) yang tidak menggunakan hutang ( debt ) maupun yang
menggunakan hutang, akhirnya sama.
Arbitrage
process ini muncul karena investor akan lebih menyukai investasi yang
memerlukan dana yang lebih sedikit tetapi memberikan penghasilan bersih yang
sama dengan resiko yang sama pula. Dalam contoh diatas, pemodal bisa memperoleh
keuntungan yang sama tetapi dengan investasi yang lebih kecil, apabila memiliki
saham PT XYZ yang tidak memiliki hutang.
Misalkan apabila kita
memiliki 20% saham PT XYZ yang menggunakan hutang ( Debt ), maka nilai kekayaan
yang kita miliki adalah sebesar ( 0,20 x
Rp. 27.272.700,- ) = Rp 5.450.000,-.
Langkah dalam arbitrage process :
1.
Jual saham
PT. XYZ, dan kita akan memperoleh dana sebesar Rp. 5.450.000,-
2.
Pinjam dana sebesar
Rp. 5.000.000,-. Nilai pinjaman ini adalah sebesar 20% dari nilai hutang PT.
XYZ.
3.
Beli 20%
saham PT. ABC yang tidak memiliki hutang dalam struktur modalnya senilai 0,20 x
Rp. 50.000.000,- = Rp. 10.000.000,-
4.
Dengan
demikian kita dapat menghemat investasi sebesar Rp. 450.000,-
Apabila kita lihat sebelum menjual dan membeli,
keuntungan yang diharapkan besarnya sama, yakni :
Pada waktu memiliki saham PT. XYZ = 0,20 x Rp. 6.000.000,- = Rp.
1.200.000,-
Pada waktu membeli saham PT ABC :
- Keuntungan dari saham
= 0,20 x Rp. 10.000.000,- = Rp. 2.000.000,-
- Bunga yang dibayar = 0,16 x Rp.
5.000.000,- = Rp. 800.000,-
Keuntungan bersih Rp. 1.200.000,-
Sebenarnya kalau kita
amati dengan mendasarkan pada pendekatan tradisional diatas, maka disini kita
akan menjumpai kejanggalan dalam masalah penggantian struktur modal sendiri
dengan hutang yang nilainya Rp. 25 juta menjadi Rp. 27,27 juta. Andaikata nilai
modal sendiri yang asalnya sebesar Rp. 50 juta kemudian berubah menjadi Rp. 25
juta karena adanya penggantian dengan hutang yang nilainya Rp. 25 juta, maka
seharusnya biaya modal sendiri akan menjadi :
ke = E = 6
juta = 24%
S 25 juta
Dengan kd = 16%, maka biaya modal perusahaan setelah menggunakan hutang adalah :
ko = 24%
( 25 / 50 ) + 16% ( 25 / 50 )
=
20%
Hal ini berarti bahwa biaya modal perusahaan (
value of the firm ) tidak berubah, dengan adanya perubahan struktur modal
tersebut. Karena pada pendekatan tradisional diasumsikan biaya modal sendiri
meningkat tetapi hanya menjadi 22%, maka perusahaan yang menggunakan hutang
menjadi lebih tinggi nilainya dari perusahaan yang tidak menggunakan hutang.
Dalam kondisi pasar modal
sempurna dan tidak ada pajak, MM merumuskan bahwa biaya modal sendiri
akan berperilaku sebagai berikut :
ke = keu + ( keu - kd )
( B / S )
ke = 20%
+ ( 20% - 16% ) ( 25 / 25 )
= 24%
Dimana : keu adalah biaya
modal sendiri pada saat perusahaan tidak menggunakan hutang dalam komponen
struktur modalnya.
Dari hasil perhitungan
diatas, maka kita akan memperoleh hasil yang sama sebesar 24% seperti
ditunjukkan dalam perhitungan sebelumnya diatas. Perhatikan bahwa biaya hutang
( kd ) selalu
lebih kecil dari modal sendiri ( keu ). Hal ini disebabkan karena pemilik modal
sendiri menanggung resiko yang lebih besar dari pemberi kredit, disamping itu
kita berada dalam pasar modal yang kompetitif. Kondisi ini disebabkan karena :
1.
Penghasilan
yang diterima pemilik modal sendiri bersifat lebih tidak pasti dibandingkan
dengan pemberi kredit.
2.
Dalam kondisi
likuidasi, pemilik modal sendiri akan menerima bagian yang paling akhir setelah
kredit-kredit dilunasi.
Jadi tidaklah benar argumen yang dikemukakan oleh
pendekatan traditional yang mengatakan bahwa apabila perusahaan menghimpun dana
dalam bentuk equity, perusahaan kemudian berhasil menghimpun dana murah. MM
kemudian berpendapat bahwa semua sumber pendanaan mempunyai biaya, dan untuk
modal sendiri justru biayanya lebih mahal dibandingkan dengan dana pinjaman.
Berdasarkan hal ini, maka MM
kemudian mengemukakan argumennya “
bahwa dalam keadaan pasar modal sempurna dan tidak ada pajak, maka keputusan
pembelanjaan ( financing decision ) menjadi tidak relevan “. Artinya,
penggunaan hutang ataukah modal sendiri akan memberi dampak yang sama bagi
kemakmuran para pemegang saham ( pemilik ) perusahaan.
PASAR MODAL SEMPURNA DAN ADA PAJAK
MM mengemukakan
argumentasinya bahwa “ keputusan pendanaan akan menjadi relevan dalam
kondisi pasar yang sempurna dan ada pajak “. Hal ini disebabkan karena pada
umumnya bunga yang dibayarkan ( dari adanya hutang ) bisa dipergunakan untuk
mengurangi penghasilan yang dikenakan pajak ( bersifat tax deductible ).
Dengan kata lain, apabila ada dua perusahaan yang memperoleh laba operasi yang
sama, tetapi yang satu menggunakan hutang ( debt ) dengan adanya beban
bunga, sedangkan yang satunya lagi tidak menggunakan hutang, maka perusahaan
yang membayar bunga akan membayar pajak penghasilan ( income tax ) yang lebih
kecil. Karena menghemat membayar pajak merupakan manfaat bagi pemilik
perusahaan, maka tentunya nilai perusahaan ( value of the firm ) yang
menggunakan hutang akan lebih besar dari nilai perusahaan yang tidak
menggunakan hutang dalam struktur permodalannya.
Untuk lebih memperjelas
argumen dari MM tersebut, perhatikan contoh ilustrasi perrhitungan
dibawah ini :
PT. DGE PT.
KLM
Laba Operasi Rp. 10.000.000,- Rp.
10.000.000,-
Bunga 000,- Rp. 4.000.000,-
Laba Sebelum Pajak Rp. 10.000.000,- Rp. 6.000.000,-
Pajak ( 25% ) Rp. 2.500.000,- Rp.
1.500.000,-
Laba Setelah Pajak Rp.
7.500.000,- Rp. 4.500.000,-
Dari ilustrasi perhitungan
diatas, nampak bahwa PT. KLM membayar pajak yang lebih kecil ( lebih hemat )
dari PT. DGE ( dalam hal ini selisihnya sebesar Rp. 1 juta ).
Persoalan yang kemudian
muncul adalah : “ Apakah penghematan pajak tersebut merupakan manfaat ?”.
Jawabannya adalah “ ya “. Masalahnya adalah “ bagaimana menghitung besarnya manfaat
tersebut ? “.
Apabila dipergunakan
asumsi bahwa hutang bersifat permanen, maka PT. KLM akan memperoleh manfaat yang
berupa penghematan pajak sebesar Rp. 1
juta setiap tahun selamanya. Berapakah nilai manfaat tersebut ? Nilai
penghematan pajak bisa dicari dengan perhitungan berikut ini :
∞ Rp. 1 juta
PV
penghematan pajak = Σ
t=1 ( 1 + r )t
Dimana :
PV = present value
r = tingkat bunga ( biaya
hutang / kd ), dan karena n = ∞
PV penghematan pajak = Rp. 1 juta / kd
Karena itu kemudian MM
berargumen bahwa nilai perusahaan yang menggunakan hutang ( debt ) akan
lebih besar daripada yang tidak menggunakan hutang. Selisihnya adalah
sebesar “ present value penghematan
pajak “. Atau secara lebih mudahnya dapat diformulasikan sebagai berikut :
VL = VU
+ PV penghematan pajak
Dimana :
VL = nilai perusahaan yang menggunakan hutang
VU = nilai perusahaan yang
tidak menggunakan hutang
Andaikata biaya modal sendiri ( keu ) sebesar 20% dan biaya hutang ( kd ) adalah sebesar 16% maka nilai
perusahaan ( value of the firm ) PT. DGE adalah :
VU =
Rp. 7.500.000,- / 0,20
= Rp. 37.500.000,-
Penghematan
pajak = Rp. 1.000.000,- / 0,16
= Rp.
6.250.000,-
Dengan
demikian maka nilai perusahaan ( value of the firm ) PT. KLM yang
menggunakan hutang didalam struktur permodalannya adalah :
VL =
VU + PV
penghematan pajak
=
Rp. 37.500.000,- + Rp. 6.250.000,-
=
Rp. 43.750.000,-
Perhatikan
bahwa laba yang tersedia untuk pemilik modal sendiri pada PT. DGE adalah sebesar Rp. 7.500.000,-.
Dengan demikian nilai modal sendiri (
S ) PT. DGE adalah Rp. 37.500.000,- dan karena PT. DGE tidak menggunakan
hutang dalam struktur permodalannya ( unleverage ), maka berarti nilai
perusahaan ( value of the firm / V ) adalah sebesar Rp.
37.500.000,-. Untuk lebih jelasnya perhatikan ilustrasi dibawah ini.
PT. DGE PT.
KLM
Laba Operasi Rp. 10.000.000,- Rp. 10.000.000,-
Bunga 000,- Rp. 4.000.000,-
Laba Sebelum Pajak Rp. 10.000.000,- Rp. 6.000.000,-
Pajak ( 25% ) Rp. 2.500.000,- Rp.
1.500.000,-
Laba Setelah Pajak Rp. 7.500.000,- Rp. 4.500.000,-
kd - 0,16
B ( 4 juta : 0,16 ) Rp. 25.000.000,-
Ke (
4,5 juta : 18,750 juta ) 0,20
0,24
S ( 4,5 juta : 0,24 ) Rp. 37.500.000,- Rp. 18.750.000,-
V Rp. 37.500.000,- Rp.
43.750.000,-
ko 0,2000 0,1714
Biaya
rata-rata tertimbang ( weighted average cost of capital ) dapat dihitung
dengan cara :
ko = Laba Operasi ( 1 – t ) / V
=
[ 10.000.000 ( 1 – 0,25 ) ] / 43.750.000
=
0,1714
Cara kedua adalah dengan menghitung biaya
rata-rata tertimbang ( weighted average cost of capital ) atas dasar
setelah pajak sebagai berikut ini :
ko = ke ( S / V ) + kd ( 1 – t ) ( B / V )
= 0,24 (18.750.000 /43.750.000) + 0,16(1–0,25)(
25.000.000/43.750.000 )
= 0,1714
Argumen yang
dikemukakan oleh MM yang menunjukkan bahwa “ perusahaan akan bisa
meningkatkan nilainya ( value of the firm ) kalau menggunakan hutang sebesar-besarnya
dalam struktur permodalannya ( dalam keadaan ada pajak ) “, tentu saja
banyak mengundang kritikan dan keberatan dari para praktisi keuangan. Keberatan
ini muncul salah satunya disebabkan oleh asumsi yang dipergunakan oleh MM
yang menyiratkan bahwa dalam pasar modal yang sempurna, biaya modal sendiri ( ke ) akan mengikuti rumus sebelumnya yakni :
ke =
keu +
( keu - kd )
( B / S )
( 1 – t )
Dalam contoh kasus ini, berarti bahwa ke PT. KLM adalah
ke = 20%
+ ( 20% - 16% ) ( 25.000.000 /
18.750.000 ) ( 1 – 0,25 )
= 24%
Apabila kita gambarkan
pendapat MM, baik dalam keadaan tidak ada maupun ada pajak, mengenai
perilaku biaya modal ( baik biaya modal sendiri, biaya hutang, maupun biaya
modal perusahaan ) akan nampak seperti gambar dibawah ini.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dari ilustrasi gambar
mengenai perilaku biaya modal berdasarkan argumen MM diatas, maka
dapatlah dijelaskan bahwa dalam keadaan tidak ada pajak, maka biaya modal
perusahaan ( ko )
akan konstan, berapapun komposisi hutang yang dipergunakan dalam
struktur permodalannya. Sebaliknya, dalam keadaan ada pajak, maka ko akan
makin menurun dengan semakin besarnya komposisi hutang yang dipergunakan, turun
mendekati biaya hutang setelah pajak. Biaya modal sendiri meningkat secara linier,
meskipun slope-nya berbeda antara keadaan tidak ada pajak dengan keadaan
ada pajak. Biaya hutang ( kd ) diasumsikan konstan, berapapun proporsi hutang
yang dipergunakan dalam struktur permodalam perusahaan.
MENGAPA TIDAK MENGGUNAKAN EXTREME LEVERAGE
Apa yang telah kita
uraikan diatas menunjukkan bahwa penggunaan hutang akan menguntungkan karena
sifat tax deductibility of interest payment. Apabila diperhatikan adanya
ketidaksempurnaan pasar modal maka pemilik perusahaan ( pemegang saham )
mungkin keberatan untuk menggunakan leverage yang ekstrim dalam struktur
permodalannya karena akan menurunkan nilai perusahaan.
Apabila pasar modal tidak
sempurna, salah satu kemungkinan yang muncul adalah adanya biaya kebangkrutan (
bankcruptcy cost ) yang cukup tinggi. Biaya kebangkrutan ( bankcruptcy
cost ) terdiri antara lain dari legal fee ( biaya yang harus dibayar
kepada para ahli hukum untuk menyelesaikan claim ), dan distress
price ( kekayaan perusahaan terpaksa dijual dengan harga murah sewaktu
perusahaan dinyatakan bangkrut ). Semakin besar kemungkinan terjadi
kebangkrutan ( bankcruptcy ), dan semakin besar biaya
kebangkrutannya (
bankcruptcy cost ) semakin tidak menarik penggunaan hutang.
Dalam hal adanya biaya
kebangkrutan, biaya modal sendiri akan naik dengan tingkat yang makin cepat,
tidak lagi mengikuti persamaan dalam pasar modal yang sempurna seperti
dikemukakan sebelumnya dibawah ini.
ke =
keu +
( keu - kd )
( B / S )
( 1 – t )
Misalkan dengan menggunakan contoh perhitungan
sebelumnya, apabila biaya kebangkrutan dipertimbangkan maka bisa terjadi biaya
modal sendiri akan lebih besar dari 24%. Sebagai akibatnya, penggunaan hutang
yang besar meskipun memperoleh manfaat dari penghematan pajak, akhirnya akan
menaikkan biaya modal sendiri ( ko ).
Misalkan perusahaan akan menggunakan B/S = 2,00.
Anggaplah bahwa biaya modal sendiri masih tetap sebesar 20%, maka :
ke =
20% + ( 20% - 16% ) ( 2.00 ) ( 1 – 0,25 )
= 26%
Apabila kd
tidak berubah, maka biaya modal perusahaan akan sebesar :
ko = 16% ( 1 – 0,25 ) ( 2 / 3 ) + 26%
( 1 / 3 )
=
16,67%
Andaikan
sekarang misalkan ke naik
menjadi 30% ( tidak lagi sebesar 26%
), apa yang akan terjadi dengan biaya modal perusahaan ( ko ).
ko = 16% ( 1 – 0,25 ) ( 2 / 3 ) + 30%
( 1 / 3 )
=
18,00%
Ini berarti
bahwa biaya modal rata-rata sudah lebih besar apabila dibandingkan dengan
sewaktu B/S = 1.33. Artinya, struktur modal yang menggunakan hutang sampai dua
kali lipat modal sendiri ( yaitu B/S = 2 ) dinilai lebih jelek daripada apabila
B/S hanya sebesar 1.33. Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan leverage
yang ekstrim akan sangat merugikan pihak kreditur .
Keberatan juga
mungkin diajukan oleh pemberi kredit. Apabila perusahaan berbentuk PT dan
pemilik melakukan diversifikasi usaha, maka ada kecenderungan untuk menggunakan
hutang sebesar-besarnya. Hal ini dikarenakan oleh penggunaan hutang yang tinggi
akan menggeser resiko ke kreditur.
Sebagai
contoh, andaikan ada seorang pemodal yang memiliki dana sebesar Rp. 1000 juta
yang akan mendirikan perusahaan berupa PT. Dan kemudian perusahaan akan
mengadakan investasi, untuk kepentingan ini ia memerlukan dana Rp. 1000 juta.
Seandainya ia menanamkan seluruh dananya, maka modal sendirinya akan sebesar
Rp. 1000 juta. Misalkan kemudian ia hanya menyetorkan dananya hanya sebesar Rp.
100 juta sebagai modal sendiri dan sisanya sebesar Rp. 900 juta dibiayai dengan
oleh kreditur berupa hutang, maka ratio hutang terhadap modal sendiri akan
sebesar 900%. Kemudian, andaikan prediksi mengenai pendapatan dari investasi
tersebut merosot hanya sebesar Rp.
600 juta.
Dari ilustrasi
diatas dapatlah dijelaskan bahwa seandainya perusahaan memiliki modal sendiri
sebesar 100%, maka kerugihan yang ia tanggung menjadi sebesar Rp. 400 juta.
Akan tetapi karena struktur modalnya terdiri dari Rp. 900 juta berupa hutang
dan Rp. 100 juta berupa modal sendiri, maka kerugian yang ia tanggung hanya
sebesar Rp. 100 juta ( yaitu maksimum sebesar modal sendiri yang ia setor )
sedangkan yang Rp. 300 juta ditanggung oleh kreditur. Dengan kondisi yang
demikian ini, oleh karenanya para kreditur akan enggan untuk memberikan kredit
yang besar yang melebihi dari jumlah modal sendiri yang dimiliki dalam struktur
permodalannya, kecuali ada jaminan tambahan.
PERSONAL TAX
Gambaran
mengenai struktur modal yang dijelaskan diatas, sama sekali belum memasukkan
pajak pribadi ( personal tax ), yakni pajak yang harus dibayar oleh pemodal
manakala mereka menerima pembayaran deviden atau bunga obligasi dari perusahaan
dan hasil penjualan saham atau obligasi yang mereka miliki.
Andaikan
sekarang personal tax ditentukan sebesar 25%, bagaimana dampaknya bagi
para pemegang saham ? Kalau kemudian PT.
KLM mengambil kebijakan akan membagikan deviden secara keseluruhan, maka para
pemegang saham akan menerima sebesar : ( 1 – 0,25 ) ( 4.500.000 ) = Rp. 3.375.000, dan bukannya sebesar Rp.
4.500.000,- seperti nampak dalam contoh perhitungan sebelumnya. Demikian juga
kalau pemodal memiliki obligasi PT. KLM maka apabila sewaktu PT. KLM membagikan
bunga obligasi, penghasilan bersih yang diterima oleh pemilik obligasi adalah
sebesar : ( 1 – 0,25 ) ( Rp. 4.000.000, - ) = Rp. 3.000.000,- dan bukannya sebesar
Rp. 4.000.000,-.
Contoh
pengenaan personal tax diatas, tentunya akan mempunyai dampak yang sama
bagi para pemodal. Dengan demikian, preferensi atas penggunaan hutang masihlah
tetap berlaku. Masalahnya sekarang adalah : bagaimana laba itu akan dibagikan,
apakah seluruh laba akan dibagikan ataukah hanya sebagaian saja yang akan
dibagikan sebagai deviden ? Apakah besarnya tarif pajak untuk capital gain dan
deviden berbeda ?
Andaikan
asumsi dalam pertanyaan diatas berlaku, maka preferensi atas hutang mungkin
tidak akan selalu berlaku. Dalam contoh diatas, dapatlah dijelaskan kalau
pemegang saham akan menerima penghasilan bersih yang lebih besar apabila mereka
memiliki saham, maka mereka akan lebih menyukai membeli saham dibandingkan
dengan obligasi. Implikasinya adalah perusahaan akan lebih mudah menerbitkan
saham baru daripada obligasi. Bahkan dalam kondisi dimana personal tax
yang dibayarkan besarnya sama, para pemegang saham masih akan lebih baik
memilih alternatif saham daripada obligasi. Masalahnya adalah bahwa para
pemegang saham dapat menunda pembayaran pajak atas capital gains dengan
memutuskan untuk tidak membagikan devidennya terlebih dahulu. Sedangkan dalam
alternatif obligasi, pembayaran bunga atas obligasi tidak akan mungkin dapat
dilakukan penundanaan.
PECKING ORDER THEORY
Uraian-uraian
daripada struktur permodalan yang telah kita jelaskan diatas sebenarnya
termasuk dalam apa yang disebut sebagai “ balancing theories “.
Esensi
“ balancing theories “ adalah menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan
yang timbul sabagai akibat daripada penggunaan hutang ( debt ) dalam struktur
permodalan perusahaan.
Sejauh manfaat
yang diperoleh lebih besar, maka komposisi hutang akan lebih diperbesar. Akan
tetapi manakala pengorbanan yang harus dikeluarkan sudah melebihi manfaat yang
akan diperoleh dengan penggunaan hutang tersebut, maka alternatif penggunaan
hutang ini sudah selayaknya dihentikan dan penambahan hutang tidak boleh
terjadi.
Myers dan Majluf
merumuskan adanya struktur permodalan lain yang disebut dengan “ pecking
order theory “ yang maksudnya adalah teori yang akan menjelaskan bahwa
mengapa suatu perusahaan akan menentukan hirarki sumber dana yang paling
disukainya dengan asumsi dasar bahwa informasi adalah asimetrik ( asymmetric
information ).
Asymmetric
information, adalah suatu istilah yang menunjukkan bahwa manajemen mempunyai informasi yang
lebih banyak ( tentang prospek, resiko dan nilai perusahaan ) daripada pemodal
publik. Oleh karenanya, asymmetric information ini akan sangat
mempengaruhi alternatif pilihan antara penggunaan sumber dana intern ataukah
eksternal, dan antara penerbitan hutang baru ataukah saham baru. Dengan
menggunakan pecking order ini, maka pembiayaan atas investasi tentunya
harus didasarkan atas suatu hirarki sumber dana, mulai dari sumber dana
internal terlebih dahulu, barulah kemudian diikuti oleh penerbitan hutang baru
dan pada akhirnya penerbitan ekuitas baru.
Penggunaan pecking
order ini pada dasarnya adalah sangat ditentukan oleh kemungkinan yang akan
terjadi pada harga saham yang terjadi di pasar manakala perusahaan mengumumkan
adanya pembagian deviden. Adanya pengumuman pembagian deviden dari perusahaan
kepada para pemegang saham akan bisa menyebabkan harga saham bisa cenderung
terlalu murah ( undervalue ) dan bisa juga terlalu mahal ( overvalue
) apabila dibandingkan dengan harga yang sesungguhnya ( true value ).
Dengan demikian, perusahaan biasanya akan memilih untuk menerbitkan obligasi
terlebih dahulu daripada dengan saham baru. Akan tetapi apabila komposisi hutang
yang ada pada struktur permodalan perusahaan sudah terlalu besar yang nantinya
akan dapat berdampak negatif pada rentabilitas modal sendiri, maka alternatif
pendanaan eksternal mungkin ditarik dalam bentuk saham baru.
Brealey dan Myers,
juga menyatakan pendapatnya mengenai pecking order ini sebagai berikut :
1.
Perusahaan lebih menyukai pendanaan internal.
2.
Perusahaan akan berusaha menyesuaikan rasio pembagian
deviden dengan kesempatan investasi yang dihadapi, dan berupaya untuk tidak
melakukan perubahan pembayaran deviden yang terlalu besar.
3.
Pembayaran deviden yang cenderung konstan dan fluktuasi
laba yang diperoleh mengakibatkan dana internal kadang-kadang berlebih ataupun
kurang untuk investasi.
4.
Apabila pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan
menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu. Penerbitan sekuritas
akan dimulai dari penerbitan obligasi, kemudian obligasi yang dapat
dikonversikan menjadi modal sendiri, baru akhirnya menerbitkan saham baru.
Permasalahan
yang kemudian muncul adalah mana diantara kedua alternatif tersebut yang paling
menguntungkan bagi perusahaan, apakah menggunakan modal sendiri
sebesar-besarnya ( internal ) ataukah dana eksternal ?
Untuk menjawab
pertanyaan ini memang agak sulit. Yang penting dalam implikasinya, adalah bahwa
kita haruslah kembali memperhatikan komposisi daripada penggunaan dana internal
dan dana eksternal tersebut sehingga nantinya kita akan memperoleh apa yang
dinamakan sebagai “ optimal capital structure “.