Senin, 05 April 2010

A PROCESS MODEL OF GLOBAL STRATEGIC ALLIANCE FORMATION

A PROCESS MODEL OF GLOBAL

STRATEGIC ALLIANCE FORMATION

by :

TIMOTHY L. PETT

C. CLAY DIBRELL

Direview oleh :

RUDDY TRI SANTOSO

NIM : T4209012

PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

A. PENDAHULUAN

· Banyak perusahaan sekarang yang berupaya berkompetisi lebih efektif dengan bergerak tidak hanya di pasar domestik tetapi juga di pasar global.

· Untuk mewujudkan hal tersebut banyak dilakukan aliansi bagi pengembangannya di masa yang akan datang, aliansi strategis ini dapat berwujud kerja-sama, koordinasi dan kolaborasi.

· Banyak perusahaan berusaha mencari-cari kompetisi yang berkelanjutan dalam lingkungan yang turbulen untuk meningkatkan aturan aturan pemerintah yang meningkat dalam era kompetisi global dalam segala segi industri.

· Organisasi melakukan improvisasi strategi dengan mengembangkan dan membawa serta sumber-sumber baru dalam bentuk teknologi dan ketrampilan., hasilnya adalah dalam bentuk formasi struktur organisasi baru (Hamel, 1996; Prahalad and Hamel, 1990, Yoshino and Rangan, 1995).

· Banyak perusahaan berusaha meningkatkan kompetensinya, dan salah satunya adalah jawaban pada pola aliansi stategis yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut untuk mencapai kekuatan kompetitif dengan sumber daya yang dibutuhkan untuk memasuki pasar baru (Hamel and Prahalad, 1989). Banyak keadaan untuk peningkatan pasar global dilakukan melalui shrinking world market dan meningkatkan kompetesi.

· Sekarang ini banyak pertumbuhan yang dipengaruhi oleh aliansi strategis baik secara vertikal maupun horisontal (Harrigan, 1988; Burgers et.al., 1993; Garcia-Canal, 1996) atau juga yang tidak berhubungan dengan aliansi (Lei and Slocum, 1992).

· Banyak perjanjian mengapa aliansi strategis kelihatan sukses (Cravens, et.al, 1993; Burgers, et.al., 1993; Gulati, 1999; Ohmae, 1989) ketika yang lain keluar dari kriteria tersebut (Robert, 1992; Hamel, 1991).

· Banyak periset lain yang mengemukakan kerangka pemikiran seperti joint ventures (Datta, 1988) dan model kerja-sama antar perusahaan (Borys and Jernison, 1989; Hagedorn, 1993; Inkpen and Beamish, 1997) tidak ada pendekatan yang biasa dalam semua proses formasi aliansi strategis yang tidak memberikan dampak dalam globalisasi (Bartlett and Ghoshal, 1991;Kogut, 1985).

· Riset sebelumnya juga menyatakan bahwa untuk menganalisis dalam level internasional harus meliputi pengertian tentang kultur negara (Beamish, et.al., 1991). Kultur nasional merupakan sebuah determinan dari lingkungan organisasi dan pertumbuhan ekonomi (Franke, et.al., 1991; Grosse and Glodberg, 1991; Grosse and Trevino, 1996; Kogut and Singh, 1988). Sehingga aliansi global strategi harus konsisten melihat pengaruh kultur nasional pada proses ini.

· Efek dari kultur nasional pada aliansi strategis diabaikan pada literatur aliansi strategis (misal : Simonim, 1999). Beberapa penulis tetap mempostulasikan dan mengeksaminasi hubungan antara aliansi strategis dan kultur perusahaan debagai determinan pada level sukses aliansi.

· Jurnal ini secara keseluruhan akan meneliti tentang hubungan relevanantara analisis aliansi strategis dan kultur nasional. Review literatur termasuk riset dari perspektif organisasi hybrid (Borys and Jemison, 1989; Ring and Van de Ven, 1992; Ring, 1994), transactional cost (Pearce, 1997; Teece, 1982; Williamson, 1975), resource dependency (Gulati, 1995; Pfeffer and Nowak, 1976; Parkhe, 1993a).

· Riset ini juga mengembangkan dasar-dasar riset, conceptual frame-work yang diteliti dari para praktisi (James, 1985; Kanter, 1989; Lei and Slocum, 1992; Ohmae, 1989; Robert, 1992) juga dari perspektif para akademisi (Borys and jemison, 1989;Burgers, et.al., 1983; Hagedorn, 1993; Harrigan, 1988; Hamel, 1991; Parkhe, 1991,1993a).

· Penelitian ini juga berisi tentang beberapa komentar tentang framework pengembangan proses konseptual.

B. KAJIAN LITERATUR

· Organisasi terbentuk dari beberapa aliansi dengan beberapa kondisi dan variasi pilihan serta alternatif pembentukan aliansi.

· Beberapa tipe organisasi antara lain adalah joint ventures, product swaps, license agreement seperti perjanjian antara supplier dengan buyer (Bleeke and Ernst, 1993 ; Borys and Jemison, 1989).

· Hubungan kerja-sama atau hybrid dari tipe organisasi menggunakan evaluasi medium tentang perjanjian aliansi strategis. Hal tersebut terjadi kerika dua atau lebih organisasi berkompetisi sebagai single unit (Borys and Jemison, 1989; Oliver, 1990; Ring and Van de Ven, 1992).

· Menurut Ring dan Van de Ven (1992), bentuk dan hybrid dari organisasi adalah di pertengahan antara pasar hirarkhi dan pasar struktur, seperti yang didefinisikan dan didiskusikan dalam kontijensi biaya transaksi (Teece, 1982; Williamson, 1975).

· Ring dan Van de Ven (1992) mengemukakan bahwa organisasi hybrid biasanya lebih efektif berkompetisi di pasar global karena diijinkan untuk kombinasi antara organisasi independen antar satu unit kompetisi. Ability kombinasi dua organisasi independnen dengan perbedaan kompetisi dan/atau keuanggulan komparatif dapat menghasilkan ability untuk mengakses pasar global (Prahalad and Hamel, 1990). Proses ini merupakan potensi keunggulan organisasi diantaranya adalah economic of scale dan lingkupnya untuk mengurangi risiko yang terjadi karena pemisahan organisasi (Borys and Jemison, 1989).

· Ring dan Van de Ven (1992) mengemukakan teori transaction cost dan beberapa pengembangan agency theory, yang merupakan fondasi teori untuk menganalisis aliansi strategis. Menurut riset ini, posisi aliansi adalah ditengah diantara dimensi hirarkhi dan dimensi pasar dari teori transaction cost (Teece, 1982).

· Dalam sebuah bagan dari organisasi hybrid, deal dilakukan dengan perjanjian jangka pendek antar party yang sama-sama otonomi, yang sama-sama otoritas otonominya, meskipun juga tidak jarang melihat asas manfaat jangka panjangnya.

· Masing-masing hubungan dapat sukses ketika dua kriteria esensi dievaluasi dan diterima oleh anggota-anggotanya; yaitu kepercayaan dan risiko (Buckley and Casson, 1988; Ring and Van de Ven, 1992). Kepercayaan adalah kesiapan masing-masing anggota didalam goodwill terhadap hubungannya dimana risiko dimonitor untuk mengurangi tujuan tidak pasti sebagai jaringan relasi dimana kekuatan dan hubungan secara kontinyu dapat dievaluasi.

· Thorelli (1986) memberikan catatan bahwa organisasi hybrid biasanya melihat jaringan atau relasi dimana antara kekuatan dan kepercayaan sama-sama dievaluasi. Melalui perjanjian ini, organisasi dapat saling tukar menukar pengaruh, sumber daya dan/atau memperoleh manfaat dari anggota lainnya dari hybrid.

· Kontrak relasional merupakan kontrak yang dimasuki oleh dua atau lebih organisasi untuk jangka waktu lebih panjang. Kontrak tersebut secara normal berdasarkan kepercayaan dan risiko yang biasanya membolehkan banyak motif terjadi (Ring and Van de Ven, 1992). Didalam skenario baru ini diantara partner adalah otonomi dan mempertimbangkan persamaan legal. Jika terjadi dispute diselesaikan melalui mekanisme formal yang bermanfaat bagi semua pihak,kecuali transaction cost theory dimana lingkungan opportunistik dapat diketemukan secara rutin (Williamson, 1975).

· Pfeffer dan Nowak (1976) menyatakan bahwa aktual bentuk organisasi yang berhubungan secara hybrid didalam merespons sumber daya dependent merupakan dilema pada unit-unit yang berbeda. Hal tersebut juga didukung oleh Ring dan Van de Ven (1992) yang dilihat diantara semua party sebagai otonomi dan mengambil manfaat dari pasar.

· Borys dan Jemison (1989) menyarankan adanya kriteria general untuk menjelaskan mengapa organisasi memasuki organisasi dengan model hybrid. Pertama adalah model hybrid dapat mencapai beberapa tujuan, satu adalah pengembangan aliansi strategis. Kedua, organisasi mencakup pengertian tentang potensi yang dimiliki untuk memecahkan permasalahan dan operasional aliansi strategis (Ring dan Van de Ven, 1992). Kriteria ketiga adalah dalam hubungan dengan kesejahteraan dan penilaian kembali originalitas organisasi. Pada saat yang sama, beberapa argumentasi organisasi menyatakan tidak terlalu membutuhkan banyak keahlian atau kehilangan kompetensi inti-nya (Hamel, 1991; Lei dan Slocum, 1992; Root, 1988) Akhirnya organisasi hybrid dapat lebih mendukung stabilitas aliansi strategis.

· Jika dijumlah aliansi strategis dapat dilihat sebegai bentuk organisasi hybrid. Sehingga transaction cost dan pendekatan teori permainan dapat digabungkan dengan aliansi (Parkhe, 1993b; Thorelli, 1986) ; aliansi juga merupakan perbedaan aktual dari transksi tersebut (Borrys and Jemison, 1989; Hagedorn, 1993). Perspektif organisasi hybrid merupakan komplement melalui pertimbangan dari proses untuk menstabilkan proses kultur nasional.

· Kultur nasional merefleksikan disain organisasi sebagai pengaruh kultur pada relasi otoritas, konsepsi itu sendiri dan sebagai jalan deal dengan konflik ( Inkeles dan Levinson, 1969). Kultur nasional dapat didefinisikan sebagai ‘program kolektif dari nasionalisme dalam proses perorangan untuk kehidupan sehari-hari termasuk pekerjaan, leisure dan ketrampilan sosial’. Identitas diri sendiri dari individu merupakan kultur nasional yang dapat menghasilkan perbedaan antar negara. Sebagai contoh : Jepang mempunyai kultur collectivistic, USA kultur individualistik (Hofstede, 1980,1991).

· Perbedaan kultur nasional dapat menjelaskan mengapa organisasi dari dua negara berkarakteristik mempunyai perbedaan perspektif (Markus dan Kitayama, 1991).

· Kultur nasional adalah konsep level makro. Konsekuensinya, kultur nasional berpengaruh terhadap aturan di proses pengambilan keputusan organisasi. Organisasi adalah refleksi dari kultur nasional (Clarke, 1979). Dengan demikian organisasi adalah sebuah model dan konstrain bagi kultur nasional, sehingga top management dapat mempengaruhi kultur nasionalnya.

· Echelon Theory yang dikemukakan oleh Hambrick and Mason (1984) mengemukakan bahwa demografis dari anggota tim top manajemen mempengaruhi proses pengambilan bentuk keputusan dari bounded rationality. Bounded rationality implikasi tim top manejemen yang membuat keputusan didasarkan kriteria personal mereka (Hambrick and Mason, 1984).

· Demografisnya terdiri dari usia, track fungsional atau pengalaman kariernya, pendidikan, akar budaya sosial ekonomi, posisi keuangan organisasi dan karakteristik grup dari tim top menajemen (Hambrick and Mason, 1984).Kultur nasional akan mempengaruhi demografis dan value dasar kognitif, konsekuensinya akan mempengaruhi pengambilan keputusan (Hofstede, 1991; Schneider and De Meyer, 1991).

· Menariknya echelon theory memberikan sebuah tool untuk memprediksikan pemilihan strategi dari organisasi melalui demografis dari tim top manajemen. Dasar ability untuk memprediksi keputusan adalah kompleks (misalnya : aliansi strategis), selebihnya adalah merupakan behavior dari top manager yang mempengaruhi keputusan mereka (Cyert and March, 1963; Hambrick and mason, 1984; March and Simon, 1958). Employing Hofstede’s (1991) mendefinisikan dari kultur nasional, behavior top manager akan dipengaruhi oleh asal negara mereka.

· Kultur berhubungan kuat dengan persepsi organisasi dari lingkungan dan merefleksikan strateginya (Franke, et al., 1991; Inkeles and Levinson, 1969; Katz, et al.,2000). Perbedaan kultur dari masing-masing negara didokumentasikan (misal : Frank, et al., 1991; Hofstede, 1980; Grosse and Trevino, 1996), contohnya adalah negara Jepang dimana tim top manajemen-nya mempunyai background memprioritaskan gain jangka panjang sebagai prioritas lebih tinggi dan di jangka pendek mengutamakan kekuatan stakeholders daripada jangka panjangnya, untuk organisasi di US lebih mengutamakan strategi jangka pendeknya.

· Dengan demikian, negara asal organisasi sangat signifikan aturannya dengan reaksi organisasi pada aliansi strategis.

C. FRAMEWORK OF STRATEGIC ALIANCE PROCESS

· Dengan menggunakan dua hybrid arrangements yang disarankan oleh Ring and Van de Ven (1992), framework merupakan pengembangan komponen menyeluruh dari aliansi. Framework juga mengelaborasi proses kerjasama, koordinasi dan corroboration.

· Tahapan kontrak harus menunjukkan mutual benefit kedua belah pihak dalam jangka pendek, juga harus mempunyai tahapan untuk jangka panjang dalam hubungan kontrak relasionalnya.

· Didalam kasus lain diantara tahapan tersebut harus mencerminkan keunggulan kompetitif dan keahlian ke anggota lainnya. Sehingga sebelum kontrak dikembangkan lebih lanjut, kebutuhan eksaminasi harus dilengkapi oleh para anggota yang terlibat sebelum legitimasi kontrak dilanjutkan.

· Framework untuk analisis aliansi strategis dikembangkan melalui tahapan eksplorasi, tahapan kontrak sekarang yang ada, tahapan kontrak relasional dan tahapan outcome (lihat gambar 1). Diantara tahapan-tahapan tersebut, banyak kebutuhan dan proses evaluasi dari anggota dalam penggunaan analisis dan determinan-nya apakah mau melanjutkan atau tidak terhadap aliansi yang terjadi saat ini.

· Empat tahapan tersebut dapat di eksplore kedalam hal-hal detil yang lebih komprehensif dari
framework dan relasionalnya ke acuan tahapan sebelumnya.

Gambar 1 :



1. Tahapan Eksplorasi :

· Tahapan eksplorasi adalah inisial proses yang membawa kebersamaan dua atau lebih organisasi yang otonomi, dan unit-unit ini mempunyai gap dalam teknologi, sumber daya atau pasar-nya (Ring and Van de Ven, 1992).

· Termasuk proses ini adalah scanning terhadap aturan pemerintah dan isu-isu etika antara multinasional dan organisasi domestik. Lebih dari itu, organisasi harus mempertimbangkan aturan dari kultur nasional sebagai proses-nya. Perbedaan signifikan antara dasar kultur nasional dari negara asal dari anggota yang potensial dalam aliansi harus merupakan sinyal perencanaan dari aliansi yang siap mengalokasikan lebih besarnya sumber daya daripada antisipasi asalnya.

· Ability dari organisasi dapat sukses dalam tahapan ini tergantung dengan inisial anggota dalam perjanjian tentatif. Sesudah perjanjial inisial disampaikan, organisai yang memperoleh manfaat dapat mengubahnya ke tahapan recurrent.

· Dalam tahapan ini, tiga area primer harus dieksaminasi sebelum tentatif agreement dua atau lebih organisasi dilaksanakan. Kebutuhan organisasi untuk dipisah secara otonomi, motif dan tujuan masing-masing perusahaan multinational dan perusahaan nasional harus dinyatakan secara tegas (oliver, 1990; Robert, 1992). Organisasi harus merasa bisa deal dengan segala kemungkinan kejatuhan (akibat hasil dari aliansi; lihat Harrigan, 1988), kesulitan operasional aliansi (Killing, 1983) dan pertimbangan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk mengelola aliansi (Koot, 1988).

· Beberapa periset mengindikasikan antara kinerja organisasi yang lalu dengan aliansi akan mempengaruhi keputusan manajemen dari masuk atau tidaknya ke aliansi tersebut (Burgers, et al., 1993; Hagedorn, 1993).

· Organisasi masuk ke aliansi harus mengerti dampak dari perbedaan kultur dalam aliansi. Kultur ini dapat meliputi perbedaan atau persamaan dalam respect mereka terhadap budaya perusahaan seperti kultur nasionalnya (Hamel, 1991; Kale and Barnes, 1992).

· Riset tersebut menyarankan bahwa organisasi dengan perbedaan kultur mempunyai perbedaan tujuan dan motif dengan perbedaan kebutuhannya. Sebagai tambahan, organisasi yang masik ke dalam perjanjian harus melepaskan perbedaan gap dalam sumber daya yang tersedia diantara mereka. Anggota lain dapat mengambil kesempatan behavior dalam situasinya (Borys and Jernison, 1989; Contractor and Lorange, 1988; Root, 1988). Kesempatan behavior oleh organisasi dapat menghasilkan beberapa kebutuhan unmet di pasar atau perbedaan teknologi didalam given industri.

· Kebutuhan unmet di pasar dihasilkan dari defisiensi beberapa sumber daya krusial atau teknologi yang dimiliki anggotanya yang tidak tersedia untuk dijadikan gain atau diakuisisi. Perbedaan sumber daya atau teknologi dapat datang dari beberapa bentuk, termasuk beberapa sumber daya natural, teknologi yang inability, atau biaya produksi, masig-masing berpotensial bertindak sebagai entry barrier untuk organisasi (Contractor and Lorange, 1988).

· Dengan memiliki efforts koordinasi melalui aliansi strategis, seringkali kebutuhan unmet dapat dipenuhi. Banyak organisasi mempunyai motif memasuki aliansi, termasuk meningkatkan dasar teknologi perusahaan (Ohmae, 1985; Steinmueller, 1988; Womack, 1988), berusaha mengurangi biaya riset dan pengembangan (Hladik, 1988; Harrigan, 1988; Hagedorn, 1993), mengembangkan beberapa proses inovasi (Burgers, et al., 1993) , atau kapitalisasi dalam kesempatan untuk membentuk pasar baru (Porter and Fuller, 1986; Harrigan, 1988; Steinmuller, 1988).

· Karena banyak perusahaan mengetahui atau tidak mengetahui kesempatan dalam behavior, semua pihak dalam aliansi harus saling memberikan pengetahuan awal kepada anggota lainnya. Hal ini merupakan hal khusus yang dapat dipergunakan di masa mendatang atau untuk berkompetisi di pasar dengan kompetitornya (Lei, 1991; Lei and Slocum, 1991,1992; Parkhe, 1991, 1993b).

· Turbulensi dari lingkungan dimana organisasi berkompetisi dapat juga mendeterminan pemain-pemainnya di tahapan eksplorasi. Turbulen lebi dari lingkungan, membuat organisasi masuk dalam beberapa pensortiran aliansi (Cravens, et al., 1993; Hamel, 1991; Parkhe, 1993b). Dengan perubahan yang cepat didalam kondisi internal dan eksternal industri, perusahaan akan mencari upaya mengurangi eksposur risiko. Dengan scanning terhadap lingkungan, masing-masing organisasi dapat mendeterminasi perubahan strategi yang paling baik bagi organisasi untuk jangka panjang (Burgers, et al., 1993). Setelah sukses dalam tahapan ini, organisasi kemjudian bergerak ke arah tahapan kontrak recurrent.

· Implikasi bagi manajemen adalah untuk pengembangan efektivitas dan mengelola aliansi secara sukses tergantung dari deal bagaimana proses kepegawaian dalam tahapan ini dapat dilengkapi. Manajemen dapat menempatkan proses dalam aliansi sukses apabila dapat melakukan evaluasi potensial dari aliansi. Pertama adalah evaluasi dari kebutuhan organisasi melalui konteks-nya dan konteks industrinya. Selama proses, manajemen harus melakukan eksaminasi dengan beberapa partner yang potensial.

· Pada saat proses keputusan manajemen dipergunakan, harus konsisten didalam penggunaan proses evaluasi keseluruhan dan ke banyak partner yang potensial. Proses terhadap masing-masing partner merupakan kebutuhan kritis dan permintaan dari organisasi. Tahapan dari proses membutuhkan waktu, juga memperlihatkan bahwa organisasi mempunyai keterbatasan sumber daya secara sistematik.

· Ketika manajemen melakukan pooling eksaminasi terhadap partner yang potensial, harus dilakukan eksaminasi terhadap kultur nasional, peraturan pemerintah, dan kondisi lingkungan lain yang berdampak terhadap aliansi. Eksaminasi ini harus lengkap di negara partner yang merupakan pasar potensial.

· Manajemen juga harus melakukan eksaminasi misi dari organisasinya, untuk menentukan dimana pasar baru yang akan terbentuk dan produk baru yang akan memasuki pasar.

· Tahapan dari formasi aliansi membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan silent operation karena organisasi melakukan evaluasi partner dan sumber daya untuk selanjutnya mengembangkan ke formal aliansi.

· Manajemen juga harus peduli terhadap banyak partner potensial yang fit untuk rencana kerja-sama jangka panjang, dan harus tidak ragu-ragu untuk mengeliminasi mereka dari daftar apabila tidak potensi.

· Hal tersebut merupakan prioritas manajemen dalam melakukan proses modifikasi terhadap seleksi partner secara lebih inclusive.

2. Tahapan Kontrak Recurrent :

· Sesudah tahapan eksplorasi lengkap dan organisasi setuju dengan pengembangan beberapa tipe dari aliansi, proses bergerak ke arah tahapan kontrak recurrent. Evaluasi risiko dan motivasi antar organisasi melalui perjanjian jangka pendek (Ring and Van de Ven, 1992) diperlukan dalam tahapan ini, diskusinya adalah di bidang pengembangan dan review motif masing-masing organisasi, risiko gabungan yang harus ditanggung, struktur yang dibutuhkan dan evaluasi terhadap kepercayaan masing-masing partner yang bergabung melalui deal jangka pendek.

· Masing-masing organisasi belajar bagaimana reaksinya dan reaksi yang diberikan pada kesempatan yang terbatas, hasilnya disortir dengan uji terhadap organisasi yang akan membentuk formal aliansi (pada tahapan kontrak berikutnya).

· Dalam tahapan ini semua anggota membawa beberapa tipe keunggulan atau comparative advantage yang akan dipergunakan dalam perjanjian aliansi. Pada tahap permulaan masing-masing menyertakan personil, pengembangan hubungan pemasok dan pembeli, dan perjanjiannya serta evaluasi terhadap tingkat kepercayaan antara satu dengan yang lainnya.

· Apabila kepercayaan tidak bisa dibangun maka organisasi dapat melanjutkan menggunakan beberapa prosedur yang sama sampai diperoleh benefit pada masing-masing pihak. Tetapi apabila tingkat kepercayaan tidak aplikatif bagi banyak anggota pada perjanjian jangka pendek itu, maka tidak perlu dilanjutkan sebelum banyak potensi krusial dalam strategi hilang (Buckley and Casson, 1988; Lei and Slocum, 1992; Ring and Van de Ven, 1992).

· Robert (1992) menyarankan bahwa organisasi harus tidak memasuki aliansi untuk mengoreksi kelemahan masing-masing anggota. Dengan demikian, apabila kepercayaan dapat dievaluasi dan dilihat manfaatnya antar pihak, aliansi yang terjadi harus menghasilkan beberapa bentuk manfaat antar partisipan.

· Dalam jangka pendek aliansi, anggota perusahaan harus memperoleh beberapa informasi yang terpakai di pasar yang berbeda (hamel, 1991). Pada tahapan ini, kebanyakan perusahaan harus memproteksi keunggulan mereka, sehingga apabila terjadi kasus skenario terjelek hanya akan mengurangi beberapa porsi kerugian dari kompetensi perusahaan, potensial dilema dalam tahapan ini adalah ketidak-sesuaian apabila organisasi tidak melakukan disclosure informasi yang sebenarnya (Lei and Slocum, 1992).

· Struktur organisasi yang dipergunakan untuk formasi aliansi pada tahapan ini sangat sederhana. Dan mengijinkan ability organisasi menyatakan misi yang bebas dari segala macam birokrasi. Apabila dimungkinkan, administratif aliansi dan biaya kontrol-nya harus minimum (Kanter, 1989). Proses ini memudahkan anggotanya untuk keluar apabila mengalami kejatuhan setiap waktu. Apabila mengalami keberhasilan juga memudahkan diubah menjadi bentuk permanen dengan tahapan kontrak relasional.

· Implikasi bagi manajemennya adalah bahwa pada tahapan ini menyarankan agar manajemen menggunakan proses pada tahapan eksplorasi untuk menyeleksi partner yang akan memasuki pasar baru atau pengembangan produk baru-nya. Tahapan kontrak recurrent adalah highlighted terhadap beberapa proses manajemen yang dapat dipakai untuk mendukung kesuksesan baik secara jangka pendek maupun jangka panjang. Pada jangka pendek, proses digunakan untuk mengevaluasi risiko dan motif. Manajemen harus terbuka untuk diketahui semua pihak, partner yang baru akan mengetahui untuk apa masuk dalam aliansi. Dengan demikian yang paling penting dalam proses tahapan ini adalah komunikasi.

· Proses tersebut menyediakan beberapa outcomes, pertama manajemen dapat mengartikulasi apa yang diharapkan dari aliansi tersebut, juga mendengarkan harapan dari partnernya terhadap aliansi itu. Hal tersebut penting karena manajemen harus benar-benar di posisi yang tepat dari proses untuk mengevaluasi mutual risks dan kepercayaan antara mereka. Hal ini termasuk sharing dari informasi terhadap ketidak-unggulan atau pengetahuan analisis pasar , tergantung dari jenis industrinya.

· Proses jangka pendek dapat mengangkat relasi lebih panjang. Didalam relasi lebih panjang, manajemen dapat melakukan set-up beberapa laporan penting untuk membawa misi dari aliansi. Selama periode ini, manajemen dapat melakukan proses untuk improvisasi arus informasi dan evaluasi kesuksesan dari penseleksian partner sesuai misi dari aliansi, yang menghasilkan value dasar dan laporan mekanisme kontrol-nya. Hal tersebut akan memberikan respon ke manajemen, bagaimana melakukan proses dan mengembangkannya serta menggunakannya.

· Pada tahapan ini, manajemen dapat melakukan kajian dari formasi aliansi untuk memasuki pasar baru atau produk yang mungkin belum merupakan action dari organisasi. Apabila demikian, aliansi harus tidak dilanjutkan dan proses ini digunakan sebagai pengalaman belajar,

· Di sisi lain, pada tahapan ini, manajemen dapat mengeksplorasi kedepan tentang aliansi formal dengan partner lain untuk kolaborasi dengan dasar kepercayaan dan mempunyai tujuan yang sama.

3. Tahapan Kontrak Relasional :

· Pada tahapan kontrak relasional didasarkan dengan jaminan bahwa semua kesempatan behavior ada, atau mendekati ada, dari semua anggota dari aliansi. Juga level dari risiko dan kepercayaan tinggi antar pihak maka dapat ditingkatkan ke hubungan jangka panjang dalam aliansi.

· Apabila kepercayaan antar pihak berfluktuasi, aliansi harus segera dihentikan dan kembali kepada tahapan recurrent sebelum komitmen jangka panjang dibuat (Buckley and Casson, 1988; Ring and Van de Ven, 1992). Apabila masalah timbul karena perbedaan motif pada point ini, masalah dapat menjadi besar dan organisasi dapat kehilangan nilai kompetitifnya (Hagedorn, 1993).

· Ketika antar pihak menyetuji tujuan dari aliansi, akan timbul kesulitan apabila terjadi mistrust atau unethical behavior di masa mendatangnya. Dengan demikian, kepercayaan adalah hal yang utama yang harus dipertimbangkan agar aliansi mengalami kesuksesan. Aliansi ketika dibentuk, membutuhkan struktur organisasi yang kompleks untuk merespon kebutuhan permintaan dari para anggotanya. Sebagai tambahannya, aliansi akan mempunyai arah dalam lingkungan yang turbulen, termasuk dalam kompetisinya maupun pemerintahannya apabila melibatkan banyak multi-companies.

· Termasuk dalam struktur yang kompleks ini adalah sistem yang mengarah kepada sharing terhadap kebutuhan teknologi , sumber daya dan keahlian. Banyak praktisi berargumentasi bahwa bagian dari kebutuhan struktur dipertimbangkan sebelum formasi aktual dari aliansi dilaksanakan (Kanter, 1991; Lei, 1992). Point ini memperlihatkan juga bahwa hal tersebut harus didukung dengan riset empiris (burgers, et al., 1993); Hagedorn, 1993; Parkhe, 1991). Biaya asosiasi pengembangan kontrak relasional ini lebih mahal, dan membutuhkan mekanisme struktur organisasi yang harus dilaksanakan sebagai kebutuhan untuk mengatasi tanggung-jawab dan biaya tambahan (Kanter, 1990).

· Struktur ini memberikan giuidance didalam aliansi untuk efisiensi, stabilitas dan legitimasi yang boleh jadi tidak hanya termasuk dalam formal struktur (Oliver, 1990). Area terakhir yang penting pada struktur aliansi adalah limit keterbatasan dari para anggotanya sebagai struktur baru itu sendiri (Borys and Jemison, 1989). Untuk melakukan imrovisasi efisiensi dan efektivitas menuju achievement dari misi aliansi, membutuhkan diferensiasi yang jelasa dan komunikasi antara anggota aliansi (ring and Van de Ven, 1992). Dengan men-set boundaries, akan memudahkan untuk berkomunikasi dalam aliansi yang beru dibentuk untuk menyatukan arah dan tujuan bagi semua anggota dari aliansi. Proses ini juga merupakan improvement dari asymetry organisasi dan kepercayaan partner didalam aliansi (Oliver, 1990).

· Implikasi bagi manajemennya adalah tahapan kontrak relasional adalah hasil dari pengembangan dan implementasi proses dari dua tahapan sebelumnya. Pada tahapan ini mendukung dan membuat organisasi untuk mengevaluasi partner yang potensial dan hasil/outcome dari aliansi yang membawa benefit antar pihak. Pada tahapan ini, manajemen harus menaruh beberapa proses yang dapat untuk melanjutkan perjanjian awal untuk jangka panjang. Jangka panjang ini relatif tergantung dari pernyataan misi dan karakteristik industri sesuai dengan kondisi pasar.

· Sebuah proses harus dikomunikasikan oleh manajemen didalam kondisi bahwa antar partner dapat melanjutkan aliansi. Pernyataan bahwa berapa lama aliansi akan dilakukan?Jangka waktu akan membantu dalam mengarahkan antar partner untuk membentuk tipe kontrol dan sistem administrasi yang dipergunakan. Proses ini akan membantu dalam mengembangkan sistem pelaporan dari outcome-nya seperti yang dibutuhkan dalam aliansi pada masa mendatang. Seperti pada tahapan sebelumnya, manajemen harus tidak melanjutkan aliansi apabila pernyataan tujuan tidak terpenuhi secara lengkap sesuai yang dibutuhkan oleh para partner tersebut.

4. Tahapan Outcome :

· Tahapan outcome menerangkan potensial gain yang merupakan beberapa nilai kompettitif (Kanter, 1989). Dengan demikian pada tahapan ini mempunyai beberapa tipe alternatif dari output yang dapat dipenuhi dengan strategi yang diterapkan, termasuk tidak melanjutkan atau hasil reside outcome.

· Sehingga tidak ada organisasi yang jatuh atau tidak mengetahui posisinya dalam kompetisi, seperti kasus bagi banyak aliansi. Tahapan ini akan mengelaborasi masing-masing potensial outcome secara lebih detail.

· Apabila proses dari formasi dan pengembangan aliansi sukses dan lengkap dilakukan oleh organisasi, kemudian mereka juga harus mempunyai keunggulan kompetitif. Keunggulan ini dapat dinyatakan kedalam pasar baru melalui pengembangan produk atau ekspansi didalam aliansi yang harus ada untuk memperoleh gain dan penghargaan dalam bentuk uang. Biaya secara normal harus berkurang ketika pengembangan dibangun melalui single organisasi atau kolaborasi partner (Parkhem 1993a; Harrigan, 1988, lei, 1991).

· Organisasi dapat mempunyai nilai kompetitif dalam pengembangan keahlian baru, kompetensi inti dan pembelajaran. Sebagai anggota yang di rotasi didalam aliansi, organisasi dapat memperoleh nilai gain dalam pembelajaran keahlian karena setiap hari melakukan deal dengan para anggota organisasinya. Dengan demikian hal ini dapat menjadi area antara para anggota aliansi yang tidak berkonstribusi dalam partnership (Cravens, et al., 1993). Apabila satu anggota selalu mengambil manfaat dari perjanjian dan tidak ada timbal baliknya, hal tersebut dapat menyebabkan organisasi takut untuk mencoba ‘de skill’ ke anggota lain dari aliansi (Lei, 1991; parkhe, 1991; Robert, 1992).

· Hasil dari kemungkinan kedua pada tahapan outcome adalah tidak dapat melanjutkan aliansi, dimana dapat dihasilkan dari kontrak relasional lain atau pada tahapan kontrak recurrent. Didalam kedua kasus tersebut, dengan mengabaikan kepercayaan, aliansi dapat mengalami kejatuhan. Dengan demikian, kejatuhan dapat terjadi karena biaya dari beberapa faktor gabungan antar anggota. Sukses juga dimungkinkan, pada saat kontrak relasional jangka panjang di-terminate untuk mendatangkan benefit antar anggotanya.

· Dimensi final dari tahapan outcome adalah dalam residual outcomes. Pada dimensi ini, outcome bukan merupakan tujuan prinsip dari anggota tetapi merupakan alternatif kedua. Anggota-anggota didalam koroborasi bersedia menggunakan gain yang diperoleh seperti teknologi atau riset dan pengembangan didalam pasar. Gain tersebut merupakan hasil langsung dari inovasi dan riset di area tersebut dengan pembelajaran bagaimana proses aktual yang dilakukan oleh anggotanya (Lei, 1991; Hagedorn, 1993; Parkhe, 1991). Dengan demikian apabila anggotanya adalah kompetitor langsung harus berkompetisi dan berkoordinasi dengan simultan komperisi. Pembelajaran ini juga membantu kompetisi memasuki bagian lain dari rantai nilai tambah di masa mendatang (Lei and Slocum, 1992).

· Akhirnya dengan bekerja dalam kompetisi, perusahaan dapat secara nyata berkompetisi. Di skenario ini keunggulan strategis anggota sebelum aliansi akan hilang atau dikonsumsi dalam kompetisi. Akan menghasilkan konstribusi yang sama bagi para anggota, dengan tetap memegang keahliannya, pengetahuannya dan atau kompetensi inti yang tetap harus dicadangkan di masa mendatang.

· Implikasi bagi manajemen pada tahakan outcome adalah hasil dari manajemen dalam menaruh beberapa proses seleksi organisasi dan partner dengan tujuan yang bermanfaat dan diharapkan. Dengan demikian tahapan outcome juga mendefinisikan kebutuhan manajemen untuk meletakkan beberapa proses yang menghasilkan outcome aliansi.

· Manajemen membutuhkan sistem untuk menghasilkan outcome, dengan return yang diharapkan sebagai pengembangan dari tahapan pertama dan kedua. Outcome ini merupakan hasil yang berarti yang merupakan sukses dari aliansi.

· Selama tahapan ini, manajemen juga harus meletakkan proses yang menghasilkan residual sebagai karakter aliansinya. Outcome residual dari aliansi adalah potensial pernggunaan didalam organisasi. Proses manajemen dapat meliputi rotasi tugas, cross training, seperti joint R and D dengan partner. Sistem informasi proses merupakan aktivitas yang harus dimengerti dalam hubungan antara hasil/outcome dengan yang diharapkan didepan.

B. KESIMPULAN

· Penelitian ini mengembangkan konseptual framework dari aliansi strategis menggunakan tipe hybrid dari organisasi sebagai bagian dari framework. Framework mengilustrasikan hubungan beberapa karakteristik yang mempresentasikan industri yang mempengaruhi partisipasi aliansi.

· Model didasarkan pada empat tahapan yaitu : eksplorasi, recurrent, relational dan tahapan outcome – dimana proses organisasi mendeterminasi apakah akan terus mengkuiti aliansi atau tidak.

· Masing-masing tahapan adalah berkarakteristik unik yang mempengaruhi proses yang diadopsi oleh manager dari organisasi untuk memutuskan melanjutkan aliansi.

· Framework ini sangat unik, menyarankan aktual aliansi strategis yang harus diikuti dengan tahapan-tahapan sebelum masuk dengan perjanjian jangka panjang yang dipengaruhi oleh kultur nasional sebagai faktor untuk dipertimbangkan dalam proses perencanaan aliansi.

· Riset juga menginvestigasi perbedaan aspek dari tujuan framework, model tersebut harus diteliti lebih lanjut dalam riset mendatang.

· Karena trend aliansi strategis, maka periset harus mengerti mereka diantara perspektif praktisi dan periset. Pekerjaan ini merupakan step kunci yang menjembatani dimensi syadic, tetapi penting untuk melanjutkan garis riset guna mengerti fenomena-nya. Untuk yang akan datang, generalisasi pengembangan framework harus dilakukan melalui riset empiris.

E. CRITICAL REVIEW :

· Penelitian ini membutuhkan riset empiris dan bukan hanya secara teoritis seperti yang dibahas didalam jurnal tersebut di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar