Jumat, 28 Mei 2010

Predicting Turnover Intentions of Hotel Employees: The Influence of Employee Development HRM Practices and Trust in Organization

Predicting Turnover Intentions of Hotel Employees: The Influence of Employee Development HRM Practices and Trust in Organization

by:

M. Abdullah Hemdi dan Azzizat M. Nasurdin




Oleh:

Ruddy Tri Santoso

NIM: T4209012

Program Doktor Ilmu Ekonomi

Universitas Negeri Sebelas Maret

Surakarta

2010

A. Pendahuluan

· Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi turnover intentions pegawai hotel.

· Pengaruh dari kepercayaan didalam organisasi sebagai mediator didalam hubungan relasionalnya juga diuji.

· Pertanyaan mendasar tentang mengapa karyawan hotel berhenti/keluar dari organisasi merupakan isu pokok dalam penelitian ini.

· Woods,1997 studi di seluruh dunia menyatakan bahwa turnover pegawai tinggi 60 – 300 %/tahun lebih tinggi 34,7% dari industri manufaktur (Foley,1996).

· Studi menyatakan bahwa intensitas turnover disebabkan oleh role conflict, role ambiquity, role overload, work condition, job tasks and autonomy serta variabel demografi (seperti: gender, usia, tenure dan pendidikan) yang mempengaruhi dampak sikap pegawai dan atau intensitas turnovernya (Kim et al.,1999).

· Riset-riset tersebut tidak secara sistematik menginvestigasi hubungan antara persepsi HRM Practices, sikap dari organisasi (trust in organization) dan behavior intentions (turnover intentions).

· Didalam esensinya persepsi pegawai akan berpengaruh langsung secara negatif terhadap intensitas turnover pegawai (Becker et al.,1996).

· Persepsi pegawai akan meningkat jika ketika terdapat kepercayaan/trust di organisasi (Dirks et al.,2001).

· Studi ini mempelajari tentang trust didalam organisasi yang mempengaruhi langsung dan berhubungan negatif dengan turnover intentions.


B. Latar Belakang Teori dan Hipotesis

1. The Effect of HRM Practices on Turnover Intentions

- Manusia meninggalkan pekerjaannya di hotel karena berbagai alasan dan hal ini perlu dilakukan studi, antara lain adalah dalam sikap terhadap job satisfaction atau komitmen organisasi (Steel dan Ovalle, 1984).

- HRM practices berisi tentang kebijakan internal terhadap job preview, orientation program, compensation systems, job security, performance appraisal, training and development, dan career development.

- Hipotesis yang dikemukakan adalah:

H1 : Employee development HRM practices (performance appraisal, training and development, career advancement) will be negatively related to turnover intentions.

2. The Effect of HRM Practices on Trust in Organization

- Trust merupakan pengaruh psikologi terhadap harapan yang positif untuk intensi atau behavior (Rousseau et al.,1998).

- Struktur dari trust adalah rationality (cognitive trust) atau emotion (affective trust), yang merupakan pengharapan/belief bahwa hal tersebut reliable, integrity dan predictable atau affective trust antara lain adalah emotion contex seperti friendship, caring atau genuine concern untuk kesejahteraan pihak lain.

- Riset menemukan hubungan positif antara trust dan sikap serta behavior seperti komitmen, job satisfaction, organizational citizenship behavior dan kinerja (Dirks et al.,2001).

- Persepsi pegawai dari organisasi akan berpengaruh langsung dan positif terhadap trust.

- Hipotesis keduanya adalah :

H2 : Employee development HRM practices (performance appraisal, training and development, career advancement) will be positively related to trust in organization.

3. The Effect of trust in organization on Turnover Intentions

- Trust didalam organisasi menyebabkan dampak negatif dalam turnover intentions.

- Dengan kata lain, trust yang lebih tinggi didalam organisasi akan mengurangi pegawai meninggalkan/keluar dari organisasi.

- Hipotesis ketiganya adalah:

H3 : Trust in organization will be negatively related to turnover intentions.


4. Trust in Organization as a Mediator of the HRM Practices Turnover Intentions Relationship

- Trust didalam organisasi merupakan laporan empiris sebagai variabel intervening penting yang berdampak dari satu belief ke behavior intentions atau outcomes.

- HRM Practices mengirimkan sinyal kepada pegawai tentang pengembangan mereka dari trust yang diberikan oleh organisasi dan ketika organisasi gagal dalam mendeliver kontrak atau janji, sense pegawai kepada mutual obligation akan menurun (Williams, 2003).

- Riset empiris mengkonfirmasikan bahwa trust merupakan mediasi hubungan antara persepsi pegawai dari organisasi dan outcome-nya seperti kinerja atau turnover.

- Hipothesis keempatnya adalah:

H4 : Trust in organization mediates the relationship between employee development HRM practices (performance appraisal, training and development, career advancement) and turnover intensions.

C. Methodology

1. Subjects:

- Partisipan terdiri dari operational employee dari 22 hotel besar di Selangor, Kuala Lumpur dan Penang, Malaysia.

- Total 628 kuesioner didistribusikan ke responden melalui HRM.

- Metode ‘drop off’ dan ‘pick up’ dilakukan dalam survai ini.

- Waktu 2 minggu dan 380 kuesioner kembali serta dianalisis, rr = 60,5%.

2. Pengukuran:

- Pertanyaan berhubungan dengan sistem appraisal diukur melalui pengukuran 8 item diadaptasi dari Delery dan Doty (1996) dan Tsui et al. (1997).

- PA tersebut yang diimplementasikan oleh hotel meliputi persepsi dalam feedback system, kriteria evaluasi dan metode appraisal oleh hotel.

- Persepsi employee dalam program formal training diukur dan 6 item adaptasi dari Delery dan Doty (1996). Item-item ini menjawab persepsi responden dalam eksistensi dan ketersediaan program training, efektivitas training, kebijakan program training dan kebutuhan training.

- Employee percepcion dalam karier diukur menggunakan 11 item yang diadops dari Delery dan Doty (1996) dan Burke et al. (1998).

- Item-item tersebut meliputi career paths, career aspirations, internal promotions dan kriteria promosi yang disediakan oleh hotel. Pengukuran 7 item diambil dari Mishra (1996) dan Mayer dan Davis (1999) melalui pengukuran ‘trust’ didalam organisasi.

- Pertanyaan-pertanyaan untuk pengukuran pegawai terhadap perasaan dari trust di top management (representing organisasi) didalam memegang janji-janjinya, keterbukaan, kompetensi, fair treatment, konsistensi, kepedulian dan honesty.

- Akhirnya, intensitas turnover diukur menggunakan index comprising dari 5 item yang diambil dari Hom dan Griffeth (1991) dan Wayne et al. (1997).

- Semua pengukuran dirating menggunakan skala Likert dari 1 = strongly disagree sampai 7 = strongly agree.

- Usia, gender, status perkawinan, pendidikan dan organizational tenure mempengaruhi turnover intention dan trust di organisasi seperti penelitian sebelumnya (Bluedorn, 1982; Ghisseli et al., 2001; Tepeci dan Bartlett, 2002), dimana variabel-variabel tersebut dikontrol dalam analisis statistik.

3. Analisis Data

- Komponen prinsip analisis faktor diinitialkan dalam melakukan verifikasi validitas internal dari pengukuran.

- Deskriptif statistik seperti mean, sd, reliabilitas dan interkorelasi diperhitungkan.

- Hipothesis diuji menggunakan hirarki multiple regression (Cohen dan Cohen, 1975).

- Variabel kontrol dimasukkan dalam langkah pertama diikuti variabel-variabel model.

- Untuk menguji mediasi, prosedur disarankan oleh Baron dan Kenny (1986) dan Kenny (2003) yang diikuti.

4. Profil Responden

- Distribusi gender responden lebih tinggi untuk laki-laki (57,1%), mayoritas responden belum menikah (61,1%).

- Etnic Malay 70% dari sample, pendidikan 70% STPM atau lebih rendah. Level pendidikan rendah ini relatif konsisten dengan kualifikasi untuk non supervisory employee.

- Didalam kondisi organizational tenure 31,8% responden mempunyai pengalaman > 5 tahun.

- Responden terdiri dari front office (23,2%), food production (24,7%), Housekeeping (27,1%) dan F and B service (25%).

- Usia sampel (mean = 28,1 tahun dan SD = 7,09 tahun)

- Komponen prinsip analisis faktor diinitialisasikan untuk memverifikasi validitas internal dari pengukuran.


5. Analisis Faktor dari variabel-variabel penelitian

- Komponen prinsip analisis faktor dengan rotasi varimax dihantarkan untuk validasi struktur HRM.

- Faktor interpretasi hanya load factor > 0,50 dalam satu faktor dan <>

- Hasil dari rotasi varimax analisis HRM mengindikasikan eksistensi dari tiga faktor signifikan sebagai konsep asli eigenvalues > 56,19% dari variance.

- Pengukuran KMO (Kaiser – Meyer – Olkin) dari sampel adequacy value untuk item-item tersebut adalah 0,90 mengindikasikan interkorelasi sufficient dimana uji Bartlett’s dari Sphrecity juga menemukan signifikansi (Chi Square = 3789,25 , p <>

- Faktor-faktor ini dinamakan performance appraisal (7 items), career advancement (4 items) dan training and development (4 items).

6. Tabel 1 menunjukkan hubungan interkorelasi antar variabel serta perhitungan means, sd dan koefisien reliabilitas.


- Menurut tabel tersebut koefisien korelasinya menunjukkan signifikansi positif antara HRM dan trust. Sedangkan HRM dan trust bersignifikansi negatif dengan turnover intension.

- Koefisien reliabilitas untuk pengukuran dapat diterima dari rekomendasi minimum 0,60 (Sekaran, 2000).




7. Uji Hipotesis

- Uji H1 = HRM diregresi dengan turnover intentions. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Diperoleh hasil bahwa dalam model 1 variabel demografi membuat konstribusi signifikan dengan variabel turnover intentions (R2 change = 0,23 dan F change = 1,780, p>0,05). Sedangkan pada model-model hanya career advancement yang signifikan negatif hubungannya dengan turnover intention (R2 change = 0,150, F change = 22,378, p<0,01).>

- Uji H2 = HRM diregresi dengan trust di organisasi. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 3; dimana 5 variabel kontrol tidak membuat signifikan dengan variabel trust didalam organisasi (model 1) dimana R2 change = 0,005 dan F change = 0,318, p <>2 change = 0,507, F change = 126,552, p < style="">trust di organisasi. Career advancement berdampak positif kuat dengan trust di organisasi (β = 0,456, p < style="">training dan development (β = 0,244, p < style="">performance appraisal (β = 0,135, p <>

- Uji H3 dan H4 = untuk menguji dampak dari trust dalam turnover intention dan efek mediasi trust di organisasi dalam hubungan antara HRM dan turnover intentions (H4), empat langkah prosedur yang disarankan oleh Baron dan Kenny (1986) dan Kenny (2003) dilakukan Tabel 4 menyajikan hasil analisis regresi dengan efek mediasi dari trust di organisasi dalam hubungan antara HRM dan turnover intentions. Pada tabel 4, trust di organisasi (β = -0,477, F change = 35,496, p < style="">turnover intentions (model 3), mendukung hipotesis 3. Dari 3 HRM, hanya career advancement yang ditemukan dalam kondisi sebagai mediasi. Dampak dari career advancement dalam turnover intentions (β = -0,247, p <> 0,05) didalam trust diorganisasi, berimplikasi mediasi penuh. Dengan kata lain, career advancement hanya mempunyai dampak tidak langsung dalam turnover intentions melalui trust di organisasi. Hipothesis 4 sebagian didukung.


D. Diskusi

· Persepsi pegawai hotel tergantung pada HRM antara lain career advancement, training and development dan performance appraisal yang berdampak signifikan dan positif didalam trust diorganisasi.

· Didalam career advancement pegawai lebih mempertimbangkan pada promosi internal, kriteria objective promotional dan penyediaan career advancement di organisasi dan tendensi peningkatan trust di organisasi.

· Pegawai juga mengharapkan pada efektivitas program training formal dan kebijakan yang jelas pada program training sehingga meningkatkan trust di organisasi.

· Trust didalam organisasi ditemukan berhubungan signifikan dan mempengaruhi secara negatif turnover intentions.

· Subsekuensinya, trust di organisasi merupakan faktor kunci dalam mediasi antara trust di organisasi dengan persepsi dalam HRM.

· Trust di organisasi juga mediasi hubungan antara career advancement dan turnover intentions.

· Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa trust di organisasi merupakan mediasi penuh hubungan antara career advancement dan turnover intension. Hal tersebut merupakan implikasi bahwa career advancement merupakan pengaruh tidak langsung dan langsung dalam turnover intention. Pengaruh tidak langsung adalah melalui trust di organisasi.

· Penemuan ini menunjukkan bahwa level lebih tinggi dari trust di organisasi hanya mempunyai pengalaman ketika pegawai lebih tinggi levelnya didalam career advancement di organisasi dan didalam perubahannya.

· Trust merupakan variabel mediasi antara persepsi dari organizational justice dan turnover intentions. Dampak dari persepsi pegawai dari performance appraisal dan training and development dalam turnover intention tidak dimediasi oleh trust di organisasi.

· Kesenjangan yang signifikan dalam hubungan mediasi trust di organisasi antara performance appraisal, training and development dan turnover intentions dapat dijelaskan oleh kesenjangan hubungan interpersonal antara operasional pegawai dan top management dan responden-responden dalam organisasi berjangka pendek dimana pegawainya belum berpengalaman dan belum memperoleh training. Dalam hal ini training and development tidak signifikan mempengaruhi turnover intentions.

E. Implikasi

· Implikasi penelitian adalah bahwa HRM di organisasi merupakan sarana dalam mengelola kebutuhan job atau career development bagi pegawai agar bermanfaat melalui training dan evaluasi job performancenya.

· Keterbatasan penelitian adalah dalam hal:

1. Scope HRM sangat terbatas diteliti dalam penelitian ini dan belum meneliti tentang program orientasi, sistem kompensasi, job security, safety dan kesehatan serta sikap pegawai dalam relationshipnya.

2. Trust adalah dasar dalam social exchange (Blau, 1964) sehingga perlu diteliti lebih detail tentang kemungkinan bahwa HRM bisa menjadi incorporating.

· Riset mendatang diperlukan metode analitis untuk mengetahui hubungan reciprocal antar variabel tersebut menggunakan SEM (Structural Equation Model).

F. Kesimpulan

· Penelitian ini mempunyai tujuan untuk menginvestigasi pengaruh pengembangan manusia di HRM yaitu dalam trust di organisasi dan dalam turnover intentions.

· Juga menguji trust di organisasi sebagai faktor mediasi dalam hubungan antara persepsi HRM dan turnover intentions.

· Hasil penelitian menunjukkan pentingnya trust didalam organisasi, yang merupakan variabel intervening antara variabel prediksi dan turnover intentions.

  • Pegawai yang mempunyai trust lebih tinggi di organisasi akan lebih lama bekerja di organisasi sesuai harapan dan kebutuhan organisasi tersebut.

Selasa, 25 Mei 2010

Interrelating Leadership Behaviors, Organizational Socialization, and Organizational Culture

Interrelating Leadership Behaviors, Organizational Socialization, and Organizational Culture

by:

Robert J. Taormina


Direview Oleh:

Ruddy Tri Santoso

NIM: T4209012

Program Doktor Ilmu Ekonomi

Universitas Negeri Sebelas Maret

Surakarta

2010

A. Pendahuluan

Ø Teori tentang leadership, organizational culture dan organizational socialization dikembangkan secara independen.

Ø Teori leadership (Block, 2003) point-point-nya adalah hubungan antara leadership dan organizational culture secara sistematik terspesifikasi relationship-nya.

Ø Teori-teori dalam organizational culture merupakan kesenjangan tentang definisi ‘kultur’ (Schein,1984).

Ø Teori-teori tentang organizational socialization merupakan general agreement tentang domain insi (Taormina, 1997,2004) tetapi area isi dari organizational socialization bukan hal yang rigid dalam hubungannya dengan leadership dan organizational culture.

Ø Dengan authority posisinya, leader dapat mempertimbangkan freedom untuk memutuskan bagaimana menjalankan organisasi dan apa yang diharapkan dalam mempengaruhi kultur organisasi.

Ø Organizational socialization termasuk behaviors (oleh banyak anggota organisasi) yang memfasilitasi akulturasi pegawai.

Ø Sehingga beberapa aspek dari socialization (misal: enthusiasm, lack of, cooperation) dapat mempengaruhi kultur organisasi.

Ø Riset ini menanyakan bagaimana aturan spesifik kepemimpinan dan area-area dari organizational socialization yang berhubungan dan dapat untuk memprediksi aspek-aspek dari kultur organisasi.

Ø Pada riset ini terdiri dari tiga konstruk dan hubungan antar ketiganya diuji secara empiris.

1. Organizational Culture

§ Schein (1996) mengargumentasikan bahwa perhatian yang lebih akan membuat kultur. Kultur adalah sesuatu yang abstrak dan didefinisikan sebagai attitudes, values, belief dan behavior (Adler, et al.,1986).

§ Wallach (1983) melakukan assessment terhadap aspek-aspek organizational culture seperti: birokrasi, inovasi dan suportif yang mencerminkan attitudes, behavior dan values.

§ Birokrasi adalah pandangan struktur hirarkhi, prosedur dan peraturan-peraturan.

§ Inovasi adalah kreatif, enterprising, risk takin dan orientasi hasil.

§ Supportiveness adalah karakteristik equitable, sociable, trusting dan collaborative behaviors.

§ Menurut Wallach (1983) organizational culture tidak hanya terdiri dari satu tipe tetapi dari banyak hal dan variabel seperti komitmen (Lok dan Crawford,1999), job satisfaction (Silverthorne,2004) dan employee involvement (Shadur, et al.,1999).

§ Pada penelitian ini organizational culture dipakai sebagai dependent variabel; sedang pada penelitian-penelitian lain kultur dipakai sebagai independent variable.

2. Leadership Behaviors:

§ Leadership didekati dengan beberapa variabel yaitu individual traits, contextual perspectives dan kombinasinya.

§ Plato (1993) mengemukakan bahwa leadership adalah congenital trait yang kemudian dikembangkan melalui riset empiris saat ini.

§ Diantara pendekatan behavior terdapat dua faktor model ohio state (Stogdill dan Coons, 1957) yang diidentifikasi sebagai task oriented (initiating-structure) dan people oriented (consideration) leader behavior.

§ Komponen-komponen utama dalam managerial grid (Blake dan Mouton,1964) adalah contingency theory (Fiedler,1967) dan path-goal theory (House,1971). Model-model tersebut menggunakan single trait dan multiple dimension.

§ Quinn’s (1988) mengemukakan model eight-dimensional yang terdiri dari dua bipolar sumbu (sumbu internal-eksternal yang berupa orthogonal untuk mengontrol sumbu flexibilitas) intersection membuat 4 kuadran yang masing-masing terdiri 2 karakteristik leader behavior (atau aturan-aturan):






§ Behavior selalu konflik, leader harus menggunakan 8 behavior tersebut untuk mengelola kinerja behavior tersebut. Model ini bisa diterapkan melalui pendekatan empiris dan menggunakan uji personal characteristic untuk mempengaruhi leadership behavior (Shim, et al.,2002) dan dampak dari behavior dalam kinerja organisasi (Hart dan Quinn, 1993).

§ Leadership and Organizational Culture

- Riset terhadap leadership dan culture dilakukan melalui dua pengukuran yang berhubungan dengan innovative culture (Quinn’s, 1988) dan 8 organizational ‘clusters’ (Lamond, 2003), dimana 3 diantaranya mirip dengan cultural facets menurut Wallach’s (1983).

- Li (2004) melakukan kajian antara transactional dan transformational leadership style dan job outcomes (satisfaction dan performance) didalam birokrasi, inovasi dan supportive cultures.

- Cluster analysis dipergunakan untuk grup organisasi karena kultur (Wallach, 1983) yang terdiri dari 3 cultural facets. Hasilnya terdiri dari 2 kultur clusters yang berhubungan dengan leadership style dimana korelasinya signifikan, transformational leadership mempunyai korelasi lebih tinggi dengan birokrasi, inovasi dan supportive cultures.

- Transactional leader adalah task oriented dan transformational leader adalah relationship oriented (Bass dan Avolio, 1993).

- Studi lain yang dilakukan oleh Lok dan Crawford (1999, 2001, 2004) menggunakan dimensi kultur dari Wallach’s (1983); dimana birokrasi tidak berhubungan dalam leadership tapi secara positif berhubungan dengan initiating structure dimana antara innovative dan supportive cultures mempunyai positif korelasi.

- Dalam kajian berikutnya, structure-oriented leadership mempunyai korelasi signifikan dengan 3 kultur tersebut dan pertimbangannya adalah tidak berhubungan dengan kultur birokrasi, berhubungan lurus dengan inovatif dan pengaruh besar pada supportive culture.

- Studi selanjutnya, pertimbangannya adalah positif dan signifikan berhubungan dengan ketiga kultur tersebut, menunjukkan hubungan yang kuat dengan kultur supportif dan inovatif, dan lemah dengan kultur birokrasi. Initiating structur mempunyai hubungan positif kuat dengan kultur birokratik, tapi berhubungan negative dengan inovasi dan hubungan negatif yang kuat dengan supportive culture.

- Quinn’s (1988) yang mengemukakan leader behaviors dan Wallach’s (1983) yang mengemukakan cultural facets; sehingga Relationship yang diharapkan antara Quinn’s control (monitor, coordinator, producer dan director) vs flexible (innovator, facilitator, broker dan mentor) leadership behavior dan Wallach’s birokrasi, inovasi dan supportive facets dari organizational culture. Dinamakan:

a. Untuk menambah kultur birokrasi adalah highly regulatory:

H1 : Control leadership behaviors will be (a) more positively correlated with and (b) stronger predictors of bureaucratic culture than will flexible leadership behaviors

b. Untuk menambah innovative culture adalah more risk taking:

H2 : Flexible leadership behavior will be (a) more positively correlated with and (b) stronger predictors of innovative culture than will control leadership behaviors.

c. Untuk menambah supportive culture adalah characterized by sociability:

H3 : Flexible leadership behavior will be (a) more positively correlated with and (b) stronger predictor of supportive culture than will control leadership behaviors.

1. Organizational Socialization

§ Adalah proses dimana individu berapresiasi terhadap values, abilities, expected, behaviors dan social knowledge esensinya untuk asumsi peraturan organisasi dan berpartisipasi sebagai anggota organisasi (Louis, 1980, 229-230).

§ Kebanyakan riset fokus pada proses tetapi pada dekade terakhir Chao, et al., (1994) dan Taormina (1994) mengidentifikasi content areas socialization, yaitu:

a. Training

b. Understanding

c. Coworker support, dan

d. Future prospects

§ Training untuk meningkatkan keahlian, understand untuk operasional, coworker support untuk asses tambahan bagi pekerja dalam membantu pekerjaannya dan future prospects untuk appraisal reward dan opportunities didalam organisasi.

§ Empat area tersebut merupakan relationship antara leadership dan culture.

a. Organizational socialization and leadership

- Obyek utama dalam penelitian ini adalah assessment terhadap hubungan antara leadership behaviors dan organizational socialization.

- Quinn’s (1988) memandang bahwa employee development sebagai concern dari flexible leadership (misal: kuadran 4), dimana diprediksikan bahwa mentor dan fasilitator harus concern dengan employee training dan understanding.

- Van Maanen (1978) menekankan implikasi control lebih prevalent dan untuk mengevaluasi secara empiris terdapat dua alternatif hipotesis yaitu apabila leader lebih concern mengontrol employee behavior daripada fleksibel mengembangkan HR.

- Uji hipotesisnya adalah:

H4 : Control-focused leadership behaviors will be more positively correlated with the (a) training, (b) understanding, (c) coworker support and (d) future prospects socialization domains than will the flexibly-focused leadership behavior.

- Alternatif hipotesis lain adalah pentingnya flexible-leadership behaviors sebagai employee development:

H5 : Flexibly-focused leadership behaviors will be more positively correlated with the (a) training, (b) understanding, (c) coworker support, dan (d) future prospects socialization domains than will the control-focused leadership behavior.

b. Organizational Socialization and Culture:

- Riset organizational socialization and culture jarang yang membahas birokrasi, inovasi atau suportif organisasi kultur.

- Chatman (1989) mengemukakan bahwa socialization akan memberikan value kepada organisasi, demikian pula pendapat Wilson dan Elman (1990).

- Cable dan Parsons (2001) menemukan bahwa taktik socialization adalah signifikan dengan employee perceived fit dengan organisasi.

- Anakwe dan Greenhouse (1999) menemukan bahwa training berhubungan dengan knowledge dan acceptance kultur (r = 0,16, p < style="">‘co worker’ signifikan berhubungan dengan knowledge dari kultur (r = 0,25, p <>

- Hasilnya menyatakan bahwa beberapa hubungan harus eksis antara socialization content area dan organizational culture.

- Autry dan Daugherty (2003) menggunakan konsep dari Schein (1991) dan Taormina (1997) untuk mengukur person-organization fit dengan jawaban pegawai terhadap rata-rata perusahaan membayar reward dan sistem penggajian (misal: untuk prospek mendatang), dan coworker-nya dalam behavior seperti kerja-samanya (misal: coworker support). Hasilnya menunjukkan gabungan yang kuat antara job satisfaction dan cognitif fit dengan karakteristik perusahaan yang diimplikasikan paling tidak pada satu domain socialization (misal: prospek yang akan datang) yang dapat di link ke kultur organisasi.

- Studi di atas adalah assessment tentang organizational socialization dalam hubungannya dengan kultur tetapi tidak menguji empat socialization content area, atau studi didalam hubungannya dengan birokrasi, inovasi, dan supportive facets dari kultur organisasi; dimana hal-hal tersebut merupakan esensi dari banyak organisasi (Taormina,1997) tetapi bukan merupakan implikasi kultur secara aktual dalam domain praktisnya.

- Beberapa aspek dari kultur organisasi merupakan tekanan satu antar lain dalam domain sosial. Dengan demikian riset empiris untuk mengetahui hubungan antara socialization dan variabel-variabel kultur diuji melalui hipotesis sebagai berikut:

H6 : Bureaucratic culture will be (a) positively correlated with training, and (b) negatively correlated with future prospects.

- Kultur inovasi, berani mengambil risiko dan kesempatan menekankan kreativitas daripada training juga rewards (misal: bonus) dapat menawarkan ke pegawai ide bagus, sehingga uji hipotesisnya adalah:

H7 : Innovative culture will be (a) negatively correlated with training and (b) positively correlated with future prospects.

- Didalam kultur suportif, management dapat menawarkan training untuk mengembangkan pegawai sesuai kebutuhannya (ohio state model).

- Apabila organisasi menekankan pada pertimbangan manajemen, pegawai dapat mengikuti contoh yang ditawarkan oleh manajemen untuk suportif. Diharapkan bahwa:

H8 : Supportive culture will be positively correlated with (a) training and (b) cowoker support.

B. Metode

1. Partisipan:

§ Responden 166 orang (87 pria, 79 wanita) pekerja dewasa dari etnis Cina.

§ Usia 19 - 56 tahun (M = 34,61 ; SD = 10,10).

§ Pendidikan: 5,42% tidak pendidikan, primary school (11,46%), secondary school (28,31%), vocational college (21,08%), bachelor degree (27,71%) dan master degree atau diatasnya (6,02%).

§ Pengalaman sebagai pegawai 0,5 – 38 tahun (M = 13,14, SD = 9,51).

2. Pengukuran:

§ Kuesioner termasuk item-item dalam organizational culture, organizational socialization, leadership style dan demografi.

§ Skala kuesioner adalah sebagai berikut:

- Gender : 0 : Female

1 : Male

- Age, Education : 1 : Primary school

2 : Secondary school

3 : Vocational college

4 : Bachelor degree

5 : Master degree or above

- Pengalaman kerja pegawai

a. Organizational culture:

o Variabel diukur dengan kuesioner organizational culture sebanyak 24 item (Wallach’s,1983) untuk mengakses tiga cultural facet menggunakan 8 deskripsi adjective. Tiga cultural facet tersebut adalah: birokrasi, inovasi dan supportif, di setiap organisasi.

o Menggunakan skala 4 point (1: not at all – 4: exactly).

o Responden menjawab sesuai assessment perusahaan mereka.

o Sampel adjective termasuk ‘hirarkhi’ (birokrasi), Risk taking (untuk inovasi) dan encouraging (untuk supportive).

o Realibilitas tiga skala tersebut adalah 0,82 , 0,88 dan 0,79 (Akaah, 1993) dan pada penelitian ini adalah 0,85 , 0,83 dan 0,84

b. Leadership Behavior:

o Pengukuran dengan menggunakan Quinn’s (1988) melalui 32 item instrument competing values, dimana manager menjawab berapa banyak mereka menggunakan 8 leadership behavior, sebagai innovator (misal:’comes up with inventive ideas’), facilitator, broker dan mentor untuk flexible (F) behaviors dan sebagai monitor, coordinator, producer dan Director untuk control (a) behaviors.

o Skala didesign untuk self assessment bagi manager dengan point skala 7 (1 = very infrequently – 7 = very frequently) dan 6 step prosedur untuk standarisasi komputerisasi ‘competing values scores (Quinn,1988:130-133).

o Pada penelitian ini tidak dilakukan untuk self assessment tetapi digunakan teknik obyektif terhadap jawaban pegawai untuk mengevaluasi manager menggunakan 8 behaviors.

o 32 item version (4 item untuk masing-masing behavior) menggunakan skala Likert 5 point (1 = almost never – 5 = almost always). Reliabilitas original dari skala 8 antara 0,72 – 0,90 dan skala untuk penelitian ini adalah antara 0,75 – 0,87.

c. Organizational Socialization

o Pengukuran menggunakan 20 item Organizational Socialization Inventory (OSI, Taormina, 1994 diperbarui tahun 2004) dimana termasuk empat domain yaitu: training, understanding, coworker support dan future prospect (masing-masing 5 item).

o Menggunakan skala Likert (1 = strongly disagree – 7 = strongly agree), responden menjawab assesmen bagaimana item-item tersebut mendeskripsikan sosialisasi di perusahaannya.

o Sebagai contoh adalah ‘The training in this company has enable me to do my job very well (training)’. Reliabilitas originalnya (1994) OSI adalah 0,76 untuk training, 0,79 untuk understanding, 0,81 untuk coworker support, dan 0,76 untuk future prospect; hal ini direvisi (2004) skalanya adalah 0,76 , 0,78 dan 0,68 dan pada penelitian ini adalah 0,85 , 0,69 , 0,73 dan 0,70.

d. Language of the questionnaire

o Karena lokasi penelitian menggunakan bahasa induk Chinese maka versi bahasa Inggris diterjemahkan ke bahasa Cina dan kembali diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh professional, native-Chinese, bilingual translator. Penerjemahan kembali diuji oleh native English speaker dan ekuivalent dengan bahasa Inggrisnya lagi.

3. Prosedur

o Target responden didalam penelitian ini adalah level pekerja Chinese dewasa di organisasi lokal di International Port City Pantai Cina Selatan.

o Untuk meningkatkan probabilitas sampel responden dan tidak ada satu tipe organisasi yang mempengaruhi hasil, various large, medium, dan smal companies sebagai target random di banyak lokasi di perkotaan.

o Data dikumpulkan di organisasi pada saat pekerja sedang santai saat istirahat dan potential responden didekati menggunakan predeterminan random order.

o Semua jawaban diperlakukan confidential, dari 220 kuesioner, 175 dikembalikan (79,55%).

o Setelah dianalisis tinggal 166 yang layak diolah.

C. Hasil

1. Means dan Intercorrelations:

§ Means, SD dan intercorrelations untuk pengukuran semua variabel ditunjukkan pada Tabel 1.


§ Hasil t –test, mean pada control behaviors (M = 3,13, SD = 0,65) signifikan lebih tinggi dari untuk flexible behaviors (M = 2,83 , SD = 0,65) mengindikasikan semua kontrol tipe leadership, t(162) = 5,65 , p <>

§ Untuk menguji korelasi relatif spesifikasi di H (1a), H(2a) dan H(3a), skor dalam control leadership dan flexible leadership behavior di rata-rata dan korelasi dihitung dengan masing-masing variabel kultur organisasi.

§ Untuk membuat perbandingan, Hotelling/Willians menguji perbedaan antara dua dependent korelasi yang dipakai. Untuk kultur birokrasi, korelasi dengan control behaviors (r = 0,45) signifikan lebih tinggi daripada korelasi dengan flexible behavior (r = -0,02), t(163) = 6,98, p <>

§ Untuk innovative culture, korelasi dengan flexible behavior (r = 0,51) signifikan lebih tinggi daripada korelasi dengan control behavior (r = -0,11), t(163) = 10,28, p < style="">lending strong support untuk H(2a). Dengan supportive culture, korelasi dengan control behavior (r = 0,54) signifikan lebih tinggi daripada korelasi dengan flexible behaviors (r = 0,11), t(163) = 5,71 , p < style="">strongly refuting H(3a).

§ Untuk mengakses hubungan diantara socialization variabel dan control vs flexible leadership, Hotelling/William melakukan uji sekali lagi untuk training, korelasi dengan control behaviors (r = 0,57) signifikan lebih tinggi daripada flexible behaviors (r = 0,19), t(163) = 5,71, p <0,001, style="">supporting H(4a) dan opposing H(5a). Korelasi dengan control behaviors (r = 0,44) juga signifikan lebih tinggi daripada flexible behavior (r = 0,17), t(163) = 3,80, p < style="">supporting H(4b) dan refuting H(5b).

§ Coworker support berkorelasi dengan control leadership behavior (r = 0,30) signifikan lebih tinggi daripada dengan flexible leader behaviors (r = 0,09), t(163) = 2,66 , p < style="">, supporting H(4c) dan refuting H(5c).

§ Kontrasnya, future prospect korelasi dengan control behaviors (r = 0,08) signifikan lebih rendah daripada dengan flexible behaviors (r = 0,49), t(163) = 6,12 , p < style="">supporting H(5d).

§ Dalam hal organizational socialization dan culture, strong, signifikan, positif korelasi antara kultur birokrasi dan training (r = 0,29), yield powerful support untuk H(6a) , p < r =" -0,26)" style="">yield strong support untuk H(5b), p <>

§ Juga, signifikan korelasi negatif antara kultur inovasi dan training (r = -0,26) memberikan strong support ke H(7a), p < r =" 0,49)," style="">lent powerful support ke H(7b), p < style="">Strong, signifikan, korelasi positif yang mensupport kultur dengan training (r = 0,52) dan dengan coworker support (r = 0,32, strong support untuk H(8a) dan H(8b), keduanya ps <>

2. Test for Common-method bias and multikolinearity

§ Metode bias dianalisis untuk semua variabel menggunakan pendekatan maximum-likelihood dengan tekanan, solusi satu faktor (Harman, 1960).

§ Resultant Chi-Square value kemudian dibagi dengan df untuk model fit, ketika rasio <>

§ Pada penelitian ini rasionya 8,76 : 1, memperlihatkan tidak bias.

§ Multikolinieritas di asses dengan tolerance uji (1-R2) untuk masing-masing independent variabel dimana tolerance value < style="">problem (Hair, et al., 1998 : 191-199).

§ Menggunakan independent variabel untuk regresi maing-masing, semua tolerance value > 0,10 mengindikasikan tidak ada masalah didalam data.

3. Regresi

§ Yang harus diprediksi adalah leadership dan socialization variabel untuk memprediksi kultur organisasi. Regresi dilakukan untuk masing-masing kultur, dimana kontrol demografi merupakan efek terpisah dari semua leadership dan socialization variables.

§ Dalam regresi pertama, untuk kultur birokrasi, 55% variance dijelaskan oleh dua leader behaviors dan dua socialization variabel (tidak ada demografi dimasukkan dalam persamaan), F(4,151) = 47,76 , p <>

§ Didalam kondisi dari power, variance dijelaskan oleh banyak variabel diregresi sebagai ‘effectsize’, f2 (dimana f2 = R2 / [1 – R2]), dengan minimum cut off value 0,02 untuk efek yang kecil, 0,15 untuk efek menengah dan 0,35 untuk efek besar (Cohen, 1992). Koordinator, control behavior, mempunyai efek besar (f2 = 0,59) dan inovasi, flexible behavior (dimasukkan negatif) mempunyai efek menengah (f2 = 0,15). Hasilnya mendukung H(1b). Future prospects (dimasukkan negatif) dan coworker support keduanya mempunyai efek kecil (f2 = 0,03 dan 0,02).

§ Didalam regresi untuk innovative culture, 58% variance dijelaskan oleh dua leadership behavior dan 3 variabel socialization (demografi tidak dimasukkan dalam persamaan), F(5,150) = 42,84 , p <>

§ Flexible innovator behavior mempunyai efek besar (f2 = 0,05). Hasilnya mendukung H(2b), socialization variable future prospects, coworker support, dan training (dimasukkan negatif) semua mempunyai dampak kecil (f2 = 0,03 , 0,02 dan 0,02).

§ Diregresi untuk supportive culture, 53% variance dijelaskan oleh tiga leadership behaviors dan tiga socialization variables (tidak ada demografi dimasukkan dalam persamaan), F(6,149) = 30,55 , p <>

§ Producer, control behavior mempunyai efek besar (f2 = 0,41) dimana flexible mentor dan inovator (dimasukkan negatif) keduanya mempunyai efek kecil (f2 = 0,08 dan 0,05). Hasil ini tidak mendukung H(3b).

§ Juga coworker support, training dan future prospect (dimana dimasukkan negatif) mempunyai efek kecil (f2 = 0,05 , 0,04 dan 0,02). Hasil dari tiga regresi untuk kultur dapat dilihat pada table II.


§ Domain socialization diregresi, kedalam leadership behavior (sesudah pengaruh demografi dan kultur dihilangkan). Didalam regresi untuk training, total 34% dari variance dijelaskan dengan 4 leadership behavior, F(4,152) = 24,63 , p < style="">control leadership behavior, misal: monitor dan prosedur, bersama-sama memiliki yield efek besar (f2 = 0,37), dimana dua flexible leader behavior dinamakan mentor dan inovator dimana dimasukkan negatif bersama-sama yieldnya berefek kecil (f2 = 0,08).

§ Total 18% dari variance dijelaskan oleh dua variabel. F(2,154) = 18,19 , p < style="">leadership behavior, dinamakan, director, dengan efek medium (f2 = 0,16) dan koordinator dengan efek kecil (f2 = 0,04).

§ Untuk coworker support, total 9% variance dijelaskan dengan 2 control behavior, F(2,154) = 8,41, p < style="">director dan coordinator dimana keduanya mempunyai efek kecil (f2 = 0,06 dan 0,03).

§ Untuk future prospect, 31% variance dijelaskan oleh tiga variabel, F(3,152) = 23,74 , p < style="">flexible leader behaviors dengan inovator.

D. Diskusi

Ø Hasil pertama penelitian adalah terdapat signifikansi tinggi antara skor mean untuk flexible dan control leadership behavior dengan mean untuk flexible behavior signifikan lebih rendah.

Ø Hal ini menyatakan secara kuat bahwa employees perceived manager mereka untuk lebih berorientasi pada kontrol ketika terjadi kesenjangan didalam fleksibilitas.


1. Leadership and Organizational Culture

§ Hasil dari leadership dan culture diketemukan korelasi didalam revealing pattern/modelnya.

§ Untuk kultur birokrasi, 4 kontrol berorientasi kepada leader behavior yang signifikan berkorelasi positif, dimana hanya satu flexible behavior signifikan dan negatif. Regresinya konsisten dengan penemuan. Hasil ini mendukung kuat ide kultur birokrasi yang dikarakteristikkan oleh leader yang menggunakan manfaat control daripada flexible behaviors.

§ Untuk kultur inovasi, hasilnya hampir menyerupai, semua flexible behavior signifikan, korelasi positif dimana tidak ada control behavior mengalami signifikansinya. Regresinya merefleksi modelnya, mendukung kuat ide bahwa leadership behavior tendensi untuk lebih flexible dan mengurangi orientasi control di kultur inovasi. Mereka juga mengindikasikan bahwa birokrasi dan kultur inovasi adalah konseptual antithetical.

§ Hasil dari birokrasi dan inovasi kultur mendukung modal Quinn’s (1988). Dengan demikian untuk kultur supportive, hasilnya berbeda dari teori, dengan korelasi untuk control behavior signifikan lebih tinggi daripada untuk flexible behavior. Hasil-hasil ini tidak sama dengan ide bahwa supportive-style leadership adalah lebih flexible daripada control-oriented leadership.

§ Regresi untuk supportive culture juga tidak mendukung ide bahwa supportive leadership adalah flexible, sebagai variabel yang mempunyai efek paling besar adalah control-oriented producer, dimana adalah tidak konsisten dengan Human Relations Model (pengembangan HR) dan lebih serasi dengan Rational Goal Model (maksimisasi outputs).

§ Kemungkinan penjelasan dari hal bahwa organisasi dengan supportive culture bisa balance effort mereka di HRD dengan memberikan tekanan lebih pada produksi untuk lebih kompetitif.

2. Organizational Socializtion and Leadership

§ Untuk perbandingan antara leader behavior dan domain socialization content, 7-8 leader behavior mempunyai kekuatan, signifikan korelasi positif dengan training, menunjukkan bahwa semua leader behavior (except the innovator) concern dengan training.

§ Hasil ini dapat berarti bahwa inovator fokus lebih untuk menarik orang berkreativitas dan tidak memerlukan lebih banyak training di perusahaan.

§ Klarifikasi regresi menunjukkan bahwa control-oriented monitor mempunyai efek paling besar dimana logika ilmu yang memonitor aturan adalah harus hati-hati pada sebuah pekerjaan internal organisasi dan membutuhkan banyak training.

§ Semua leadership behavior (kecuali inovator) mempunyai yield korelasi signifikan, seperti training, 4 control oriented leader behaviors semua signifikan tinggi dan besar. Didalam pengertian regresi, hanya 2 leader behaviors yang dimasukkan, misal: director dan coordinator dan keduanya adalah control-oriented.

§ Kemungkinan penjelasan bahwa kedua aturan leader membutuhkan pengertian pegawai dalam memecahkan masalah dan maintain alur kerja. Hasil ini tidak mendukung bagian human relations dari Quinn’s (1988) model karena aturan leader adalah pada control-oriented.

§ Hasil untuk coworker suport sama dengan pengertian tersebut, bahwa control-oriented leader behavior semua signifikan, korelasi positif, dimana tidak ada flexible behavior signifikan. Regresi tidak ada yield yang tinggi untuk menjelaskan varians-nya.

§ Dua faktor yang dapat dijelaskan pada penemuan ini adalah: Pertama, coworker support me-refer ke bantuan yang disediakan oleh pekerja-pekerja lain daripada oleh manajemen, dimana dapat menjelaskan keseluruhan efek rendah untuk leader behaviors.

§ Berikutnya, korelasi tinggi untuk control behavior boleh jadi merefleksikan pengaruh sosial, misal: organisasi Chinese fokusnya adalah pada kontrol. Redding (1993) mengidentifikasi underlying faktor-faktor cultural yang berhubungan dengan preference dalam kontrol di organisasi Chinese, dimana penulis-penulis lain mengidentifikasi Chinese leaders melalui kontrol reward (Aryee dan Chen, 2006), sumber kontrol perbedaan yang dipakai pada management Chinese (Efferin dan Hopper,2007), seperti dalam Chinese society (Xu, 1994). Didalam penjelasan lain dari dua kemungkinan tersebut, hasilnya tidak konsisten dengan bagian human relations dari model Quinn’s (1988), sejak tidak flexiblenya leader behaviors yang diasosiasikan dengan coworker support.

§ Untuk prospek mendatang, modelnya bertolak belakang dengan coworker support. Semua korelasi dengan fleksibilitas leader behavior bersignifikansi tinggi dan positif, dimana tidak ada orientasi pada control oriented behavior yang signifikan. Regresi untuk mengetahui tiga leaders behavior didalam persamaan; dua adalah fleksibel dan satu (dimasukkan negatif) adalah control behavior. Yield inovator berefek paling besar, hasilnya menyatakan bahwa pegawai melihat innovative behaviors oleh leader adalah kuat asosiasinya dengan kemungkinan promosi dan reward. Hasilnya menunjukkan konsisten dengan model Quinn’s (1988) karena leader membutuhkan fleksibilitas (dan inovasi) ketika menawarkan rewards dan promosi.

3. Organizational Socialization and Organizational Culture

§ Kultur birokrasi memiliki korelasi signifikan sangat tinggi dengan semua 4 domain socialization; anomali hanya terjadi pada korelasi negatif untuk prospek mendatang.

§ Didalam regresi, training dan pengertian tidak dimasukkan, dimana coworker support dimasukkan positif dan prospek mendatang negatif. Hasilnya menunjukkan bahwa pegawai tendensi kepada perceive coworker sebagai sesuatu yang membantu kultur birokratik, tetapi juga kesempatan yang diperlihatkan. Didalam bentuknya, pegawai didalam kultur dapat terisolasi karena mencoba melakukan dukungan interpersonal. Persepsi bahwa bonus dan reward adalah kesenjangan merefleksikan kondisi asli pekerjaan dari karakteristik birokrasi.

§ Kultur inovatif mempunyai model berlawanan. Variabel socialization dengan korelasi signifikan adalah training (negatif kuat) dan future prospect (positif kuat). Konfirmasi regresi hubungan ini dan dukungan penemuan innovative leadership dan training, misal: innovative leader prefer merekrut pekerja yang sudah mempunyai skill daripada membuang waktu dan effort melatih pekerja baru. Kekuatan efek untuk future prospek dapat berarti bahwa reward adalah aspek utama dari kultur inovatif, dimana kreasi dari produk yang sukses dapat menambah yield reward financial pada pegawai.

§ Hubungan antara supportive culture dan socialization merupakan model yang similar dengan kultur birokrasi. Training, understanding dan coworker support semua signifikan tinggi, korelasi positif, dimana future prospect tidak signifikan. Regresinya mengindikasikan bahwa training dan coworker support adalah perceived generally available, tetapi kesempatan untuk advancement adalah kurang. Hal ini boleh jadi mengindikasikan bahwa perbedaan gaji dan promosi didalam kultur dimana persamaannya adalah merupakan value yang bukan merupakan kompetisi dalam gender (untuk reward-reward tersebut) dimana merupakan antithetical pada karakteristik kultur supportif.

E. Kesimpulan dan Implikasi

Ø Penelitian ini mengkonfirmasi bahwa leadership behavior dan domain-domain dari organizational socialization adalah berhubungan dan merupakan prediksi dari kultur organisasi; juga menemukan implikasi antara manajemen dan riset.

Ø Secara keseluruhan, melalui organisasi, perceived pegawai kepada pemimpinnya adalah lebih pada orientasi kontrol, manager bisa jadi membutuhkan leader behavior yang lebih fleksible. Hal ini terutama untuk birokrasi dan supportive cultures. Untuk kultur birokrasi, hasilnya menunjukkan kebutuhan untuk lebih memperoleh kesempatan untuk advancement. Untuk supportive culture, efek kuat bagi control-oriented behavior adalah tidak konsisten dengan kebutuhan riset untuk mengetahui tentang pengertian supportive culture.

Ø Relative absence dari control behaviors dikultur inovasi menyarankan bahwa leader dikultur tersebut boleh jadi membutuhkan lebih banyak perhatian kepada control. Misalnya: training, dimana sangat kuat berhubungan dengan semua control behaviors, perceived sebagai catatan absent dari kultur inovasi. Kelemahan dari training didalam innovative culture bisa berarti bahwa pemimpin inovatif dapat melihat pengembangan jangka panjang dari human resource.

Ø Untuk organizational socialization, training mempunyai relasi positif yang kuat ke arah tujuh atau delapan aturan, dan model yang similar untuk pengertiannya, indikasi bahwa innovator tidak melihat sebagai bantuan bagi pegawai bagaimana organisasi mereka bekerja. Coworker support tidak berhubungan ke flexible leadership, tetapi positif dan signifikan berhubungan ke flexible leadership. Didalam teori, socialization sangat penting kepada efektivitas organisasi, dan dengan demikian semua domain socialization harus positif di setiap kultur. Kesenjangan hubungan signifikan di masing-masing kasus bukan merupakan resep teoritis. Ketiadaan dari hubungan kuat lebih berimplikasi didalam praktek, organisasi-organisasi terbatas bisa jatuh karena emphazise terhadap beberapa domain critical socialization.

Ø Akhirnya, initial investigasi kedalam leadership behavior, organizational socialization dan kultur organisasi adalah berhubungan. Terdapat predominansi kontrol flexible leadership behaviors untuk semua tipe kultur organisasi, hasilnya kontradiktif dengan kebanyakan teori organisasi.

F. Riset Mendatang

Ø Perlu dilakukan riset empiris dengan sampel lain di tempat/negara lain pula.