Senin, 24 Mei 2010

Managerial Leadership: A Review of Theory and Research

Managerial Leadership: A Review of Theory and Research

by:

Gary Yukl




Direview Oleh:

Ruddy Tri Santoso

NIM: T4209012

Program Doktor Ilmu Ekonomi

Universitas Negeri Sebelas Maret

Surakarta

2010

A. Pendahuluan

· Studi leadership merupakan literatur yang penting dalam management dan organization behavior.

· Literatur-literatur yang pokok antara lain dari: House dan Baets (1979), Jago (1982) dan Van Fleet dan Yukl (1986); The Handbook of Leadership by Bass (1981) dan lain-lain.

· Definisi leadership tergantung dari situasi individual traits, leader behavior, interaksi, hubungan relasi, persepsi, pengaruh, tanggung jawab dan kultur organisasi.

· Definisi teoritis leadership adalah ‘an aexercise of influence resulting in enthusiastic commitment by followers, as apposed to indifferent compliance or reluctant obedience’.

· Perbedaan mendasar antara leadership dan manajemen adalah:

1. Leadership bersifat memimpin, mempengaruhi dan mempunyai komitmen, sedangkan

2. Manajemen lebih kearah tanggung jawab dan melakukan yang benar.

· Menurut Bennis and Nanus (1985:21) ‘managers are people who do things right and leaders are people who do the right things’.

· Zaleznik (1977) propose manager concern about how things get done and leaders are concerned with what things mean to people.

· Esensi leader adalah influence commitment and manager adalah responsibilities and exercise authority.

B. Studi Literatur

1. Pendekatan Major

a. Power influence Approach:

ü Menjelaskan tentang efektivitas leadership dengan kondisi power dari leader dan bagaimana power itu dilaksanakan (Mintzberg, 1983).

ü Power adalah potential influence dan realized influence, contoh: control over information adalah sumber position power; expertise adalah sumber personal power.

ü Tipologi power dikemukakan oleh French dan Raven (1959) yang mengembangkan isu-isu pengukuran pengaruh potensial, atribut agen, sumber daya dan kredibilitas seperti reward, coercive, expert, legitimate dan referent power.

ü Social Exchange Theory (Hollander, 1978) mendeskripsikan proses loyalitas dan kompetensi dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Implementasi strategi inovatif dengan atribut karisma merupakan risiko kehilangan sifat personal (Conger dan Kanungu, 1988).

ü Dalam teori kontingensi strategic (Brass, et al., 1984, 1985) dikemukakan, karakteristik personal dan kombinasi posisi sebagai kekuatan relatif.

ü Efective leaders lebih merupakan personal power daripada position power. Implikasi dari position power tidak efektif.

ü Riset menunjukkan bahwa positive reward behavior dan penggunaan punishment, keduanya dapat mempengaruhi behavior subordinate dalam beberapa situasi (Arvey dan Ivancevich, et al.,1980).

ü Legitimate power merupakan sumber utama untuk mempengaruhi sehari-hari dalam rutinitas manager di organisasi formal (Katz dan Kahn, et al.,1978).

ü Effective leaders harus mengkombinasikan sumber-sumber power (Kotter, et al.,1985).

ü Mereka mengembangkannya sebagai referensi dan keahlian untuk menambah position power dan digunakan untuk membuat permintaan non-rutin dan komitmen motivasi tanggung jawab yang mempersyaratkan tugas non rutin dan komitmen motivasi dengan persyaratan high effort, inisiatif dan persitensi.

ü Effective leader dengan power mempunyai determinan enthusiastic commitment, passive compliance atau stubborn resistance. Effective leader dengan position power dan personal power atau didalam subtle menghindari ancaman dari subordinate. Kontrasnya, leader dengan power arrogant, manipulatif, dominan merupakan pemimpin yang resisten (McCall, et al., 1978)

ü Untuk menjembatani power dan pendekatan perilaku dilakukan riset taktik mempengaruhi oleh manager meliputi rational persuasion, exchange of benefit, pressure tactics, ingratiation, appeal to authority, consultation dan inspirational appeals (Kipnis, et al., 1980).

ü Besarnya position power untuk efektivitas leadership tergantung pada kondisi nature organisasi, tanggung jawab dan subordinate. McClelland (1975) mengemukakan bahwa power yang besar dapat mengkorupsi kepemimpinan.

ü Kipnis (1972) menemukan bahwa pemimpin dengan power reward besar dapat mempengaruhi subordinatnya termasuk menilai dan maintain jarak sosial serta atribut-atributnya termasuk memotivasinya.

b. Behavior Approach

ü Behavior Approach meliputi bagaimana leader dan manager melaksanakan tugasnya dan hubungan antara behavior dengan manager efektif.

ü Mintzberg, et al (1973) aktivitas managerial merefleksikan dilema dari para manager, informasi relevan ada di masing-masing orang didalam organisasi.

ü Riset deskriptif menunjukkan pekerjaan managerial adalah inherendy hectic, varied, fragmented, reactive dan disorderly. Banyak aktivitas meliputi interaksi oral yang menyediakan kesempatan untuk mengupdate informasi, discover problem dan mempengaruhi orang untuk mengimplementasikan perencanaan. Interaksi antara orang dengan subordinatnya, seperti peers-nya, superior dan outsider.

ü Proses pengambilan keputusan merupakan nature ‘managerial work’. Riset diskriptif yang menunjukkan ‘managerial work’ antara lain inherently hectic, varied, fragmented, reactive dan disorderly.

ü Banyak aktivitas yang meliputi interaksi briefing oral merupakan hal yang relevan untuk update informasi, menyelesaikan masalah dan mempengaruhi orang untuk rencana implementasi. Banyak interaksi menyangkut manusia dengan subordinatnya, seperti lateral peers-nya, superior dan outsiders.

ü Riset deskriptif pada pembuatan keputusan managerial dan pemecahan masalah memberikan kondisi internal tambahan dalam nature of managerial work (Cohen et al., 1986). Proses pengambilan keputusan adalah keputusan politik tingkat tinggi dan merupakan rencana informal dan adaptasi untuk mengubah kondisi. Manager efektif mengembangkan agenda mental dari tujuan jangka pendek dan panjang serta strategis (Kotter, 1982).

ü Riset didalam aktivitas managerial berisikan aturan-aturan manager, fungsi dan practices. Pertanyaannya adalah bagaimana mengklasifikasikan behavior dalam teori efektivitas managerial. Semua perilaku relevan dengan efektivitas leadership tetapi relatif penting dalam cross situation.

ü Efektivitas leadership berhubungan erat dengan managerial behavior yang meliputi konsep leadership behavior yaitu didalam kondisi task-oriented behavior dan relationship oriented behavior (Fleishmen, et al., 1953). Riset menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara consideration dan subordinate satisfaction.

ü Participative leadership merupakan aspek lain dari behavior (Cotton, et al., 1988), participation dan empowerment merupakan bagian menyeluruh dari leadership style yang menemukan karakteristik manager efektif dalam riset tersebut.

ü Studi lain adalah dalam mengklarifikasi aturan-aturan dan tujuan yang merupakan komponen initiating structure dalam managerial effectiveness.

ü Deskriptif riset lain dalam kriteria independen managerial adalah hubungan antara planning dan managerial effectiveness yang secara informal dan fleksibel mempunyai nilai lebih dari formalitas dan rigid-nya (Carrol, et al., 1987). Motivating behavior (misal: emphasizing pentingnya pekerjaan, inspiring enthusiasm, role modeling) berhubungan dengan efektivitas leadership.

c. Trait Approach

ü Trait Approach emphasizes atribut-atribut personal dari leader, seperti energi, intuisi penetrasi, uncanny foregisht dan irresistible persuasive powers.

ü Fokus dalam trait approach adalah dalam managerial motivation dan specific skills. Managerial effectiveness or advancement termasuk high self confidence, energy, inisiatif, emotional maturity, stress tolerance dan belief didalam internal locus of controls.

ü Skills yang berhubungan dengan leader effectiveness adalah technical skills, conceptual skills dan interpersonal skills yang merupakan aturan-aturan dalam leadership (Bass, et al., 1981). Beberapa specific skills seperti analytical ability, persuasiveness, speaking ability, memory for details, empathy, tact dan charm dipergunakan didalam segala posisi leadership.

ü Balance means dalam moderate amount dari beberapa trait seperti need for achievement, need for affiliation, self confidence, risk taling, initiative, decisireness dan assertiveness, diluar itu merupakan hal yang nominal paling rendah dan paling tinggi dari trait.

ü Perbedaan leader didalam tim management yang merupakan atribut komplement berupa kompensasi untuk masing-masing akan menimbulkan weakness atau strenghts (Bradford, et al., 1984).

d. Situational Approach

ü Situational Approach meliputi pentingnya faktor kontekstual seperti authority dan dicretion dalam kepemimpinan, nature kinerja keuangan, atribut-atribut dari subordinate dan nature dari kondisi eksternal lingkungan.

ü Pertanyaan sesungguhnya adalah bagaimana situasi mempengaruhi behavior dan bagaimana variasi behavior yang berbeda mempengaruhi tipe-tipe posisi managerial.

ü Role Theory (Kahn, et al.,1964) mendeskripsikan bagaimana situasi mempengaruhi managerial behavior. Ekpektasi aturan/role dari superior, peers, subordinate dan outsider adalah pengaruh utama dalam leader’s behavior.

ü Leader beradaptasi dengan behavior mereka untuk memenuhi persyaratan aturan, konstrain dan kebutuhan dari situasi leadership.

ü Stewart’s (1976, 1982) mengemukakan Demands-Constraits-Choices Theory tentang model dari interaksi dan bagaimana waktu diluangkan dengan subordinate, peers, superior dan outsider tergantung dari mature of the work dan ketika dirinya reactive, repetitive atau variabel, uncertain atau predictable, fragmented or sustained, hurried or unhurried.

ü Teori lain yaitu Multiple Influence Model (Hunt, et al.,1982) yang meneliti pengaruh dalam level makro determinan situasional seperti authority didalam organisasi, size of work unit, function of work unit, teknologi, sentralisasi authority, lateral independence dan tekanan didalam lingkungan eksternal.

ü Leader behavior sangat kuat dipengaruhi oleh situasi seperti riset yang dilakukan Fry, et al.,(1988).

ü Aspek-aspek saja dalam tugas manager untuk mengalokasikan waktu dan dengan siapa berinteraksi (Kotter, 1982). Efektivitas managerial tergantung pada bagaimana manager mengerti tentang permintaan dan konstrain-konstrain, tujuan dari permintaan, konstrain-konstrain yang datang dan kesempatan yang diakui.

ü Atribution Theory menggunakan proses kognitif untuk menjelaskan bagaimana leader menginterpretasikan informasi kinerja terutama pada kinerja substandarnya.

ü Green dan Mitchel (1979) mendeskripsikan reaksi manager pada kinerja jelek karena subordinate dalam proses dua tahap termasuk atribut sebab akibat dan seleksi respon. Kinerja jelek bisa karena kondisi internal subordinate (misal: lack of effort, ability) atau karena kondisi eksternal karena kontrol terhadap subordinatnya (misal: obstacles dan constrans, inadequate sumber daya atau support, insufficient informasi, bad luck dan lain-lain).

ü Untuk atribut internal dari insufficient ability harus dilakukan monitor lebih lanjut ke subordinate, melakukan setting lebih mudah ke tujuan dan deadlines, atau menggeser subordinate ke tanggung jawab kecil, insentif, warning, reprimand dan punishment (Janes, et al.,1983).

ü Teori situasional diasumsikan pada model behavior yang berbeda (atau model trait-nya) dan akan efektif disituasi berbeda.

2. Situational Theoris of Leader Effectiveness

a. Path Goal Theory

ü Path Goal Theory (Evans, et al.,1970) menyatakan bahwa pemimpin memotivasi kinerja yang lebih baik dengan mempengaruhi subordinatnya melalui effort untuk menghasilkan outcome yang mempunyai nilai-nilai.

ü Teori ini memfokuskan motivasi kepada para subordinatnya sebagai efek dari kepemimpinan, hanya saja teori ini mengabaikan proses dari pengaruh pemimpin terhadap tanggung jawab organisasi, tingkat sumber daya dan tingkat keahlian (Yukl, 1981).

ü Pada tahun 1974, House dan Mitchell mengemukakan improvement dalam leadership yaitu dengan mengganti instrument leadership dengan tanggung jawab terdekat yang berorientasi pada behavior seperti: aturan clarifying, setting specific objectives, giving contingent reward, planning the work, problem solving dan monitoring.

b. Situational Leadership Theory

ü Hersey dan Blanchar’d (1969;1988) mengemukakan teori situasional leadership yang menyatakan bahwa nilai optimal tanggung jawab dan perilaku subordinate tergantung pada maturity-nya.

ü Perilaku tergantung dari confidence dan keahlian dalam tanggung jawab pekerjaannya.

ü Kelemahan teori ini adalah pada konstruk ambisi, terlalu simple dan lack dari proses penjelasan niat/intervening (Blake,et al.,1982)

c. Leader Subtitutes Theory

ü Kerr dan Jermier (1978) mengemukakan instrumen kepemimpinan berdasarkan hierarchical leaders didalam beberapa situasi variasi karakteristik dari subordinate, tanggung jawab dan organisasi serve sebagai pengganti hierarchi leadership atau penetralisir efek-efeknya.

ü Model ini mempunyai banyak keterbatasan (Yukl, 1989). Theori ini jatuh dalam memerinci secara rasional masing-masing subtitusi dan penetralisir melalui penjelasan dari underlying penyebab relationship-nya.

ü Keterbatasan lain adalah dalam kondisi situasional (Howell,et al.,1986) yang menyarankan adanya perspektif alternatif lain dalam determinan situasional dari efektivitas kepemimpinan

d. Normative Decision Theory

ü Vroom dan Yefton (1973) mengemukakan teori normative decision untuk menghasilkan pengambilan keputusan yang efektif.

ü Keterbatasan teori ini direview oleh Crooch, et al.,(1987) yang menyatakan bahwa teori ini terjadi dalam situasi kondisi paling bagus dan terlalu simple dalam pengambilan keputusan, lach of parsimony dan asumsi implisit bahwa manager mempunyai keahlian dalam menggunakan masing-masing prosedur pengambilan keputusan.

ü Revisi yang kemudian dilakukan dalam model ini menyatakan tentang manager ’what not to do’ tetapi tidak mengindikasikan prosedur pengambilan keputusan yang optimal.

ü Revisi ini membolehkan manager untuk mendeterminasi prioritas relative dari criteria yang berbeda dan mengurangi feasibitas dari prosedur tunggal yang paling baik dalam prioritasnya.

ü Vroom dan Jago (1988) kemudian melaporkan bahwa lebih efektif dalam melakukan initial test dalam model tersebut.

e. LPC (Leader Trait) Contingency Theory:

ü Fiedler’s (1967,1978) mengemukakan Contingency Theory dengan pengaruh moderasi dari position power, task structure dan leader- member relation dalam hubungan antara LPC (leader trait) dan efektivitas kepemimpinan.

ü Model menspesifikasi bahwa LPC yang tinggi adalah lebih efektif dalam beberapa situasi dan LPC yang rendah akan lebih efektif dalam situasi lain.

ü Interpretasi skor LPC merupakan indikasi motif hirarkhi kepemimpinan dengan kebutuhan afiliasi pada LPC tinggi dan kebutuhan task-achivement pada LPC rendah.

ü Model ini mempunyai konsep defisiensi dan terbatas pada penggunaan untuk menjelaskan kepemimpinan efektif, yang difokuskan lebih dekat kepada single leader trait, ambisius terhadap pengukuran skala LPC, absen dari proses penjelasan dan kegagalan dalam LPC medium (Vecchio, 1983).

f. LMX Theory (Leader Member Exchange Theory)

ü Mendeskripsikan bagaimana kepemimpinan mengembangkan perbedaan exchange relationship dari waktu ke waktu dengan subordinate yang berbeda (Danser eau, et al.,1975)

ü Beberapa subordinat diberikan pengaruh lebih besar, otonomi dan benefit tangible dalam return didalam loyalitas yang lebih besar, komitmen dan bantuan dalam kinerja administratif.

ü Teori situasional tersebut tergantung pada bagian dari grup didalam atau grup diluar.

ü Pemimpin yang memiliki favorable exchange relationship dengan atasannya memiliki potensial lebih untuk establishing a special exchange relationship dengan subordinatnya (Cashman, et al.,1978).

ü Pada saat ini teori LMX lebih deskriptif daripada prescriptive dengan mendeskripsikan proses tipikal dari aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpin tetapi tidak menspesifikasikan model optimal dalam efektivitas kepemimpinan.

ü Yang dimaksud dengan in-group adalah identifikasi diantara subordinat, pengembangan relationship dari mutual trust, supportiveness, respect dan loyalty.

ü Kelemahan dari teori LMX adalah dalam pengukuran kualitas relationship, pengukuran spesific perilaku pemimpin dan pengukuran dari outcomes.

g. Cognitive Resources Theory

ü Didasarkan pada sumber daya pemimpin, misal: intelligence dan keahlian teknis yang berhubungan dengan kinerja grup (Fiedler,1986).

ü Variabel situasional meliputi interpersonal stress, group support dan task complexity determine dimana intelligence pemimpin dan pengalamannya akan membangun kinerja grup.

ü Menurut teori intelligence pemimpin berhubungan dengan kinerja ketika stress rendah, karena stress tinggi tidak menginginkan penggunaan intelligence dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.

ü Metodologi yang dipergunakan dalam Cognitive Resources Theory adalah pengukuran reliance on surrogate dari pengalaman (misal: waktu penugasan) yang dapat membuat kontaminasi dalam variabel-variabel extra-nya dan kegagalan untuk mengukur proses intervening seperti proses pengambilan keputusan dan kualitas keputusan.

ü Teori mempunyai kelemahan konseptual dalam efektivitas managerial seperti analytical ability, planning skills, inductive dan deductive reason dan creativitas dalam solusi generalnya serta tidak lengkap dalam proses interveningnya.

h. Multiple Linkage Model

ü Multiple Linkage Model (Yukl, 1981, 1989) mengembangkan teori lanjutan dan riset dalam perilaku efektivitas managerial dalam situasi yang berbeda.

ü Dalam model ini kinerja tergantung dari enam variabel interveningnya yaitu: member effort, member ability, organization of the work, teamwork dan cooperation, availability of essential resources dan externall coordination (khusus untuk manager level rendah dan menengah).

ü Kelemahan konseptual dari model adalah adanya lach dari proposisi spesifik tentang perilaku pemimpin dalam mempengaruhi variabel intervening dalam situasi berbeda.

i. Leader – Environment – Follower – Interactional Theory

ü Wofford (1982) mengemukakan teori situasional yang mirip dengan versi Multiple Linkage Model.

ü Kinerja subordinat tergantung dari empat variabel intervening, yaitu: ability to do the work, task motivation, clear and appropriate role perceptions and the presence or absence of environmental constraint.

ü Leader dapat mempengaruhi kinerja subordinate melalui pengaruh dari variabel-variabel interfening.

ü Untuk itu perlu dilakukan diagnostic perilaku didalam variabel-variabel intervening dn koreksi perilaku untuk melakukan deal dengan defisiensi yang diketemukan.

ü Effective leaders menghindari defisiensi didalam subordinat ability dengan menggunakan improvisasi seleksi prosedur, meningkatkan training, atau redisain tugas untuk tugas untuk menyamakan keahlian subordinat.

ü Untuk melakukan achievement optimal dari motivasi subordinate, effective leader menseleksi subordinat dengan kebutuhan tinggi untuk achievement, spesifikasi tujuan yang diharapkan dan mengharapkan feedback serta masukan.

ü Leader juga bisa menggunakan insentif, partisipasi, kompetisi, job redesign atau komunikasi dengan pengharapan tinggi untuk meningkatkan motivasi.

ü Untuk achievement akurasi peraturan dan klarifikasinya, effective leader menggunakan instruksi, guidance, feedback, goal setting, fermalization atau job redesign.

ü Sedangkan dengan kendala-kendala lingkungan, pemimpin yang efektif me-reorganisasi pekerjaan, midifikasi teknologi, sumber daya dan menjauhkan kendala-kendala fisik.

ü Leader behavior dipengaruhi oleh penggantian leader traits, variabel situasional, feedback dan outcomes.

ü Pada Multiple Linkage Model, variabel situasional mempengaruhi secara langsung variabel intervening dan juga membawa efek moderasi dari perilaku leader dalam variabel intervening.

ü Pada teori LEFI tidak membuat dengan eksplisit antara aksi jangka pendek untuk mengoreksi deficiency dengan variabel intervening dan aksi jangka panjang untuk improvement situasi.

ü Kompleksitas dari Teori LEFI membuat sulit untuk menguji bagian-bagian yang kecil pada suatu waktu. Wofford dan Srinivasan (1983) melaporkan hasil suportif dari beberapa hipotesis eksperimen laboratorium dimana leader behavior dimanipulasi.

3. Transformational and Charismatic Leadership

· Pada tahun 1980, dikembangkan Charismatic Leadership dan transformational leadership serta revitalisasi organisasi. Hal tersebut disebabkan karena di USA banyak perubahan besar ditengah peningkatan kompetisi ekonomi dari perusahaan-perusahaan asing.

· Bass, et al (1985) mengemukakan tentang proses karismatik dan transformational sebagai sebuah riset dan teori.

· Transformational leadership merefer kepada proses yang mempengaruhi perubahan-perubahan besar dalam sikap dan asumsi dari anggota-anggota organisasi dan membangun komitmen untuk misi organisasi, objectives dan strategies. Konsep tersebut mendeskripsikan proses leadership yang mengakui outcomes sebagai perubahan besar didalam kultur dan strategi organisasi dalam sistem sosial.

· Transformasional leadership mempengaruhi subordinatnya tapi dampak pengaruh adalah empower subordinate untuk berpartisipasi dalam proses transformasi organisasi, sebagai proses sharing dalam berbagai level subunit organisasi tidak hanya chief executive saja (Burns, 1978).

· Charismatic leadership didefinisikan sebagai proses inspirasi yang unik dan lebih besar daripada sekedar kehidupan (Weber, 1947). Jadi tidak hanya sekedar transformasional tetapi juga idola atau memuja leader sebagai figure hero atau spiritual (Bass, 1985).

· House (1977) indikator charismatic leadership fokus pada individual leader daripada prosesnya. Pengembangan teori ini masih bertahap dan belum ada riset empiris yang mendukung teori tersebut.

a. House’s Charismatic Leadership Theory

    • House (1977) mengemukakan teori yang mengidentifikasi bagaimana charismatic leader dapat terjadi. Teori tersebut menspesifikasi indicator charismatic leadership termasuk sikap dan persepsi pengikut leader.
    • Teori juga menspesifikasi leader traits yang meningkatkan perceived charismatic, termasuk kebutuhan kekuatan ke power, high self-confidence dan strong convictions.
    • Tipikal perilaku dari charismatic leader termasuk impresi managemen untuk maintain pengikutnya confidence dengan artikulasi leader melalui visi yang mendefinisikan tanggung jawab didalam tujuan ideologi untuk membangun komitmen, komunikasi dari harapan-harapan pengikutnya untuk mengklarifikasi harapannya dan ekspresi dari confidence pengikutnya untuk membangun self confidence.
    • Riset dalam ‘pygmalion effect’ dimana kinerja pengikut lebih baik ketika leader mengekspresikan confidence-nya didepan mereka dan men-support beberapa aspek dari teori ini (Eden, et al.,1984).
    • Keterbatasan teori ini adalah dalam additional traits, behavior, indicator karisma dan kondisi yang memfasilitasinya (terutama yang bersifat informal seperti traditional values dan beliefs).

b. House’s Charismatic Leadership Theory

o Versi teori charismatic yang dikemukakan oleh Conger dan Kanungo (1987,1988) didasarkan pada asumsi bahwa karisma adalah fenomena atribut yang berupa behavior dan outcomes associated.

o Behavior meliputi enthusiasme; self sacrifices dan risking personal loss of status, money, dan mempership di organisasi; acting di sikap unconventional.

o Traits attribution dari charisma meliputi: self confidence; impression management skills; cognitive ability needet untuk mengakses situasi dan identifikasi opportunities dan kendala-kendala untuk implementasi strategi dan sensitivitas sosial dan emphatry yang mensyaratkan pengertian akan kebutuhan/needs dan values dari pengikut-pengikutnya.

Teori ini belum pernah dievaluasi sampai saat ini.

c. Burns Theory of Transforming Leadership

o Awal dari teori transformational leadership dikembangkan dari riset deskriptif pada pemimpin politik.

o Burns (1978) mendeskripsikan leadership sebagai proses inter-relationship dimana pengaruh leader ke follower mengubah behavior sebagai responnya atau resistensinya.

o Transformational leadership adalah pandangan antara pengaruh proses mikro level antara individu dan proses level makro dari mobilisasi kekuatan untuk mengubah sistem sosial dan reformasi institusi.

o Menurut Burns, transformasi leader mencari peningkatan konsensus dari pengikut ke idealisme lebih tinggi dan values-nya seperti: liberty, justice, equality, peace dan humanitarianism tidak atas dasar emosi seperti: fear, greed, jealousy atau hatred.

o Pengikut diukur dari ‘everyday selves’ ke ‘better selves’; meliputi seluruh lini baik subordinat maupun peer-levelnya.

o Kontras dengan transactional leadership yang hanya dimotivasi kepentingan pribadi dan birokrasi authority yang melegitimasi power dan respect terhadap aturan-aturan dan tradisi.

d. Bass Theory of Transformational Leadership

o Burns, Bass (1985) mengemukakan teori proses transformasi didalam organisasi dan diferensiasi antara transformasi, karismatik dan transactional leadership.

o Dalam transformational leadership efek bagi pengikutnya adalah penting dan menciptakan values dari tanggung jawab outcomes-nya dengan mengaktifkan higher-order needs dan inducing ke transendental self interest sebagai benefit organisasi. Para pengikut akan merasa trust dan respect kepada leader dan memotivasi lebih dari sekedar harapannya.

o Sedangkan karisma adalah proses pengaruh kepada pengikut dengan melalui strong emotions dan identifikasi pemimpin.

o Dua komponen utama dalam transformational leadership disamping karisma adalah intellectual stimulation dan individualized consideration.

o Intellectual stimulation adalah proses dimana leader meningkatkan kepedulian pengikutnya pada problem dan mempengaruhi pengikutnya untuk melihat problem dalam perspektif baru.

o Individualized consideration adalah bagian dari behavior dari broader categori pada consideration termasuk providing support, encouragement dan pengembangan pengalaman pengikutnya.

o Karisma, intellectual stimulation dan individualized consideration berinteraksi untuk mempengaruhi perubahan pengikutnya dan mengkombinasikan efek yang terjadi antara transformational dan charismatic leadership.

o Transformational leaders mencari empower dan elevate pengikut-pengikutnya dimana charismatic leadership merupakan lawannya pada suatu saat.

o Itu sebabnya beberapa charismatic leader membuat pengikutnya lemah dan tergantung serta loyalitas lebih utama daripada komitmen ke idealisme.

o Transactional leadership tidak hanya berupa insentif dan pengaruh effort tetapi juga klarifikasi dari kebutuhan kerja dalam reward.

o Antara Transformational dan transactional leadership merupakan proses mutual dan leader mungkin menggunakan dua tipe proses tersebut pada waktu dan situasi yang berbeda.

o Riset empiris yang dikembangkan Bass (1985) untuk mengukur leadership behavior, skala untuk karisma dan intellectual stimulation menghasilkan outcomes pengaruh lebih besar daripada behavior.

o Banyak pengaruh/korelasi antara transformational leadership dan kriteria pemimpin yang efektif (Bass, 1985).

o Keterbatasannya adalah dalam hal kuesioner dengan kriteria independent untuk membuat kesimpulan leadership behavior terutama adanya additional transformational behavior yang harus dibandingkan dengan kategori full range of managerial behavior (misal: planning, problem solving, clarifying, monitoring, consultation and delegation, networking, recocnizing, rewarding, team building, informing, dan lain-lain)

e. Riset Deskriptif

o Kebanyakan riset dalam kepemimpinan karismatik dan transformational dilakukan secara deskriptif dan kualitatif.

o Bennis, et al (1985) mengemukakan informasi deskriptif untuk mengidentifikasi karakteristik behaviors, trait dan pengaruh proses untuk transformational leaders yang efektif.

o Roberts, et al (1985) mengemukakan Charismatic Leader merupakan single leader yang dianalisis adalah behavior dari famous leader berdasarkan biografinya dan mengidentifikasi karakteristik kepemimpinannya.

o Riset deskriptif tentang transformational dan charismatic leadership mengemukakan bahwa komunikasi visi memfasilitasi leader’s action dengan menggunakan emotional appeals, simbol-simbol, metaphors, ritual dan event-event dramatikal.

o Komponen intelektual dari visi merupakan hal penting dalam mempengaruhi pengikut-pengikutnya untuk menyampaikan visi yang feasible.

o Conger dan Kanungo menyatakan bahwa visi yang sukses dapat dikembangkan melalui proses daripada hubungan unilateral (Bennis, et al., 1985). Konstribusi keunikan leader merupakan komponen untuk mengintegrasikan visi bagi para pengikutnya dan membuat visi lebih hidup melalui artikulasi persuasif.

4. An Integrating Conseptual Framework

· Segmentasi riset leadership merupakan framework konseptual yang terintegrasi dan merupakan variabel penting agar kepemimpinan efektif.

· Konseptual framework berdasarkan teori-teori yang dikemukakan di atas digambarkan dalam figure sebagai berikut:




· Power, influence tactics dan political tactics sangat penting dalam proses kepemimpinan dan mengubah kultur organisasi seperti yang dikemukakan pada literature transformational leadership.

· Dalam riset yang berkelanjutan, gambar di atas merupakan framework konseptual yang bertransformasi secara integral.

A. Isu saat ini dan Kontroversinya

· Seberapa besar pentingnya leadership dan argumentasi yang mendasari eksistensi leadership merupakan fenomena dalam proses normal saat ini dalam sistem sosial.

1. Is Leadership Important?

ü Pfeffer (1977) menyatakan bahwa organisasi yang efektif tergantung faktor-faktor primer dalam naungan kontrol pemimpinnya, seperti: kondisi ekonomi, pasar, kebijakan pemerintah dan perubahan teknologi

ü CEO dari perusahaan yang dewasa bisa mengevaluasi strengths dan weakness serta potensi untuk membuat improvement dengan kendala-kendala internal (politik intern) dan kondisi eksternal market serta kendala-kendala dalam mempengaruhi level pengikut pemimpin (Kerr, et al., 1986).

ü Riset pada suksesi kepemimpinan merupakan hal yang penting karena perubahan kinerja dapat dipengaruhi setelah perubahan kepemimpinan (Lieberson, et al.,1972).

ü Perubahan dalam Top Leadership akan mengubah kinerja organisasi secara keseluruhan dan seleksi terhadap kriteria kepemimpinan merupakan particular problem.

ü Day dan Lord (1989), menemukan bahwa problem metodologi (misal: kegagalan dalam mengoreksi efek dari skala organisasi, dampak inflasi) tidak dapat dipengaruhi oleh leader dan pengaruh leader baru dapat dihitung melalui kinerja kuantitatif yang dihasilkan.

ü Problem metodologi didalam riset suksesi juga didiskusikan oleh Thomas (1988) dimana menghasilkan bahwa pengaruh moderate dalam kinerja organisasi terjadi setelah beberapa tahun dalam hal tersebut dipengaruhi oleh leader’s skill, kondisi ekonomi pada saat suksesi (krisis atau stabil), kondisi inside dan outside succesor dan berapa besar support dari shareholder dalam mengubah strategi (Brady, et al.,1984).

2. Is Leadership Merelyan Attributional Phenomena?

ü Dengan semakin kompleksnya kondisi organisasi dan dinamikanya maka leader’s digambarkan sebagai figure ‘hero’ yang mempunyai kapabilitas dalam organisasi.

ü Atribut bias terhadap leaders diwujudkan oleh politic leaders dan top eksekutif yang membuat impresi dalam mengontrol event-event tersebut, seperti simbol dan ritual, elaborasi inaugural ceremonics, reinforce kepentingan pemimpin (Pfeffer, 1977).

ü Organizational leaders harus tahu apa yang harus dilakukan dalam rencana-rencananya untuk mewujudkan tujuan organisasi (Bettman, et al., 1983).

ü Riset atribut menunjukkan bias untuk orang yang exaggerate dalam kepentingan leadership sebagai penyebab kinerja organisasi dan riset gagal menunjukkan bahwa leader tidak mempengaruhi kinerja.

ü Konsep penting leadership adalah heroic leader dan impotent figurehead, dimana kinerja organisasi dideterminasi banyak hal ekternal dan internal.

ü Faktor internal termasuk proses kepemimpinan pada semua level, tidak hanya kompetensi dan actions dari CEO (Barnes, et al., 1986).

ü Heroic leader merupakan harapan dalam efektif leadership oleh CEO, yang diharapkan lebih bijak dan lebih berkualitas didalam organisasi; hal tersebut tidak realistis dan leaders adalah tidak selalu berada diantara pengikutnya . Membagi tanggung jawab dalam fungsi kepemimpinan dan empowerment dari subordinate adalah lebih efektif daripada kepemimpinan heroic; tetapi masih banyak orang menyerahkan nasibnya kepada leader dalam organisasi.

3. What Methods Should be used for Studying Leadership?

ü Metode kuantitatif, hypothesis-testing research dan descriptive-qualitative research (Morgan, et al., 1980) merupakan keunggulan dalam riset yang dilaksanakan.

ü Banyak teori berargumen bahwa pendekatan kuantitatif lebih tepat dipergunakan untuk membuat kuesioner tentang behavior dan rating (Lord, et al.,1978).

ü Banyak ahli yang mengalihkan kepada pendekatan kualitatif, metode deskriptif dengan observasi, interview dan studi kasus (House, et al.,1988a). Metode tersebut juga terbatas (House, et al., 1988), karena standard untuk aplikasi dan evaluasi metode kualitatif tidak bisa eksplisit seperti metode kuantitatif tradisional dan interpretasinya subyektif.

ü Untuk itu diperlukan menggunakan multiple metode dalam riset leadership (Jick, et al.,1979).

4. Kesimpulan

ü Pendekatan pendulum berganti pada situasi teoritikal yang lebih balance.

ü Effective leaders concern dengan manusia tetapi tidak konsisten dengan situasi proposisi dimana leaders tergantung pada situasi (Blake, et al.,1982).

ü Teori baru dibutuhkan untuk mendeskripsikan interaksi proses dalam sistem sosial dari waktu ke waktu.

ü Pengembangan potensi manusia dan aktivitasnya pada kebutuhan yang lebih tinggi di organisasi merupakan awal dari humanisme dan kualitas hidup yang lebih baik serta hubungan yang supportive.

ü Tren penting dalam pertumbuhan adalah konsep kepemimpinan yang diusulkan oleh para ilmuwan dan subyek effort untuk menginterpretasikan ambisi yang tidak hanya berdampak nyata tapi juga sesuai hukum alam (Astley, et al.,1985).

ü Ilmuwan ilmiah menginterpretasikan (juga para praktisi) bahwa interpretasi itu sendiri merefleksikan kultur dan values (Calas, et al.,1988).

ü Riset mendatang harus merangkum teori dan alat pengukuran untuk dapat menemukan rahasia sukses kepemimpinan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar