Selasa, 25 Mei 2010

The Interaction of Work Stressors and Organizational Sanctions on Cyberloafing

The Interaction of Work Stressors and Organizational Sanctions on Cyberloafing

by:

Christine A. Henle dan

Anita L. Blanchard


Oleh:

Ruddy Tri Santoso

NIM: T4209012

Program Doktor Ilmu Ekonomi

Universitas Negeri Sebelas Maret

Surakarta

2010

A. Pendahuluan

§ Internet mengubah organisasi melakukan bisnis dengan menawarkan komunikasi yang cepat dan akses informasi dan distribusi bagus.

§ Ke depan internet bisa mengurangi biaya, mengurangi waktu siklus produksi dan efisiensi pasar barang dan pelayanan (Anandarajam, et al.,2000).

§ Dengan benefit-benefit ini, internet menyediakan kepada pegawainya sebuah metode hightech untuk mendukung tugas-tugasnya. Sehingga pegawai dapat menggunakan jangkauan pelayanannya menggunakan teknologi modern tersebut.

§ Cyberloafing refer ke pegawai untuk menggunakan akses internet dan email sepanjang jam kerja yang tidak bertujuan mendukung pekerjaannya (Lim, 2002). Hal tersebut termasuk gurauan email, surfing ke bukan pekerjaan, online shopping, IM, posting ke grup dan download music.

§ Riset sebelumnya menginvestigasi Cyberloafing adalah deskriptif primer (pengecualian adalah Lim, 2002). Studi ini menguji frekuensi dimana pegawai memulai Cyberloafing dan tipe internet yang dikunjungi (Lim, et al., 2002), seperti respon pegawai kepada cyberloafing dengan penggunaan kebijakan internet, monitoring software dan filter dan disiplin (misal: Young, et al.,2004).

§ Investigasi adalah langkah pertama dalam konstrukt cyberloaf. Studi ini mengkaji hubungannya dengan stres tempat kerja seperti ambisius dan konflik tetapi tidak dengan overload, yang pada akhirnya akan membawa kepada sanksi.

§ Riset empiris terhadap cyberloaf sangat penting karena hampir 40% pegawai di US mempunyai akses internet (emarketer, 2003).

§ Survai vault.com (2003) mengindikasikan bahwa 88% responden surfing ke website bukan pekerjaannya selama jam kerja, dengan 66% surfing kemana saja antara 10 menit dan satu jam rata-rata per hari. Juga, 82% pegawai mengirim email yang bukan pekerjaannya pada jam kerja dan 87% menerimanya.

§ Hasil riset Malachowski (2005) cyberloafing merupakan hal yang lazim dalam pekerjaan saat ini.

§ Cyberloafing dapat memberikan dampak positif (misal: meningkatkan kreativitas; Block, 2001), potensi untuk menimbulkan biaya jika behavior seperti ini tidak dikontrol. Seperti metode lain dalam tanggung jawab, cyberloafing menurunkan produktivitas antara 30 – 40% dan tahunan sebesar USD 54 milyar (Conlin, 2000).

§ Oleh karena itu, pegawai kebanyakan menggunakan komputer untuk keperluan personal terutama dalam cyberloafing.

§ Cyberloafing juga dapat menimbulkan masalah hukum seperti harassment (sex, dan lain-lain), copyright (clipart), defamation (chatroom) dan negligent hiring (cyberstalking).

1. Stressors dan cyberloafing

o Stress adalah hal yang normal secara psikofisik akibat respon permintaan atau kondisi dari lingkungan (Selye, 1974). Beberapa jumlah stress diperlukan dalam fungsi normal, sehingga level stress tinggi adalah pengalaman berulang yang merupakan konsekuensi negatif gejala yang dihasilkan (misal: peningkatan tekanan darah, job dissatisfaction, depresi).

o Permintaan lingkungan biasa menyebabkan stress sehingga banyak teori penting yang merupakan variabel intervening didalam hubungan antara stressor dan tekanan/strains (Hart, et al.,1993). Tekanan merupakan potensi dalam stressor yang dapat dihindari dalam strategi. Strains timbul apabila individu tidak efektif dengan stressor di lingkungannya.

o Pegawai menggunakan cyberloafing untuk memanage stressor dan pengalaman pekerjaannya. Sehingga menurut folkman dan Lazarus (1900), stressor menunjukkan kebutuhan yang harus diinvestigasi dengan relationship antara methode coping dan strains. Studi ini merupakan langkah pertama yang menunjukkan hubungan antara stressor, coping dan strains dengan mengeksplorasi stress pekerjaan yang memicu kebutuhan cyberloaf.

o Di bawah ini didiskusikan tiga aturan teori sebagai hubungan antara stressor, cyberloafing sebagai emosional yang fokus pada metode coping dan perceived sanksi organisasi sebagai moderator antara stress pekerjaan dan cyberloafing.

o Menurut role theory (Kahn, et al.,1964) organisasi dipandang sebagai sistem aturan yang dilakukan dari tugas dan tanggung jawab serta motivasi pegawai untuk melakukan aturan tersebut. Pegawai disosialisasikan sebagai aturan bertujuan, memberikan feedback untuk kesuksesan dalam aturan-aturan tersebut, melakukan koreksi untuk meningkatkan kinerja dan sanksi apabila tidak memenuhi kriteria yang diharapkan.

o Idealnya masing-masing aturan berisikan aktivitas yang berulang, aturan-aturan tersebut complicated untuk memenuhi kebutuhan pegawai dalam balance multiple, conflicting atau unclear roles (Katz dan Kahn, 1978). Komplikasi-komplikasi, atau role stressor, induce tension, negatively affect work-related attitudes (Schaubroeck, et al., 1993) dan hurt organizational effectiveness.

o Kahn, et al (1964) memberikan outline tipe-tipe dari role stressor yang dapat menjadi implementasi kesuksesan dari aturan-aturan tersebut. Pertama, role ambiguity yang didefinisikan sebagai ketidakpastian dalam job duties dan expectations, lack of guidelines for appropriate work behaviors, dan unpredictability of behavioral outcomes (Rizzo, et al., 1970). Yang berikut, role conflict merefer kepada permintaan yang incompatible didalam pekerjaan dan dapat termasuk konflik antara permintaan pekerjaan dan sebuah personal value, perbedaan supervisor atau permintaan workgroups dan kebijakan organisasi serta tugas-tugas pekerjaan (Rizzo, et al., 1970). Akhirnya, aturan yang overload dapat dikembangkan ketika pegawai membutuhkan pekerjaan yang lebih reasonable seperti yang diharapkan dalam periode waktu itu (Caplan, 1971).

o Role ambiguity dan role conflict merupakan obyek riset dalam empat puluh tahun terakhir ini dan diidentifikasi sebagai prevalent stressor diantara banyak organisasi yang dipergunakan.

o Meta analisis mengindikasikan stressor merupakan determinan pegawai dalam bekerja, kepuasan kerja dan kinerja tugas (Fisher, et al., 1983). Overload aturan akan berhubungan dengan outcome negatif seperti injuries (Barling, et al.,2002), turnover (Isakkon dan Johannson, 2003) dan bentuk-bentuk lain dari strain termasuk job tension, job dissatisfaction dan anxiety (Perrewe, et al.,2005).

o Dengan demikian, role theory dan riset sebelumnya mengindikasikan bahwa stressor harus dielicitasi untuk memenuhi kebutuhan pegawai untuk coping aktivasi mekanisme dalam menghindari potential strains.

o Coping merefer kepada cognitive dan behavior untuk memanage stressor bahwa appraisal sebagai ancaman ke individu yang bekerja baik (Lazarus dan Folkman, 1984). Ada dua kategori metode coping yaitu: problem-focused dan emotion-focused.

o Metode problem-focused menargetkan perbedaan atau manage stressors perceived sebagai permintaan dan termasuk kebendaan seperti informasi gathering, solusi keseluruhan, pembentukan rencana langkah-langkah, kesimpulan dalam pengalaman yang lalu atau peningkatan effort.

o Kontrasnya, emotion-focused coping deal dengan atau mengurangi distressful emosi gabungan dengan kebutuhan stressor (misal: mengabaikan masalah, berharap pada mujizat, berdoa, tidur, menjauhi diri dari stressor).

o Karakteristik cyberloafing sebagai emotion-focused dengan metode coping dan spesifiknya merupakan penghilangan-penghindaran (escape-avoidance) strategi coping. Metode escape-advoidance emphasize-nya menghindari atau menghilangkan stressor dengan teknik behavior seperti tidur, makan, minum, merokok atau mengontrol substansinya (Folkman, et al.,1986). Cyberloafing adalah behavior lain yang membolehkan pegawai menghilangkan stressor pekerjaan secara sementara untuk menurunkan emosional distressful yang menyertainya.

o Dengan demikian, cyberloafing tidak dipergunakan untuk memanage dengan berbagai tipe stressor. Spesifikasinya adalah merupakan manage mekanisme untuk role ambiguity dan role conflict tetapi bukan role overload.

o Antara role ambiguity dan conflict generate ketidakpastian sebagai sebuah harapan dari pegawai (Rizzo, et al.,1970). Riset sebelumnya mendukung penggunaan cyberloafing untuk memanage role ambiguity dan role conflict.

o Role overload akan berkurang dengan penggunaan cyberloaf (Strongman dan Burt, 2000), sehingga hipotesisnya adalah:

H1 : Role ambiguity will positively related to cyberloafing

H2 : Role conflict will be positively related to cyberloafing

H3 : Role overload will be negatively related to cyberloafing

2. Perceived Organizational Sanctions:

o Sanksi organisasi diterapkan terhadap cyberloafing. Tetapi cyberloafing juga dipergunakan sebagai mekanisme untuk manage stress ketika pegawai mengerti akan sanksi organisasi tersebut.

o Riset survai tentang eksplorasi sanksi organisasi untuk cyberloafing secara deskriptif mengindikasikan tipe sanksi-sanksi yang dipakai (AMA, 2003) sebagai pengaruh bahwa sanksi tersebut adalah efektif (Young dan Case, 2004) atau menguntungkan (Greenfield dan Davis, 2002). Sehingga literatur cyberloafing tidak mengeksplorasi link antara sanksi yang harus dimengerti dan subsequent cyberloafing, riset tentang kontraproduktif behavior menyatakan bahwa sanksi organisasi adalah negatif berhubungan dengan behavior seperti pencurian, minum pada saat tugas dan lamban bekerja (Hollinger dan Clarck, 1982).

o Pegawai yang tidak mengerti beberapa sanksi tersebut dilaporkan dalam level partisipasi pencurian yang lebih tinggi (Hollinger dan Clark,1983). Riset sebelumnya mengeksplor dampak utama dari pengertian sanksi organisasi dalam kontra produktif behavior; dalam riset ini sanksi organisasi dipergunakan sebagai variabel moderator.

o Pegawai akan lebih reluctant untuk menggunakan cyberloafing dalam mengelola role ambiguity dan role conflict ketika pengertian tentang sanksi tersebut. Dengan demikian tidak diantisipasi interaksi antara role overload dan sanksi karena pegawai tidak menyukai penggunaan cyberloafing dalam mengelola overload dan memberikan kondisi stressor, dalam kaitan dengan level dari sanksi maka:

H4 : Perceived organizational sanctions will be negatively related to cyberloafing.

H5 : Perceived organizational sanctions will moderate the relationship between work stressor (role ambiguity and role conflict) and cyberloafing; stressor will be more positively related to cyberloafing when sanctions are perceived as unlikely.

B. Metode

1. Prosedur dan Sample:

b. Partisipan terdiri dari 194 pegawai mahasiswa MBA di Southeastern University.

c. Partisipan merupakan pegawai (paling tidak part-time) dan mempunyai akses internet di kantor.

d. 32 survai diabaikan karena missing data dan partisipan tidak eligible.

e. Final sampel 162 dengan survai lengkap tentang demografi, role stressor, perceived organizational sanctions untuk cyberloafing dan frekuensi terhadap cyberloafing.

f. Partisipan adalah voluntary dan memperoleh ticket $ 25 yang dapat ditarik segera setelah melengkapi informasinya.

g. 59% partisipan adalah laki-laki (N = 96) dan rata-rata usia 26–35 tahun. Mayoritas partisipan: kulit putih (80%), African American (7%), Asian American (6%), other (5%) dan latino (2%).

h. Kebanyakan responden bekerja pada perusahaan > 500 pegawai (64%) dan mempunyai rata-rata kerja 4,38 tahun.

i. Partisipan mempunyai variasi pekerjaan termasuk supervisor (37%), financial (19%), accounting (14%), engineering (11%), lain-lain (8%), IT (6%), sales (3%) dan education (2%).

2. Pengukuran

a. Workplace Stressors

- Role ambiguity dan role conflict diukur menggunakan skala yang dikembangkan Rizzo, et al.(1970).

- Skala role ambiguity mempunyai 6 items

- Skala role conflict mempunyai 8 items

- Role overload diukur dengan skala Caplan’s (1971) menggunakan 9 items yaitu skala kuantitatif subyektif work load.

- Item-item diberi kode, kode lebih tinggi merefleksikan skor role stress dan menggunakan skala 7 dari 1: sangat salah sampai 7: sangat benar.

- Role ambiguity, conflict dan overload mempunyai koefisien α dari 0,80 ; 0,78 dan 0,87.

b. Perceived Organizational Sanctions

- Partisipan diindikasikan memiliki 6 perbedaan sanksi dalam respon cyberloafing menggunakan skala 5 point dari 1: sangat tidak suka sampai 5: sangat suka.

- Item-item tersebut diadaptasi dari AMA (2003) dan termasuk peringatan verbal atau tertulis, disiplin dan dijauhkan dari internet/email.

- Pengukuran ini mempunyai reliabilitas koefisien = 0,83.

c. Cyberloafing

- Mempunyai pengukuran 8 item dari Lim’s (2002) skala cyberloafing dan 14 yang digenerate oleh penulis setelah mereview literatur cyberloafing (lihat lampiran).

- Untuk meminimkan kemungkinan laporan dalam penggunaan internet/email oleh pegawai (misal: pada saat istirahat atau sebelum dan sesudah kerja), instruksi hanya untuk laporan penggunaan komputer secara personal.

- 7 item di drop dari survai karena mereka diindikasikan tidak pernah melakukan aktivitas secara partikular.

- Responden menggunakan skala 5 point untuk menspesifikasi penggunaan dalam cyberloafing dari ranking 1: tidak pernah sampai 5: sangat besar.

- Koefisien α = 0,84.

d. Control Variables

- Karakteristik terbatas dari pengukuran responden adalah dalam hubungan antara stressor dan cyberloafing yang tidak diketemukan.

- Riset sebelumnya menyatakan bahwa pria lebih menyukai internet dari wanita (Morahan-Martin, 2001), hal ini dikontrol dengan gender.

- Usia dikontrol untuk individu antara akhir 20 – awal 30 atau lebih dalam penggunaan internet (Reed, et al.,2005) dan mulai dalam internet abuse daripada individu yang lebih tua (Morahan-Martin, 2001).

- Tenure dikontrol karena riset Holinger, et al (1992) menemukan bahwa pegawai dengan tenure sedikit lebih komitmen dalam behavior kontra produktifnya. Pengalaman dalam internet juga diukur dalam keahlian penggunaan internet yang lebih sering untuk periode yang lebih panjang dan memudahkan pekerjaan (Anandarajan, et al., 2000).

- Akhirnya, prosentase waktu dari internet yang dibutuhkan pegawai dalam tugasnya termasuk harapan individu penggunaan internet secara teratur untuk dapat memperoleh kesempatan lebih dalam cyberloaf (Case dan Young, 2002).

C. Hasil

§ Kinerja CFA (Confirmatory Factor Analysis) dalam konstruk menunjukkan fit model yang baik dengan x2 (371) = 638,62 , p < cfi =" 0,92" rmsea =" 0,07." style="">

§ Deskriptif statistik dan korelasi digambarkan dalam table 1:


§ Analisis korelasi mengindikasikan gender (r = -0,18, p < r =" -" r =" -" r =" 0,20" style="">

§ Role ambiguity berhubungan positif dengan cyberloafing (r = 0,17 , p < style="">role overload (r = 0,26 , p < style="">perceived sanksi organisasi (r = - 0,30 , p < style="">cyberloafing.

§ Tenure dan role conflict tidak signifikan berhubungan dengan cyberloafing.

§ Tabel 2 berisikan hirarkhi analisis regresi yang dipakai dalam uji hypothesis. Variabel kontrol dimasukkan pertama diikuti oleh stressor dalam step 2, organizational sanction step 3 dan kondisi interaksi step 4.


§ Variabel stressor dan sanksi merupakan pusat sebelum kondisi interaksi dibentuk dan indikasi diagnostik multikoliniearitas yang membawa skor variance inflation factor di bawah 10, dimana multikoliniearitas bukan menjadi isu (Myers, 1990).

§ Dalam step 1 dihasilkan bahwa pegawai pria lebih banyak mempergunakan waktu dalam internet untuk meningkatkan kinerjanya dan lebih menyukai cyberloaf.

§ Dalam step 2, stressor merupakan prediksi yang signifikan dalam cyberloafing. Pegawai lebih suka pada cyberloaf ketika mereka perceive role ambiguity (β = 0,21 , p <>mendukung hipotesis 1 dan 2)

§ Kontrasnya pegawai tidak suka pada cyberloaf ketika perceived role overload (β = 0,38 , p <>mendukung hipotesis 3.

§ Step 3 menunjukkan konstribusi sanksi 5% dalam unique variance yang dijelaskan dalam cyberloafing (p <>Sanksi merupakan prediksi negatif dalam sanksi organisasi (β = - 0,23 , p <>mendukung hipotesis 4.

§ Figure 1 dan 2 menunjukkan interaksi antar variabel-variabel penelitian.


§ Hipotesis 5 didukung ditunjukkan dari role ambiguity (β = 0,17 , p = 0,003) dan role conflict (p = 0,21 , p = 0,001) berhubungan hanya pada level rendah cyberloafing dengan sanksi organisasi tetapi tidak pada level tinggi (β = - 0,03 , p = 0,703 , β = - 0,05 , p = 0,524).

§ Terakhir, suppression adalah terjadi dalam hubungan antara role conflict dan cyberloafing (Cohen dan Cohen, 1983). Korelasi pairwise antara role conflict dan cyberloafing mendekati nol tetapi rata-rata statistiknya signifikan.

§ Role conflict dan role overload berkorelasi tinggi (r = 0,02 , p < style="">

§ Role overload merupakan suppressor productive karena interaksinya signifikan dan dalam jangkauan hipotesis ketika role overload removed dari analisis.

D. Diskusi

§ Banyak potensi yang perlu diteliti dalam deviasi pekerjaan (misal: personality traits, norma-norma, sikap dan emosi) melalui riset empiris.

§ Indikasi respon terhadap pegawai yang mempunyai perceived lebih pada role ambiguity atau role conflict akan berespon lebih pada cyberloafing.

§ Kontrasnya, respon terhadap cyberloaf berkurang pada role overload sedangkan pegawai dengan lebih menyukai cyberloaf sebagai responnya ketika sanksi organisasi untuk cyberloafing diterapkan.

1. Implikasi

o Organisasi yang akan mengurangi penggunaan cyberloafing harus mengimplementasi stress management program.

o Organisasi dapat mengurangi role ambiguity dengan klarifikasi job expectations dan duties melalui job analysis, job design, training program dan PA system.

o Tujuan dan harapan yang jelas akan mengurangi role ambiguity.

o Role overload mengurangi cyberloafing, demikian pula dengan kebijakan penggunaan alat elektronik dan sanksi organisasi.

o Penggunaan elektronik harus dimonitor dan dengan software filter dan pegawai harus menandatangani acknowledgement kebijakan tersebut.

o Survai yang dilakukan oleh websense (2002) menemukan bahwa kurang dari 30% perusahaan yang menerapkan disiplin secara verbal dan tertulis atau memberhentikan pegawai karena cyberloafing.

o Tetapi juga harus dipertimbangkan secara paradox manfaat dari cyberloafing dalam efek positifnya.

2. Keterbatasan:

o Datanya bias dalam pengukuran behavior

o Individu sangat sensitif melaporkan penggunaan cyberloafing dalam pekerjaannya sehingga sering kuesioner tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.

o Riset membutuhkan laporan akurat dalam pengukuran behavior dan kontraproduktif behavior dapat diukur melalui partisipasi yang anonim (Bennet dan Robinson, 2000).

o Datanya cross sectional yang menyebabkan interpretasi sebab akibat dari variabel-variabel yang dikaji.

3. Riset yang akan datang

o Harus mengeksplore dimensi dari konstrukt cyberloafing.

o Harus secara disain longitudinal untuk pengolahan datanya.

o Cyberloafing perlu dieksplore secara specific bagaimana efektifitasnya dalam mengurangi stressor.

o Mendeterminasi aturan dalam sanksi organisasi untuk memprediksi cyberloafing.

E. Appendix








1 komentar:

  1. Selamat sore pak Ruddy. Saya mahasiswa akhir yang kebetulan juga mengangkat tema cyberloafing. Saya sedang menemui kesulitan mengenai landasan teori saya yang hanya berasal dari kumpulan jurnal penelitian milik LIm, Theo, dkk. Apakah pak Ruddy mempunyai buku atau sumber teori selain dari jurnal mengenai cyberloafing?
    Terima kasih sebelumnya.
    Saya tunggu jawabannya. :)

    BalasHapus