Senin, 01 Maret 2010

PEMBAHASAN DAN ANALISIS PERMASALAHAN

PEMBAHASAN DAN ANALISIS PERMASALAHAN




Oleh:

RUDDY TRI SANTOSO

NIM: T4209012


PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009



A. Pembahasan:

Kasus Bank Century yang mulai menggulir bagai bola salju pada bulan Juli 2009 sampai sekarang telah menimbulkan sebuah pertanyaan besar bagi masyarakat luas, apakah bail-out Bank Century layak dibiayai oleh pemerintah ataukah tidak? Apakah dengan melikuidasi bank ini akan lebih rendah biaya dan risikonya daripada bail out yang dilakukan tersebut?

Dengan alasan risiko sistemik pada tanggal 20 November 2008, Bank Indonesia bersama-sama dengan Menkeu pada waktu itu memutuskan nasib Bank Century yang sedang dilanda kesulitan likuiditas agar tidak berdampak sistemik ke dunia perbankan nasional (Majalah Tempo, 13 September 2009). Kekuatiran risiko sistemik tersebut paling banyak didengungkan oleh Lapangan Banteng, sehingga upaya penyerahan bank tersebut ke LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) melalui penyuntikan modal sebesar Rp. 632 milyar tetapi ternyata membengkak menjadi Rp. 2,2 trilyun dan pada tanggal 3 Februari 2009 membutuhkan lagi sebesar Rp. 1,55 trilyun untuk tambahan modal, lalu pada tanggal 21 Juli 2009 membutuhkan penambahan lagi sebesar Rp. 630 milyar.

Keputusan pemerintah untuk melakukan bail-out terhadap bank yang bermasalah sejak dahulu itu mengundang banyak kontroversi karena sebelum bail-out dilakukan seharusnya pemerintah meminta Bank Indonesia untuk melakukan audit investigasi terhadap Bank Century yang sudah bermasalah sejak merger pada tahun 2004.

Bahkan pada saat merger dengan Bank Pikko, Danpac dan Bank CIC menjadi Bank Century pada Desember 2004, audit pengawasan BI pernah menyatakan bahwa merger bank ini dilakukan secara tidak prudent karena terdapat penempatan dana pada Surat Berharga Valas posisi Juni 2004 sebesar USD 77 juta (kurang lebih Rp. 770 milyar) yang tidak jelas rating maupun jenis surat berharga tersebut. Dari sebuah sumber yang dipercaya diperoleh data bahwa penempatan dana Surat Berharga Valas tersebut sebenarnya dipergunakan dananya oleh pemegang saham bank tersebut yang notabene juga merupakan satu sumber tetapi menggunakan nama-nama nominee.

Tabel 1 berikut di bawah ini menyatakan kepemilikan saham PT. Bank Century, Tbk. sebelum diambil alih LPS (Lembaga Penjamin Simpanan):

No

Nama

Jumlah Saham

%

Modal Disetor (Rp Juta)

1

2

3

4

5

6

PT. Century Super Investindo

Antaboga Delta Sekuritas

PT. Century Mega Investindo

First Gulf Asia Holding Ltd

Clearstream Banking, SA. Luxemburg

Publik (<>

1,600,325

2,108,978

2,551,972

2,706,801

3,162,273

16,219,828

5,64 %

7,44 %

9 %

9,55 %

11,15 %

57,21 %

124,825

164,500

199,054

211,130

246,657

1,265,146


Total

28,350,177

100%

2,211,312

Sumber: Bank Century

* Keterangan:

- No 1, 2 dan 3 dimiliki oleh Robert Tantular

- No. 4 dan 5 tercatat dimiliki oleh Ravat Ali Rizvi dan Heesham H Warraq dan dahulu

bernama Chincara Capital, Ltd. Berkedudukan di Singapore.

Dari tabel 1 tersebut terlihat peran Single Major Policy yaitu satu kepemilikan pemegang saham yang sama yaitu Robert Tantular. Bahkan First Gulf Asia Holding, Ltd. berasal dari peleburan BVI Company, Chincara Capital Ltd. Singapore yang dimiliki oleh Ravat Ali Rizvi dengan Tommy Tan Buhn Kim yang dikaji lebih lanjut dari akta notaris yang dibuat di Notaris Mattew Leong di Singapore, kedua nama tersebut adalah nama nominee yang dibuat oleh Robert Tantular dan ditunjuk sebagai pemegang saham penggantinya di Bank Century karena Robert Tantular telah dinyatakan tidak lulus fit and proper test oleh Bank Indonesia pada tahun 1999 sehingga sebenarnya sudah tidak layak menjadi pengelola bank di Indonesia. Tetapi karena lemahnya pengawasan Bank Indonesia hal tersebut masih bisa menjadi sebuah ‘Loophole’ bagi konglomerat hitam untuk tetap bertahan di bank yang dimilikinya melalui cara mengganti nama dengan nama-nama nominee dan melalui perusahaan-perusahaan BVI (British Virgin Island) company untuk menjadi pemegang saham bank menggantikan nama pemegang saham lama yang juga dimilikinya.

Sedangkan nama Clearstream Banking, SA. Luxemburg dipergunakan oleh pemegang saham lama bank untuk mengganti nama pemegang saham yaitu Morgan Stanley Inc. Hongkong. Anehnya dengan pola kepemilikan saham seperti ini, yang selalu berganti-ganti setiap tahun, Bank Indonesia sama sekali tidak menaruh curiga bahkan terkesan tau tapi sengaja membiarkan saja. Padahal dengan system ‘Good Corporate Governance’ yang dicanangkan oleh pemerintahan SBY seharusnya Bank Indonesia juga ikut mendukung pemerintahan yang bersih dan aparat yang taat dengan hukum perbankan maupun etika perbankan yang diterapkan di Negara Indonesia.

Dalam Tabel 2 berikut di bawah ini dicantumkan Surat Berharga Valas yang dimiliki oleh Bank Century sebelum diambil oleh LPS pada bulan November 2008:

No

Nama Surat Berharga

Nilai (USD)

Jatuh Tempo

1

2

3

4

5

6

7

8

9

JP Morgan Chase Bank Luxemburg

West LB AG London

Banca Populare di Mileno, London

Nomura Bank Int Plc, London

Nomura Bank Int Plc, London

Lehman Brothers Bankhaus, London

Independence II Notes

West Deutsches LB Bank

US Treasury Strips

USD. 25 juta

USD. 23 juta

USD. 11 juta

USD. 40 juta

USD. 27 juta

USD. 8 juta

USD. 15 juta

USD. 10 juta

USD. 7,4 juta

1 Desember 2008

30 September 2008

30 Oktober 2008

10 Agustus 2006

27 November 2008

25 April 2014

30 Juni 2011

26 Februari 2004

15 Agustus 2011

Total

USD. 211,4 juta

Sumber: Bank Century


Jika dipelajari secara historic bahwa pembelian surat berharga valas maupun penempatannya dilakukan oleh Chinkara Capital, Ltd. pada awalnya sebagai arranger. Dari hal ini saja seharusnya tim pengawas BI harus curiga karena selain berperan sebagai pemegang saham juga bertindak sebagai fund arranger yang memperoleh fee dari penempatan dana banknya sendiri.

Tetapi mengapa kasus-kasus perbankan yang sangat teknis ini tidak menimbulkan sedikitpun kecurigaan dari para pejabat pengawas Bank Indonesia? Apakah selama ini mereka yang mengaku berpendidikan tinggi bahkan alumni lulusan Perguruan Tinggi dari luar negeri hanya sekedar menguasai teori tanpa mengerti praktek di lapangan yang sebenarnya.

Sebenarnya pada saat sebelum itu sudah banyak orang internal dari Bank Century, Tbk. terutama yang berasal dari Bank CIC Internasional, Tbk. berusaha mengungkapkan kejadian yang sebenarnya di bank tersebut pada tahun-tahun sebelumnya bahkan apa yang terjadi dengan pemegang saham bank tersebut maupun tipu muslihat yang dilakukannya (baik itu mulai dari penempatan surat berharga valas di luar negeri kemudian dibuat perjanjian back to back ke pemegang sahamnya, transaksi pembelian emas di luar negeri yang dilakukan secara fiktif di LME (London Metal Exchange), lalu pencairan deposito berjangka milik deposan besar untuk menambah setoran modal pemegang saham di bank tersebut, penerbitan letter of credit dengan dokumen-dokumen impor dan ekspor fiktif bagi keuntungan pemegang saham melalui fasilitas diskonto L/C dan negosiasi wesel ekspor, dan lain-lain.

Dari pembahasan terhadap tabel 2 tersebut di atas sebenarnya BI harus sadar bahwa pembelian Surat Berharga JP Morgan Chase Bank, Luxemburg sebesar USD. 25 juta hanya dipergunakan sebagai trick untuk melakukan Back to Back ke pemegang saham demi setoran modalnya ke Bank Century yang kemudian dinamakan Clearstream Banking, SA. Luxemburg. Demikian pula dengan surat berharga lain yang mengambil domisili hokum di London yang akhirnya dana tersebut bermuara secara back to back ke First Gulf Asia Holding Ltd. yang mengambil domisili hokum di Irlandia Utara.

Dari hal ini terlihat betapa lemahnya pengawasan aparat Bank Indonesia untuk bertindak terhadap uji fit and proper test pemegang saham Bank Century yang sudah secara kasat mata kelihatan merupakan tricky dari pemegang saham lama Bank Century.

Permasalahan terakhir yang muncul belakangan dan menjadi bola liar kasus Bank Century adalah adanya reksadana fiktif Antaboga sekuritas yang berasal dari pemindahan dana deposito nasabah di Bank Century pada awalnya ke reksadana Antaboga sekuritas yang hanya bermodalkan Rp. 32 milyar dan sama kepemilikannya dengan Bank Century dan menawarkan bunga lebih tinggi daripada deposito bank serta tidak dikenai pajak penghasilan terhadap bunga yang diperoleh dari penempatan dana tersebut.

Jumlah yang dipindahkannya-pun tidak tanggung-tanggung yaitu sebesar Rp. 1,5 Trilyun dengan tawaran bunga antara 10-15 % per tahun dan semua bebas pajak dan berbagai iming-iming hadiah seperti emas dan berlian. Kesemua aktivitas pemasaran pemindahan dana deposito dari Bank Century ke Antaboga sekuritas tersebut melibatkan seluruh pemimpin cabang dan bagian pemasaran Bank Century pada waktu itu di seluruh kantor cabangnya.

Proses pemindahan dana tersebut dapat dilihat dalam skema berikut di bawah ini:




Data terakhir yang dihimpun Tabloid Kontan (27 Februari 2009) bahwa kerugian yang timbul dalam Bank Century dan Antaboga adalah sebesar Rp. 2,8 Trilyun yang terdiri dari:

No

Nasabah

Kantor

Jumlah (milyar)

1

Antaboga

Sumatera

Jakarta

Jateng dan Sulawesi

Surabaya dan Bali

Rp. 259 milyar

Rp. 350 milyar

Rp. 187,8 milyar

Rp. 651 milyar

2

Bank Century

Kantor Pusat

Jakarta

USD. 177 juta

(penyimpangan kredit, dll)


Permasalahan Antaboga muncul setelah Bank Century dikuasai oleh pemerintah melalui LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), pertanyaannya adalah mengapa Bank Indonesia tidak mengetahui upaya pengumpulan dana masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan sekuritas tanpa ijin untuk menerbitkan reksadana maupun mengumpulkan dana masyarakat seperti layaknya sebuah bank? Dan mengapa nasabah yang menjadi korban penipuan juga tidak pernah merasa ditipu awalnya? atau mungkin memang karena iming-iming bunga tinggi? dan selama bank serta sekuritas tersebut masih dimiliki oleh pemegang saham yang sama akan tidak bermasalah karena tetap bisa melakukan ‘switching’ penempatan sewaktu-waktu guna mengakali memperoleh penjaminan pemerintah terhadap deposito dengan nominal di bawah Rp. 2 milyar yang dijamin oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan).

Borok permasalahan tersebut akhirnya terkuak setelah LPS masuk sebagai pemegang saham dan nasabah Antaboga mulai merasakan akibatnya karena pemegang saham dan manajemen Antaboga ditahan sehingga tidak dapat melakukan pembayaran bunganya.

Hal ini akhirnya mulai berdampak terhadap kondisi perbankan nasional, dan jika dinilai dengan pikiran lebih jernih permasalahan Antaboga di atas-lah yang membuat Bank Century mengalami kesulitan disamping permasalahan lain dalam penempatan surat berharga valas tersebut.

Permasalahan-permasalahan internal Bank Century tersebut sedemikian rumit tetapi sebenarnya sudah bisa dideteksi dini karena lebih banyak menyangkut ‘moral hazard’ pemegang sahamnya dan bukan menyangkut sistem perbankan nasional secara sistemik. Bahkan dalam permasalahan pemberian kredit yang sudah terjadi dan dilakukan oleh manajemen bank tersebut selalu mengalami kemacetan apabila pinjaman diberikan kepada grup usahanya, kemudian untuk menghilangkan jejaknya kredit-kredit tersebut dihapuskan tetapi booking unitnya dialihkan ke kantor-kantor cabang yang ditunjuk oleh Direksi Bank tersebut demi kepentingan pemegang saham bank tersebut.

Permasalahan yang lebih menyangkut ‘moral hazard’ pemegang saham bank ini seharusnya yang dikaji lebih dahulu daripada mempertimbangkan risiko sistemik perbankan maupun kondisi perbankan lain waktu itu serta efek dominonya menyeret bank-bank lain. Karena setelah itu terjadi kasus Bank IFI milik pengusaha Bambang N. Rachmadi yang dilikuidasi dan tidak menimbulkan gejolak sistemik. Bagaimana bisa dua buah bank dengan kondisi yang sama-sama bermasalah tetapi yang satu tetap dibantu dan di bail out sedangkan yang lain dilikuidasi?

Dalam analisis permasalahan berikut di bawah ini akan dikaji secara obyektif dan mendetil tentang praktek-praktek perbankan yang tidak sehat dari pemegang saham Bank Century yang melanggar hukum perbankan dan etika bisnis yang wajar, tetapi yang mengherankan juga bahwa di dalam laporan keuangan audited bank tersebut tidak pernah dicantumkan penilaian negative bahkan selalu dinyatakan WTS (Wajar Tanpa Syarat).


B. Analisis Permasalahan

Bertolak dari pokok pembahasan tersebut di atas dan jumlah dana yang dipergunakan untuk melakukan bail out Bank Century sebesar Rp. 6,7 trilyun; yang sebelumnya pernah diingatkan oleh Prof. Hendrawan Supratikno di Harian Seputar Indonesia pada bulan Desember 2008 bahwa bail out Bank Century adalah sama dengan BLBI jilid ke-dua, dan hal itu menjadi kenyataan.

Jika direnungkan setahun lalu jika bank tersebut dilikuidasi saja mungkin malah tidak akan merugikan keuangan Negara sebesar ini, tetapi banyak pejabat BI menyatakan bahwa risiko sistemik Bank Century akan menyeret 18 bank lain yang satu peer group dan dapat merugikan keuangan Negara sampai sebesar Rp. 30 trilyun jika pada akhirnya ke semua bank tersebut ditutup. Pernyataan yang terlalu dini ini sebenarnya sulit dibuktikan lebih lanjut karena bank-bank lain yang mengalami permasalahan tersebut; pemegang sahamnya masih memiliki ‘moral hazard’ yang tidak terlalu buruk dibandingkan pemegang saham Bank Century.

Seharusnya pemerintah terlebih dahulu melakukan audit investigasi terhadap kondisi internal bank tersebut sebelum memutuskan bail out, seharusnya pula pemerintah terlebih dahulu menyatakan maupun menyerahkan ke LPS hanya untuk deposan-deposan yang memenuhi persyaratan penjaminan di bawah nilai Rp. 2 milyar dan suku bunga di bawah tingkat suku bunga BI rate. Sedangkan deposan lain dengan nilai > Rp. 2 milyar harus terlebih dahulu dilakukan verifikasi tentang validitas kebenaran data agar tidak salah dalam menentukan pengambilan keputusan apakah di bail out atau tidaknya?

Analisis berikut di bawah ini menyatakan perlu tidaknya melakukan bail out terhadap Bank Century:

1. Posisi Kebutuhan Dana Bank Century:

Neraca

Assesment

CAR (%)

Kebutuhan Modal

31/10/2008

20/11/2008

31/12/2008

31/12/2008

30/06/2008

20/11/2008

23/11/2008

27/01/2009

31/03/2009

24/07/2008

-3,53 %

-35,53 %

-19,21 %

-22,29 %

8 %

Rp. 632 milyar

Rp. 2,655 trilyun

Rp. 2,201 trilyun

Rp. 1,550 trilyun

Rp. 6,762 trilyun


Sumber: Tim Pengawas BI


2. Posisi Kinerja Keuangan Bank Century (dalam trilyun rupiah):

Keterangan

Juni 2009

Desember 2008

Juni 2008

1. Dana Pihak Ketiga

2. Total Asset

3. Laba (rugi) bersih

4. Modal Bersih

5. CAR (%)

6. NPL (%)

7. ROA (%)

8. ROE (%)

9. NIM (%)

10.LDR (%)

5,19

6,6

0,139

0,474

8,25

7,3

4,19

-119,2

0,25

83,98

5,11

5,58

(7,281)

(1,53)

-22,29

10,42

-52,09

-981,63

-0,85

93,16

10,8

14,5

0,045

0,814

15,27

3,13

0,62

9,22

3,84

43,4

Sumber : Laporan Keuangan Bank Century


3. Posisi Pertumbuhan Kredit (dalam trilyun rupiah)

No

Klasifikasi

30/06/2009

30/06/2008

1

2

3

4

5

Lancar

Dalam Perhatian Khusus

Kurang Lancar

Diragukan

Macet

1,9

0,459

0,007

0,097

0,213

4,48

0,073

0,012

0,003

0,122

Jumlah

2,77

4,66


Sumber: Laporan Keuangan Bank Century


Dari ketiga tabel yang disajikan di atas dapat dilakukan analisis keuangan sebagai berikut:

a. Dari point nomor 2 di atas terlihat bahwa bank tersebut mengalami penarikan dana sebesar Rp. 5,69 trilyun selama periode Juni 2008 – Desember 2008; sehingga total asset pun mengalami penurunan drastis dari Rp. 14,5 trilyun (per 30/06/08) menjadi Rp. 5,58 trilyun (per 31/12/08);

b. Laba mengalami penurunan tragis bahkan posisi Desember 2008 menunjukkan kerugian yang harus ditanggung bank tersebut menjadi sebesar (Rp. 7,281) trilyun sehingga CAR pada posisi 31/12/08 menjadi minus (22,29%) dan deficit modal bersihnya menjadi minus (Rp. 1,53) trilyun; atau jika dikalkulasi kebutuhan dana yang diperlukan agar bank tersebut bisa mencapai CAR = 8 % adalah sebesar Rp. 6,762 trilyun (lihat point nomor 1 di atas);

c. Pertanyaannya adalah apakah benar dana pihak ketiga yang dicatat di bank tersebut pada posisi Juni 2008 adalah benar-benar dana masyarakat di Bank Century? Ataukah dana dari Antaboga juga ikut dicatatkan ke bank sehingga terjadi ‘double counting’ dimana dana yang tidak seharusnya dijamin oleh LPS ikut dijamin di bank tersebut;

d. Dari data pinjaman yang diberikan pada point nomor 3 hanya sebesar Rp. 4,66 trilyun pada posisi 30/06/08 dan mengalami penurunan menjadi sebesar Rp. 1,9 trilyun pada posisi 30/06/09; posisi pinjaman macet dan diragukan tersebut jumlahnya tidak terlalu signifikan dan mempengaruhi posisi likuiditas Bank Century sampai bermasalah;

e. Sedangkan dari data awal yang disajikan pemegang saham bank ini telah melakukan intervensi ke manajemen bank untuk menempatkan dananya dalam bentuk surat-surat berharga valas dan berindikasi penyimpangan sebesar USD.240 juta (atau ± Rp. 2,4 trilyun);

f. Kemudian terdapat pemberian kredit fiktif baik dalam bentuk pinjaman murni maupun Letter of Credit senilai USD. 177 juta (± Rp. 1,7 trilyun);

g. Belum lagi pemakaian dana nasabah dalam reksadana Antaboga sekuritas sebesar Rp. 1,5 trilyun, yang keberadaan pembukuannya harus diverifikasi apakah sudah benar dibukukan di Antaboga ataukah juga masih ada di bank (tetapi jika menilik respon nasabah-nasabah Antaboga lain semua memang masih belum terbayarkan, jadi benar masih di pembukuan Antaboga sekuritas)

h. Menilik kebutuhan dana Bank Century yang setelah disuntik dana sebesar Rp. 6,7 trilyun mempunyai CAR 8% maka dapat disimpulkan bahwa memang dana-dana tersebut dipergunakan untuk menambah suntikan modal bank supaya CAR-nya positif dan membayar deposan-deposan yang mencairkan dananya hampir ± Rp. 5,69 trilyun (lihat point a di atas);

i. Sehingga sebenarnya yang dipergunakan untuk menyuntik modal bank sesungguhnya hanya berkisar Rp. 980 milyar (selisih dari Rp. 6,7 trilyun dikurangi Rp. 5,69 trilyun = Rp. 980 milyar;

j. Dana sebesar Rp. 6,7 trilyun itu akan tergerus habis dan membutuhkan dana tambahan lagi apabila para deposan masih terus mencairkan dananya (posisi dana masyarakat per 30 Juni 2009 adalah sebesar Rp. 5,19 trilyun) sedangkan posisi pinjaman diberikan hanya sebesar Rp. 2,77 trilyun, jadi masih selisih Rp. 2,42 trilyun yang bisa di ‘rush’ oleh masyarakat tanpa proteksi harta produktif milik bank;

k. Hal ini masih memungkinkan terjadi karena tingkat kepercayaan masyarakat mulai lemah akibat ketidaktegasan pemerintah menindak bankir-bankir bermasalah dan rendahnya ‘law enforcement’ hokum di negeri ini;

l. Melihat ‘potential loss’ yang sedemikian besar, mengingat modal bersih bank ini hanya tinggal sebesar Rp. 980 milyar (point i) maka pemerintah masih harus berjaga-jaga apabila penarikan dana masih terjadi ± Rp. 1,44 trilyun (selisih antara Rp. 2,42 trilyun dengan Rp. 980 milyar = Rp. 1,44 trilyun

m. Sedangkan reksadana Antaboga sendiri masih terjadi fraud sebesar Rp. 1,5 trilyun oleh pemegang saham lama Bank Century, meskipun aparat penegak belum menemukan asset sebesar Rp. 11 trilyun di Hongkong atas nama pemilik lama Bank Century; hal ini harus diinvestigasi lebih lanjut keberadaan dana tersebut untuk membayar reksadana sebesar Rp. 1,5 trilyun dan sisanya sebesar Rp. 9,5 trilyun harus dikembalikan kepada pemerintah untuk membayar dana bail out sebesar Rp. 6,7 trilyun yang sudah dikeluarkan sampai hari ini, sedangkan sisa dana sebesar Rp. 2,8 trilyun tetap dipergunakan sebagai dana cadangan untuk berjaga-jaga apabila terjadi penarikan dana masyarakat lagi di Bank tersebut.



KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dengan mengkaji hasil pembahasan dan analisa di depan sebenarnya pada saat ini terjadi retorika yang berasal dari para pahlawan kesiangan yang seolah-olah ingin berjasa untuk menyelamatkan uang Negara tanpa mengerti duduk persoalan yang sebenarnya serta masalah internal di dalam Bank tersebut.

Bahkan banyak retorika yang mengatakan bahwa surat berharga valas yang dibeli Bank Century masih bisa naik nilainya jika kondisi ekonomi membaik padahal sudah jelas bahwa semua surat berharga valas tersebut fiktif dan dipergunakan sebagai alat permainan pemegang saham lama untuk menyedot dana bank-nya karena sampai saat ini belum ada ketentuan maupun kepastian hukum di Indonesia tentang seberapa besar bank boleh berinvestasi dalam surat-surat berharga valas, kecuali hanya harus mempunyai rating internasional.

Menilik historis dari pemegang saham lama bank ini seharusnya pemerintah mempertimbangkan faktor likuidasi selain bail out karena secara historis di bank ini sudah sering terjadi ‘fraud’ yang dilakukan pemegang saham lamanya. Dan ongkos likuidasi pun juga membutuhkan biaya besar karena harus membayar talangan dana masyarakat hampir sebesar Rp. 10,8 trilyun belum efek dominonya terhadap bank-bank lain di dalam peer grup Bank Century yang diperkirakan hampir mencapai Rp. 30 trilyun.

Jika Bank Indonesia bisa melakukan antisipasi terhadap hal tersebut tentunya pilihan likuidasi lebih baik dilakukan karena konstribusi dana masyarakat di Bank Century juga hanya sebesar 0,75% seluruh dana masyarakat di perbankan nasional, hanya risiko menanggung kerugian akan lebih besar karena asset produktif bank tersebut hanya sekitar Rp. 4,66 trilyun (posisi 30/06/08) berupa pinjaman diberikan dan mempunyai potensi macet karena banyak kredit fiktif ke pemegang saham lama bank.

Jika diambil nett off bahwa pinjaman yang bisa diselamatkan adalah sebesar Rp. 2,77 trilyun (posisi 30/06/09) maka ‘potential loss’ pemerintah dalam melikuidasi bank tersebut adalah sebesar Rp. 8,03 trilyun (selisih dari jumlah dana masyarakat sebesar Rp. 10,8 trilyun dikurangi pinjaman produktif sebesar Rp. 2,77 trilyun). Tetapi pemerintah masih bisa mengejar dana sebesar Rp. 11 trilyun milik pemegang saham bank di luar negeri sehingga pemerintah masih mampu memperoleh sisa pengembalian sebesar Rp. 2,97 trilyun (selisih antara Rp. 11 trilyun dengan Rp. 8,03 trilyun).

Tentunya hal ini dengan asumsi ‘ceteris paribus’ bahwa asset sebesar Rp. 11 trilyun tersebut bisa dicairkan dan seandainya jika tidak fiktif maupun pemerintah benar-benar bisa melakukan ‘good corporate governance’ untuk menyelamatkan uang negara pilihan untuk melakukan likuidasi Bank Century lebih mudah dilaksanakan prosedurnya dan mengurangi potensi tindak pidana korupsi dalam upaya melakukan ‘bail out’.

B. Saran

Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia seharusnya lebih melakukan uji yang ketat terhadap para pemegang saham bank terutama yang telah terindikasi berbuat nakal dan melakukan kecurangan di bank miliknya.

Peraturan tersebut harus bersifat menyeluruh/ integrated termasuk penegakan hukum yang jelas dan tegas untuk menghukum pelaku-pelaku ‘fraud’ di dunia perbankan.

Penerapan ‘good corporate governance’ sudah saatnya dilaksanakan baik di pemerintahan maupun Bank Indonesia guna menghindari faktor-faktor kecurangan di semua bidang.

Ke depan untuk menindak bank bermasalah adalah lebih baik melakukan likuidasi daripada mem-bail out tetapi tetap dengan memberikan ‘blanket guarantee’ bagi penabung-penabung yang mengikuti aturan pemerintah tersebut.

Audit investigasi terhadap pembayaran deposan-deposan Bank Century sebesar ± Rp. 5,69 trilyun harus dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan dalam pembayaran dana-dana deposan tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Adi Sulistiyono, 2008. ‘Hukum Ekonomi Sebagai Panglima

Koran Tempo

Majalah Tempo, Edisi 7-13 September 2009

Tabloid Kontan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar