Kamis, 18 Februari 2010

Analisis Efisiensi Industri Perbankan Indonesia:

Analisis Efisiensi Industri Perbankan Indonesia:

Penggunaan Metode Non-parametrik Data Envelopment Analysis (DEA)


by:

Muliaman D. Hadad, Wimboh Santoso, Dhaniel Ilyas, Eugenia Mardanugraha





Dipresentasikan oleh:

Ruddy Tri Santoso

PDIE-UNS


Program Doktor Ilmu Ekonomi

Universitas Negeri Sebelas Maret

Surakarta

2009






Abstrak

Penelitian berikut menggunakan pendekatan parametrik dan non parametric (DEA) untuk menganalisa apakah industri perbankan di Indonesia efisien. Efisiensi disini terdiri dari variabel tipe bank menurut konsep API (Arsitektur Perbankan Indonesia) dan ‘input analysisnya’ yang terdiri dari biaya operasional, cost of funds maupun ‘output analysisnya’ yaitu dalam bentuk pinjaman. Dihasilkan bahwa dalam merger analysis, bank swasta devisa nasional lebih efisien untuk melakukan merger, sementara merger tidak selalu menghasilkan ‘yield’ karena efisiensi tersebut.

A. Pendahuluan

Penelitian ini menggunakan pendekatan parametrik dan DEA, tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti tentang efisiensi perbankan melalui kedua pendekatan tersebut. Pendekatan parametrik menghasilkan stochastic cost frontier sedangkan pendekatan DEA menghasilkan production frontier.

Prosedur parametrik untuk melihat hubungan antara biaya sebagai harga input dan variabel eksogen lain serta pendekatan DEA tidak menggunakan informasi dan menggunakan metode non parametrik.

Pendekatan parametrik memasukkan random error pada frontier, sedangkan pendekatan DEA tidak memasukkan random error.

Epstein & Henderson, 1989 mengemukakan bahwa DEA mengidentifikasi unit yang digunakan sebagai referensi yang dapat membantu untuk mencari penyebab dan jalan keluar dari ketidakefisienan dalam aplikasi manajerial serta tidak memerlukan spesifikasi yang lengkap yang menunjukkan hubungan produksi dan distribusi, sedangkan pendekatan parametrik sangat tergantung pada asumsi mengenai data produksi dan distribusi.

Lebih spesifik lagi, Banker (1993), Kneip et al. (1998), Gijbels et al. (1999) & Park, et al. (1997) menunjukkan bahwa pendugaan DEA secara statistik konsisten dengan struktur produksi dan distribusi.

Kelemahan dari DEA adalah tidak dapat memperkirakan adanya sample error yang tidak terhingga. Dalam penelitian ini DEA dipergunakan untuk menganalisis efisiensi perbankan Indonesia.

B. Kajian Teori (Asumsi Klasik) dan Studi Literatur

Konsep yang dipergunakan untuk mendefinisikan hubungan input-output dalam perilaku institusi finansial pada metode parametrik dan non parametrik adalah:

1. The production approach (pendekatan produksi)

2. The intermediation approach (pendekatan intermediasi), dan

3. The asset approach (pendekatan asset)

Pendekatan Produksi

Pendekatan produksi diuji melalui variabel deposit/ simpanan (deposit account) dan pinjaman/ kredit (loans) dan investasi financial (financial investment).

Pendekatan asset menguji kredit/ pinjaman (loans), sedang pendekatan intermediasi lebih banyak mendefinisikan output benar-benar dalam bentuk asset.

Berger & Humprey (1991) mendefinisikan output-output finansial dari sebuah lembaga finansial yaitu pendekatan asset (outputnya kredit atau pinjaman yang diberikan bank dan asset-asset lainnya), pendekatan user cost (output yang mempunyai kontribusi terhadap pendapatan bersih), dan pendekatan value-added (output yang mempunyai konstribusi terhadap value added).

Dalam penelitian ini dianggap bahwa kondisi ekonomi ‘ceteris paribus’ serta terdapat nilai margin tertentu yang dibayarkan pada deposit serta asset dan kewajiban finansial lainnya, sedangkan faktor pinjaman/ kredit akan meningkatkan produksi bersih nilai tambah dari bank tersebut, sedangkan ‘inter-bank’ akan mengurangi produk bersih nilai tambahnya.

Bank merupakan sebuah entitas yang ‘going concern’, yang mengkombinasikan tenaga kerja, modal dan berbagai macam input-input finansial lainnya untuk memproduksi output.

Pendekatan intermediasi mengukur output dalam bentuk rupiah dan inputnya adalah tenaga kerja, modal serta berbagai macam sumber pendanaan.

Berger & Humprey (1991, 1992) mengemukakan beberapa varians dalam pendekatan intermediasi yang menciptakan value added yang tinggi yaitu pinjaman (loans), demand deposit dan time and saving deposits sebagai sebuah output; sedang inputnya adalah biaya tenaga kerja, modal dan biaya dana.

Aly et al., 1990; Hancock, 1991 dan Fixler dan Zieschang, 1992 mengadopsi kerangka ‘user cost’ dengan mengklasifikasikan asset menjadi sebuah output jika return dari asset financialnya melebihi opportunity cost dari investasi, dan sebuah kewajiban (liability) diklasifikasikan sebagai output jika biaya finansial dari kewajiban tersebut lebih kecil dari opportunity costnya.

Pendekatan value added dan user cost cenderung menyarankan sebuah klasifikasi mirip pada pemilihan input dan output sebuah bank, perbedaannya adalah pada klasifikasi demand deposit sebagai sebuah output pada sebagian besar studi user cost yang ada dan sebagai input maupun output ketika pendekatan value added yang diambil.

Freixas dan Rochet (1997) menyarankan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi (the production approach), pendekatan intermediasi (the intermediation approach) dan pendekatan modern (the modern approach).

Pendekatan produksi dan intermediasi mengaplikasikan teori mikro ekonomi perusahaan pada industri perbankan, perbedaannya hanya pada spesifikasi aktivitas banknya.

Sedangkan pendekatan modern memasukkan beberapa aktivitas spesifik dari bank ke dalam teori klasik yang dimodifikasi. Pendekatan produksi mengklasifikasikan aktivitas bank sebagai sebuah produk jasa bagi depositor dan debitur. Faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja dan modal digunakan sebagai input untuk memproduksi output yang diinginkan.

Pendekatan intermediasi bersifat komplemen terhadap pendekatan produksi dan menerangkan aktivitas perbankan sebagai transformator sumber dana dan pinjaman. Sehingga input adalah modal finansial dan output adalah volume pinjaman dan investasi yang outstanding.

Pendekatan modern mengintegrasikan risiko manajemen, terutama mengenai kualitas asset bank dan kemungkinan kegagalan bank dalam mengestimasi biaya. Pendekatan tersebut menurut Freixas dan Rochet, 1997 merupakan pendekatan-pendekatan sebelumnya.

Pendekatan tersebut kemudian dimanifestasikan dalam pendekatan CAMEL berdasarkan rasio, yaitu:

a. Capital Adequacy (kecukupan modal)

b. Asset Quality (kualitas asset)

c. Management (manajemen)

d. Earnings (pendapatan), dan

e. Liquidity (likuiditas)

Yang kesemuanya diturunkan dari tabel-tabel finansial bank dan digunakan sebagai variabel-variabel dalam analisis performance (Mercan & Yolalan, 2000).

Zenios & Soteriou (1999) mengkombinasikan ‘benchmark’ strategis dan efisiensi jasa bank (melalui cabang-cabangnya), metode ini dikenal dengan metode non parametrik untuk menilai kinerja efisiensi dari sebuah Decision Making Unit (DMU) untuk kelompok usaha bank, cabang bank, rumah sakit, dan lain-lain.

Benchmark efisiensi dikembangkan dengan service profit chains (rantai jasa keuntungan). Tiga model dikembangkan pada metode non parametrik dari teknik DEA (Data Envelopment Analysis) sebagai berikut:

a. Model efisiensi operasional (operational efficiency model)

b. Model efisiensi kualitas jasa (service quality efficiency model), dan

c. Modal efisiensi keuntungan (profitability efficiency model)

Penggunaan model tersebut menggunakan data cabang bank komersial, hasil empirisnya mencerminkan masing-masing dimensi tersebut termasuk efisiensi operasional dan keuntungan serta kualitas jasa yang dihasilkan.

Zenious & Soteriou (1999) mengkaitkan operasi, kualitas jasa dan keuntungan dalam sebuah benchmark kerangka efisiensi yang diukur melalui ukuran internal (operasional) dan ukuran eksternal (kostumer), yang mengukur performance dari jasa yang dihasilkan (seperti kualitas) dan garis dasarnya (seperti keuntungan).

Studi di atas terfokus pada jaringan cabang bank yang merupakan jaringan dan berpengaruh signifikan terhadap kondisi bank secara keseluruhan.

Merger dan akuisisi merupakan pilihan agar perbankan di Indonesia lebih efisien terutama dalam menghadapi krisis global. Merger dapat membuat bank dengan manajemen yang lebih baik mengambil alih bank yang kurang baik peningkatan performanya. Diharapkan dengan merger tersebut biaya operasional akan menurun dan meningkatkan keuntungan.

Adanya kelebihan kapasitas dimana operasional bank di bawah skala efisien, produk yang tidak efisien dan berada di luar ‘efficient frontier’, membuat merger dan akuisisi harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini.

Alasan lain untuk melakukan merger dan akuisisi adalah adanya perubahan deregulasi perbankan, inovasi teknologi dan peningkatan kompetensi yang mempengaruhi.

Merger dan akuisisi juga dimaksudkan untuk meningkatkan skala ekonomi dan scope ekonomi, memperbaiki efisiensi dan memiliki ‘market power’ serta meningkatkan ‘size’ manajemen.

Merger mempengaruhi efisiensi biaya dan profit, serta berpotensi memberi keuntungan karena estimasi efisiensi biaya dan profit memungkinkan pemisahan antara perbaikan efisiensi dengan pengaruh market power; sesuatu yang tidak dapat dilihat hanya dari rasio biaya dan profit.

Huizinga, et al. (2001) menemukan bahwa ada perubahan yang signifikan dari skala ekonomi bank di Eropa akibat merger dan akuisisi. Dengan membandingkan bank yang merger dan bank yang tidak merger, diketemukan bahwa dengan merger, bank-bank kecil profit efisiensinya lebih baik dibandingkan dengan bank-bank besar.

Merger cenderung menurunkan efisiensi profit dari bank-bank yang besar, sedangkan efisiensi profit dari bank-bank kecil meningkat. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa tingkat suku bunga deposito cenderung meningkat akibat merger yang mengindikasikan bahwa mereka tidak memperoleh ‘market power’ yang lebih besar.

Dalam penelitian ini juga akan dilakukan analisis merger yang dilakukan oleh bank-bank di Indonesia untuk melihat tingkat efisiensi sebelum dan sesudah merger untuk kemudian dianalisis.

C. Metodologi dan Data Penelitian

Dalam penelitian ini penentuan variabel input dan output dipergunakan untuk studi efisiensi, dan menggunakan ‘asset approach’ (deposito sebagai input) dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Asumsi klasik yang mengukur efisiensi perbankan dengan menggunakan ‘asset approach’ untuk melakukan penelitian empiris manajerial.

2. Fungsi intermediary bank di Indonesia yang mengumpulkan sumber dana dan menyalurkan ke dalam pinjaman.

3. Cost of funds sumber dana perbankan di Indonesia yang didasarkan pada BI rate atau SBI rate.

Menurut Altunbas, Yener, et al. (2001) sebagai perbandingan untuk menghitung efisiensi perbankan di Jerman menggunakan ‘asset approach’ adalah hal-hal sebagai berikut:

Tabel 1. Variabel-variabel berdasarkan pendekatan Altunbas, Yener et al. (2001)


Data yang dipergunakan adalah data yang tersedia di Bank Indonesia tentang laporan bank-bank umum yang berisikan neraca, laporan laba-rugi yang diperoleh dari variabel tersebut untuk dipergunakan dalam penelitian.


Tabel 2. Variabel yang digunakan dalam studi penelitian


Penelitian ini menggunakan metode non parametrik yaitu melalui pendekatan DEA (Data Envelopment Analysis) yang menghitung efisiensi teknis untuk seluruh unit.

Skor efisiensi untuk setiap unit relatif, tergantung pada tingkat efisiensi dari unit-unit lainnya di dalam sampel. Menurut Charnes, Coopers & Rhodes (1978) analisis non parametrik tidak membutuhkan spesifikasi khusus dari bentuk fungsi tertentu untuk menerangkan dan membentuk batasan efisiensi.

Fleksibilitas dari teknik non parametrik membolehkan membentuk beberapa formulasi alternative. Analisa dua versi dari sebuah model DEA yang berorientasi output berdasarkan dua asumsi return of scale yang ada, yaitu: ‘constant returns to scale’ (DEAc) dan variabel ‘returns to scale’ (DEAv).

DEA dapat dipergunakan untuk mengukur skala efisiensi. Total efisiensi teknis didefinisikan dalam bentuk peningkatan proporsi yang sama dalam output bahwa pencapaian usaha sebuah perusahaan mengkonsumsi kuantitas yang sama dari input-inputnya jika dioperasikan dengan asumsi bentuk batasan produksi yang constant returns to scale (CRS). Pengukuran efisiensi teknis murni terjadi pada peningkatan output yang dapat dicapai perusahaan jika menggunakan teknologi yang bersifat variable returns to scale (VRS).

Akhirnya, skala efisiensi dapat dihitung sebagai rasio dari total efisiensi teknis terhadap efisiensi teknis murni. Jika skala efisiensinya = 1, maka perusahaan beroperasi dengan asumsi CRS, sedangkan jika sebaliknya perusahaan tersebut terkarakterisasi dengan asumsi VRS.

Teknik Evaluasi Efisiensi Bank Setelah Merger

Dalam mengevaluasi pengaruh merger pada efisiensi sebuah bank, maka dalam penelitian ini akan dilihat nilai-nilai dari efisiensi sebuah bank sebelum dan sesudah merger dengan menggunakan metode non parametrik.

Analysis yang dihasilkan nantinya dapat menjawab pertanyaan mengenai peningkatan atau penurunan efisiensi hasil merger dari beberapa bank di Indonesia.

D. Hasil dan Analisis

DEA merupakan ukuran efisiensi relative, yang inefisiensi unit-unit yang ada dibandingkan dengan unit lain yang dianggap paling efisien dalam set data yang ada. Sehingga dalam analysis DEA dimungkinkan beberapa unit mempunyai tingkat efisiensi 100% (efisien) dalam waktu tertentu.

DEA juga melihat sumber ketidakefisienan dengan ukuran ‘peningkatan potensial’ (potensial improvement) dari masing-masing input. DEA tidak dapat melakukan uji statistik seperti ekonometri tetapi kedua pendekatan di atas menghasilkan ukuran efisiensi yang mirip jika datanya lengkap dan akurat.

DEA amat rentan dengan adanya angka nol, negatif dan angka kecil yang mendekati nol karena dapat menyebabkan fluktuasi bobot menjadi amat tinggi dan tidak terhingga.

Dalam analisis DEA input dan output tidak boleh negatif, karena angka negative mengimplikasikan sebuah titik kombinasi yang tidak terdapat di dalam ‘closed set’. Disamping itu juga tidak boleh terjadi missing data karena analisis non parametric dengan DEA akan terbatas.

Untuk analisis tahunan bisa dipakai sekitar sembilan belas sampai dua puluh lima data, analisis dibatasi dengan permasalahan di atas dan masih membutuhkan banyak masukan dari ahli perbankan untuk pembuatan model yang baik dengan tingkat keakuratan analisa yang lebih tinggi.

Efisiensi Bank Tahunan

Analisis tahunan dalam melihat efisiensi bank dalam kurun waktu tertentu diharapkan menghasilkan ‘insight-insight’ kondisi tingkat efisiensi perbankan di Indonesia dalam pengambilan keputusan. DEA dapat dipergunakan sebagai alat ukur efisiensi bank tahunan tersebut di atas.

Sedangkan potensi pengembangan industri perbankan dinilai dari input maupun outputnya; seperti dikemukakan di depan input terdiri dari beban personalia dan beban bunga sedangkan output terdiri dari kredit yang dibedakan menjadi kredit pada pihak terkait dengan bank dan kredit pada pihak lainnya serta investasi/ pembelian surat berharga.

Potensi pengembangan input dilihat secara negatif sedangkan untuk output dilihat secara positif. Potensi pengembangan input <> 100% untuk mengembangkan tingkat efisiensi bank secara keseluruhan.

Dari hasil analisis terhadap efisiensi bank tahunan dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu:

- Bank-bank yang berfluktuasi tinggi dalam efisiensinya

- Bank-bank yang berfluktuasi menengah dalam efisiensinya, dan

- Bank-bank yang berfluktuasi stabil dalam efisiensinya

Dari pengklasifikasian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bank dengan volatilitas fluktuasi efisiensi tinggi manajemennya cenderung ‘risk lover’; sedang yang fluktuasinya menengah cenderung ‘risk neutral’ dan yang stabil cenderung ‘risk averse’.

Analisis tersebut baru secara kuantitatif sedang kenyataannya harus dilakukan survai berdasarkan kondisi yang sebenarnya secara kualitatif.

Efisiensi Bank Menurut Kategorinya

Bank-bank dikelompokkan ke dalam lima status bank, yaitu:

  • Bank Persero
  • Bank Swasta Nasional Devisa
  • Bank Swasta Nasional Non Devisa
  • Bank Asing Campuran, dan
  • Bank Pemerintah Daerah

Penilaian efisiensi dilakukan dengan membandingkan efisiensi bank dari setiap kelompoknya sehingga diperoleh skor efisiensi setiap bank berdasarkan pembanding dalam satu kelompok. Setelah itu, bank yang paling efisien dari setiap kelompok bank akan dibandingkan satu sama lain, sehingga dapat diketahui bank dengan status apa yang merupakan bank yang paling efisien.

Hal tersebut disebabkan karena karakteristik yang tidak jauh berbeda pada sebuah kelompok yang menghasilkan estimasi nilai skor efisiensi yang semakin baik, dimana nantinya dapat untuk membandingkan bank yang paling efisien dalam setiap kelompok ke dalam sebuah set bank terpilih.

Skor efisiensi setiap kelompok bank dibandingkan berdasarkan pembanding dalam satu kelompok. Setelah itu, bank yang paling efisien dari setiap kelompok bank dibandingkan satu sama lain; sehingga dapat diketahui bank dengan status apa yang merupakan bank yang paling efisien.

Melalui metode non parametric, dapat dihitung skor efisiensi per kategori, yaitu pertama menghitung skor efisiensi setiap kelompok dan kemudian bank dengan efisiensi yang terbaik pada setiap kelompok itu dibandingkan lagi skor efisiensinya untuk mencari tahu jenis kelompok bank yang paling efisien.

Efisiensi yang paling bagus bernilai 100% sehingga penilaian bank-bank tersebut harus dibandingkan dengan standard tersebut. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa bank-bank yang efisien adalah bank-bank asing campuran.

Hanya efisiensi dalam kelompok tersebut harus dibandingkan dengan kelompok-kelompok bank lainnya agar diperoleh hasil yang lebih akurat.

Efisiensi Bank Antar Kategori Bank

Untuk mengetahui bank yang paling efisien, setiap bank yang paling efisien dalam kategori bank dibandingkan satu dengan yang lainnya. Hasil analisisnya setelah pengolahan adalah sebagai berikut:

Tabel 1

Kelompok Bank Paling Efisien Dari Tahun 1996-2003

Berdasarkan Metode DEA



Dari hasil pengolahan data dapat disimpulkan bahwa kelompok bank yang paling efisien adalah kelompok bank pesero dalam tahun 2001-2003 dan bank swasta nasional devisa untuk tahun 1998-1999 serta bank asing campuran pada tahun 1997.

Bank-bank pesero mampu melakukan ‘improvement’ selama kurun waktu tahun 2001-2003 setelah menawarkan sahamnya ke publik melalui IPO (Initial Public Offering).

Analisis Merger dan Efisiensi

Secara teori merger dan akuisisi dapat meningkatkan kinerja sebuah bank, sehingga perlu diuji apakah efisiensi juga merupakan variabel yang signifikan.

Tabel berikut di bawah ini menyajikan bank-bank yang merger dari tahun 1995 s/d 2003.

Tabel 2

ID Bank-Bank Yang Melakukan Merger

Tabel 3

Efisiensi Bank Sesudah Dan Sebelum Merger Berdasarkan Analisis Efisiensi Tahunan dengan Metode DEA



Kontribusi paling besar terhadap peningkatan efisiensi adalah dari variabel-variabel input sebagai berikut:

Tabel 4

Kontribusi input pada Bank No. id. 23 Setelah Merger Tahun 2003



Kontribusi efisiensi terbesar pada merger terjadi pada output surat berharga agar tidak terjadi kemacetan dalam pembayaran piutang tersebut. Variabel berikutnya adalah input tenaga kerja karena bank yang merger akan melakukan efisiensi tenaga kerja dalam kondisi perekonomian yang sulit.

Variabel berikutnya adalah dalam output yaitu kredit kepada pihak lain yang menyebabkan efisiensi.

Tabel berikut di bawah ini merupakan perbandingan efisiensi bank sesudah dan sebelum merger berdasarkan kelompok bank dengan metode DEA.

Tabel 5

Efisiensi Bank Sesudah Dan Sebelum Merger Berdasarkan Kelompok Bank Dengan Metode DEA



Dalam tabel tersebut terlihat ada 3 (tiga) bank hasil merger yang mengalami penurunan efisiensi yaitu bank dengan ID No. 99,125 dan 147. Penurunan efisiensi tersebut belum terbukti penyebabnya, apakah karena terpengaruh oleh inefisiensi operasional bank lain yang ikut dalam proses merger.

Untuk mengkaji dengan validitas yang benar dan wajar diperlukan penggunaan metode DEA baik per kategori bank maupun antar kategori bank karena ukuran efisiensinya relative berubah.

Analisis tahunan menggunakan set sampel secara keseluruhan yang menunjukkan efisiensi relatif keseluruhan perbankan di Indonesia. Sedangkan analisis per kategori bank hanya menunjukkan efisiensi relatif per masing-masing kelompoknya saja.

E. Kesimpulan dan Implikasi/ Saran

E1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode non parametrik (DEA), dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempunyai potensi pengembangan sangat tinggi untuk meningkatkan efisiensi adalah:

1. Kredit yang terkait dengan bank

2. Surat berharga

3. Pengefisienan input dari variabel beban personalia sebesar 85,75% dan beban bunga sebesar 87,07%

Merger tidak selamanya membuat bank menjadi lebih efisien. Berdasarkan metode non parametrik (DEA) dapat disimpulkan:

1. Berdasarkan data bank yang tidak dikelompokkan, merger meningkatkan efisiensi sebesar 50,8%, dan

2. Berdasarkan data bank yang dikelompokkan kategorinya, merger meningkatkan efisiensi sebesar 34,96%

3. Rata-rata penurunan efisiensi bank sesudah merger 28,96%.

Berdasarkan metode DEA bank yang paling efisien adalah:

1. Dalam kurun waktu tahun 2001-2003 (3 tahun) kelompok Bank Swasta Nasional non Devisa

2. Dalam kurun waktu tahun 1996-2003 (8 tahun) kelompok Bank Swasta Nasional non Devisa

3. Dalam kurun waktu tahun 1997 : Bank Asing Campuran

4. Dalam kurun waktu tahun 1998 dan 1999 : Bank Swasta Nasional Devisa

E2. Implikasi/ Saran

1. Metode DEA harus diimplikasikan untuk memilih antara controlled input atau uncontrolled input, supaya dapat diuji efisiensi terhadap faktor-faktor yang menjadi beban usaha sebuah bank.

2. Juga perlu diimplikasikan perilaku bank yang memaksimumkan output atau meminimkan input serta asumsi constant return to scalenya atau variable return to scale.

3. Menggunakan teknik survai untuk meneliti perilaku bank di Indonesia guna memformulasikan model dan perbandingan dengan hasil empiris yang diperoleh.

1 komentar:

  1. maaf pak, jumlah bank yang digunakan ada brp?
    kalau bank syariah, bisa tidak masuk kategori tersendiri?
    tujuan dari penelitian bapak apa saja ya?
    Trims.

    BalasHapus