PENERAPAN KONSEP ETIKA BISNIS DALAM BISNIS KEPERCAYAAN
* SEBUAH STUDI KASUS PADA KOMUNITAS ARISAN
DI PT. ASLI MOTOR KLATEN
(PERIODE TAHUN 2005 - 2008)
Oleh:
Ruddy Tri Santoso
Program Doktor Ilmu Ekonomi
Universitas Negeri Sebelas Maret
2009
Abstrak
Pembahasan tentang penerapan konsep etika bisnis terutama dalam bisnis kepercayaan arisan amat complicated karena disebabkan bisnis tersebut benar-benar murni bisnis kepercayaan yang mementingkan integritas dan etika bisnis bagi para pelakunya.
Komunitas peserta arisan di masyarakat
Permasalahan yang muncul dalam bisnis arisan sangat berkaitan erat dengan etika bisnis terapan karena bisnis arisan ini tidak dilindungi dengan undang-undang khusus (Lijk specialis) seperti dalam bisnis perbankan atau koperasi yang mempunyai payung hukum sendiri.
Dalam bisnis arisan tersebut perlu dilandasi dengan integritas yang tinggi dan diperlukan pedoman perilaku (code of conduct) dengan penerapan nilai-nilai etika bisnis yang menggambarkan sikap moral para anggota komunitas arisan tersebut; karena dengan tercelanya salah satu anggota komunitas saja maka akan berdampak signifikan terhadap kelangsungan komunitas tersebut dan terganggunya sistem sirkulasi pembayaran uang arisan kepada para pemenang arisan dalam bulan berjalan.
Tulisan ini membahas tentang pentingnya penerapan etika bisnis terapan dalam komunitas bisnis arisan yang saat ini banyak dilaksanakan dalam upaya pencarian dana murah di masyarakat karena rumitnya birokrasi perbankan dalam penyaluran pinjaman.
Dari sisi lain, komunitas peserta arisan sangat ditentukan oleh integritas dan dedikasi peserta arisan dalam menjaga kelangsungan usaha di komunitas tersebut dan kelancaran transaksi keuangan antar peserta arisan.
Dengan demikian, dalam penelitian ini akan dikemukakan pentingnya penerapan etika bisnis dalam hal integritas, dedikasi dan komitmen untuk menjaga kelanggengan komunitas bisnis arisan di masyarakat menengah sebagai alternatif pengganti pendanaan dana perbankan yang relatif lebih mahal dan sulit diperoleh.
I. PERUMUSAN MASALAH
A. Pendahuluan
Etika dan integritas merupakan suatu keinginan yang murni dalam membantu orang lain (Ritha F. Dalimunthe, 2004). Kejujuran yang ekstrim, kemampuan untuk menganalisis batas-batas kompetisi seseorang, kemampuan untuk mengakui kesalahan dan belajar dari kegagalan.
Dunia bisnis sudah seharusnya menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan beretika, meliputi: pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, menghindari sikap 5 K (katabelece, kongkalikong, koneksi, kolusi dan komisi) serta mampu mengatakan yang benar itu benar.
Berbicara tentang moral sangat erat kaitannya dengan pembicaraan agama dan budaya, artinya kaidah-kaidah dari moral pelaku-pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh ajaran serta budaya-budaya yang dimiliki oleh pelaku-pelaku bisnis sendiri. Setiap agama mengajarkan pada umatnya untuk memiliki moral yang terpuji, apakah itu dalam kegiatan mendapatkan keuntungan dalam ber ‘bisnis’.
Jadi moral sudah jelas merupakan suatu tindakan yang terpuji dan pasti memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak (dalam hal ini kejujuran dan konsekuensi merupakan bekal dalam memperoleh kepercayaan satu sama lain).
Moral dan bisnis perlu terus ada agar terdapat dunia bisnis yang benar-benar menjamin tingkat kepuasan, baik pada konsumen maupun produsen.
Menurut UUD 1945 pasal 33 dan GBHN bahwa keadilan dan pemerataan harus diwujudkan seiring dengan perkembangan informasi dan dunia bisnis yang ber ’moral’.
Moral lahir dari orang yang memiliki dan mengetahui ajaran agama dan budaya. Agama telah mengatur seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang sehingga dapat dinyatakan bahwa orang yang mendasarkan bisnisnya pada agama akan memiliki moral yang terpuji dalam melakukan bisnis (Ritha F. Dalimunthe, 2004).
Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya moral dalam berbisnis tidak akan bisa ditentukan dalam bentuk suatu peraturan (rule) yang diterapkan oleh pihak-pihak tertentu. Moral harus tumbuh dari diri seseorang dengan pengetahuan ajaran agama yang dianut budaya dan dimiliki harus mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara sukarela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/ rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika didalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain adalah:
1. Pengendalian diri
Artinya pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang “etis”.
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis di sini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi.
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah ke bawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan di masa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-“ekspoitasi” lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan di masa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan “katabelece” dari “koneksi” serta melakukan “kongkalikong” dengan data yang salah. Juga jangan memaksakan diri untuk mengadakan “kolusi” serta memberikan “komisi” kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha ke bawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang “kondusif” harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada “oknum”, baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan “kecurangan” demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan “gugur” satu demi satu.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti “proteksi” terhadap pengusaha lemah.
Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi di muka bumi ini.
Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi, serta optimis salah satu kendala dalam menghadapi tahun-tahun mendatang yang lebih kompetitif.
II. PRODUK ARISAN DI PT. ASLI MOTOR KLATEN
Arisan sudah membudaya di negara Indonesia sejak jaman kolonialisme Belanda dahulu. Pada penerapannya, produk arisan sangat bervariasi dan beraneka ragam cara pelaksanaannya di lapangan.
Pada saat ini, di jaman yang sudah modern dengan dunia perbankan terbukti bahwa arisan tidak musnah ditelan jaman tetapi malah menjadi sarana untuk mendukung arus konsumerisme dalam pembelian barang-barang penunjang kehidupan modern seperti mobil, motor maupun barang-barang elektronik maupun alat-alat rumah tangga.
Didalam perkembangannya dari waktu ke waktu dan dengan berkembangnya sistem keuangan di negara kita, maka jenis dan variasi arisan pun beragam dari jenis arisan mobil, arisan motor maupun arisan uang.
Sistem dan pola arisan pun beragam, mulai dari jenis arisan berantai dengan konsep Multi Level Marketing (MLM), konsep penawaran (bidding/ piuw) maupun yang hanya model kelompok komunitas tertentu yang perolehannya diatur secara bergilir sesuai hasil undian yang diperoleh.
Yang paling menarik untuk diamati adalah produk kombinasi antar keduanya, yaitu sistem pemenangan arisan dilakukan melalui lelang dengan nilai standard minimum lelang yang sudah disepakati oleh para peserta arisan dalam komunitas tersebut.
Dalam hal ini, komunitas arisan yang biasanya terdiri dari 40-50 peserta arisan tersebut saling mengumpulkan dana dan saling membiayai antar satu peserta dengan peserta lainnya. Sehingga di sini unsur saling menjaga kepercayaan antar peserta arisan dalam komunitas tersebut sangat menentukan bagi kelangsungan usaha pembiayaan dana antar peserta tersebut.
Tatanan ekonomi yang menyangkut etika bisnis dalam usaha arisan sangat tergantung dengan integritas dan dedikasi dari para peserta arisan dalam komunitas arisan tersebut.
Pola arisan yang dilakukan oleh para peserta dalam komunitas arisan di PT. Asli Motor Klaten menggunakan sistem lelang dengan nilai minimum yang ditentukan oleh Panitia Pelaksana Arisan (PPA).
Masing-masing peserta sebelum arisan dilaksanakan telah menanda-tangani
Pada saat seorang peserta memenangkan lelangnya, maka sebelum peserta tersebut mengambil uang tunai dari hasil pemenangan arisan tersebut, yang bersangkutan wajib menyerahkan agunan yang nilainya di appraise oleh pihak appraisal independent yang ditunjuk oleh penyelenggara arisan.
Dalam hal ini sebenarnya penyelenggara arisan sudah berusaha menjaga ‘etika bisnis’ yang wajib ditaati oleh para peserta arisan sehingga para peserta arisan mempunyai komitmen moral untuk tetap membayar angsuran arisannya setiap bulan agar agunan yang diserahkan ke panitia arisan tidak dieksekusi oleh penyelenggara karena tidak terbayarnya arisan yang diikutinya (mempunyai ‘moral obligation’).
Meskipun di sini menurut Ritha F. Dalimunthe (2004) moral sangat erat kaitannya dengan pembicaraan agama dan budaya, artinya kaidah-kaidah dari moral pelaku bisnis sangat erat kaitannya dengan pembicaraan agama dan budaya, artinya kaidah-kaidah dari moral pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh ajaran serta budaya yang dimiliki oleh pelaku-pelaku bisnis sendiri.
Setiap agama mengajarkan pada umatnya untuk memiliki moral yang terpuji, apakah itu dalam kegiatan mendapatkan keuntungan dalam ber’bisnis’; maupun untuk tidak menipu dan tidak membayar hutangnya.
Jadi, moral sudah jelas merupakan suatu yang terpuji dan pasti memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak dalam melakukan transaksi dengan jujur dan konsekuen (penuh tanggung jawab) dalam memeperoleh kepercayaan satu sama lain, yang pada akhirnya akan terjalin kerjasama yang erat dan saling menguntungkan.
Moral dan bisnis perlu terus ada agar terdapat dunia bisnis yang benar-benar menjamin tingkat kepuasan, baik pada konsumen maupun produsen.
Dalam hal ini, salah satu faktor yang tidak dapat ditinggalkan dalam personil pelaku-pelaku bisnis tersebut adalah ‘karakter’; dan karakter menyangkut perilaku pribadi personil yang sangat dipengaruhi oleh moral. Sehingga di sini moral menyangkut ajaran perilaku secara general/ menyeluruh dan karakter menyangkut perilaku individual para pelaku bisnis.
Sehingga dengan demikian dapat dinyatakan bahwa orang yang mendasarkan bisnisnya pada agama akan memiliki moral yang terpuji dalam melakukan bisnis. Berdasarkan ini sebenarnya moral dalam berbisnis tidak akan bisa ditentukan dalam bentuk suatu peraturan (rule) yang ditetapkan oleh pihak-pihak tertentu.
Moral harus tumbuh dari diri seseorang dengan pengetahuan ajaran agama yang dianut budaya dan dimiliki harus mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada sisi yang lebih spesifik/ khusus, moral akan membentuk karakter personil pelaku bisnis.
Kembali ke masalah produk arisan tersebut di atas, di sini terlihat dengan jelas sekali bahwa bagaimana karakter sangat menentukan keberhasilan dan kelancaran sirkulasi perputaran dana tersebut di dalam komunitas arisan di perusahaan tersebut.
Meskipun para peserta arisan mempunyai agunan untuk menjamin kelangsungan arisan tersebut, tetapi akibat yang ditimbulkan jika karakter nasabah tersebut tidak baik sangat signifikan terhadap jalur idam-idaman yang diharapkan terjadi dengan terselenggaranya proses arisan tersebut.
Kemacetan yang ditimbulkan oleh karena karakter anggota komunitas arisan yang tidak bersedia melakukan pembayaran angsuran arisan sangat berpengaruh dan berdampak besar bagi anggota-anggota arisan lainnya karena dalam hal ini masing-masing anggota arisan sebenarnya berhutang kepada anggota lainnya dan kemenangan di awal pelaksanaan arisan sebenarnya merupakan sebuah kepercayaan dari anggota-anggota arisan lainnya.
Dalam pembahasan tersebut terlihat bagaimana etika dalam dunia bisnis sangat dibutuhkan, berdasarkan ini sebenarnya etika sangat berkaitan erat dengan moral dan moral berkaitan dengan karakter personil yang memiliki moral terpuji dalam melakukan bisnis.
Berdasarkan ini sebenarnya moral maupun karakter dalam berbisnis tidak akan bisa ditentukan dalam bentuk suatu peraturan (rule) yang ditetapkan oleh pihak-pihak tertentu. Moral harus tumbuh dari diri seseorang dengan pengetahuan ajaran agama yang dianut budaya dan dimiliki harus mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Moral akan membentuk karakter masing-masing personil, dan apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok.
III. TUJUAN PENELITIAN
- Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengamati dan mencermati bagaimana pentingnya etika bisnis dalam bisnis arisan;
- Khusus bagi pengelola arisan, dalam hal ini menyangkut moral penyelenggaranya untuk menjaga keamanan dana arisan kelolaan tersebut selama berlangsungnya arisan sampai proses pembayaran kepada para peserta arisan dan jiwa besar penyelenggara untuk hanya sekedar memperoleh keuntungan dari fee administrasi arisan dan bukan membawa lari uang arisan masyarakat tersebut untuk mencari untung besar dengan mudah dan merugikan orang banyak;
- Sedangkan bagi peserta arisan etika bisnisnya lebih banyak menyangkut pada karakter pelakunya untuk tetap melaksanakan kewajiban pembayaran arisan tersebut setiap bulannya sampai selesai waktu pelaksanaan arisan tersebut.
IV. PEMBAHASAN
A. Pendahuluan
Dari hasil analisis terhadap data arisan di perusahaan tersebut diperoleh hasil sebagai berikut (per 31 Juli 2009):
1. Jumlah perputaran usaha arisan : Rp. 14.283.132.413,- 2. Pendapatan administrasi : Rp. 854.571.401,- 3. Agunan Dikuasai : Rp. 4.153.750.000,- 4. Jumlah gelombang arisan yang diselenggarakan panitia : 16 gelombang 5. Jumlah angsuran arisan per gelombang : Rp. 1.500.000,- s/d Rp. 25.000.000,- 6. Fee pendapatan administrasi arisan per bulan : 6 % per transaksi 7. Cadangan Penghapusan Aktiva Produktif : ± 29,08 % 8. Jumlah seluruh peserta arisan : ± 640 orang |
Dari gambaran sekilas tentang kondisi keuangan pada posisi tanggal 31 Juli 2009 tersebut terlihat dengan jelas bahwa rasio kemacetan yang terjadi terhadap penyelenggaraan arisan itu mencapai angka: 29,08 %.
Nilai tersebut cukup besar mengingat perputaran usaha arisan dalam tahun berjalan hanya berkisar pada jumlah Rp. 14,283 milyar, sedangkan agunan yang dikuasai senilai Rp. 4,153 milyar atau berkisar antara 29,08 %. Sehingga dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa penyelenggara arisan turut bertanggung jawab apabila terdapat anggota arisan yang tidak membayar angsuran arisan tersebut. Hal ini tercermin dari adanya agunan yang dikuasai penyelenggara arisan sehingga penyelenggara yang berusaha meng-cover pembayaran anggota arisannya yang dikategorikan macet agar kelangsungan usaha arisan tersebut masih tetap berlangsung lancar.
Dalam kasus ini terlihat bahwa pihak perusahaan mempunyai etika bisnis dan moral yang baik sebagai penyelenggara arisan dengan upaya menutup lubang-lubang tersebut bahkan kalau perlu menguasai agunan peserta dan mengganti kewajiban bayar/ angsurannya setiap bulannya agar arisan tersebut tetap berjalan lancar.
Terlihat bahwa dengan semakin membesarnya omset arisan maka risiko kemacetan akan semakin besar (hal ini dicerminkan melalui agunan yang dikuasai), sehingga di sini pemilihan/ penyeleksian terhadap karakter peserta arisan lebih dominan dalam menentukan tingkat kelancaran terlaksananya sebuah arisan yang proper dan prudent.
Sedangkan dari sisi penyelenggara arisan kondisi tersebut di atas sudah cukup mencerminkan bahwa penyelenggara arisan bertanggung jawab terhadap kelangsungan dan kelancaran bisnis usaha arisannya; hal ini dicerminkan melalui upaya maupun usaha penyelenggara untuk menutup para peserta arisan yang mengalami tunggakan pembayaran angsuran arisannya melalui penukaran dengan agunan yang diserahkannya.
B. Analisis Etika Bisnis Dalam Usaha Arisan di PT. Asli Motor Klaten
Menurut Ritha F. Dalimunthe (2004), apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/ rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Mengapa?
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika di dalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh? Di dalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan suatu cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi penggerak motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi.
Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakkan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari makin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabdian para pengusaha terhadap etika bisnis.
Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain.
Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung.
Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu Negara, tetapi meliputi berbagai negara yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan dibidang ekonomi. Jalinan hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait begitu kompleks. Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak yang tertinggal dan dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha belum mendapatkan perhatian yang seimbang.
Pelanggaran etika bisnis itu dapat melemahkan daya saing hasil industri di pasar internasional. Ini bisa terjadi sikap para pengusaha kita.
Lebih parah lagi bila pengusaha
Kecenderungan makin banyaknya pelanggaran etika bisnis membuat keprihatinan banyak pihak. Pengabaian etika bisnis dirasakan akan membawa kerugian tidak saja buat masyarakat, tetapi juga bagi tatanan ekonomi nasional. Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan nama mereka sendiri dan Negara.
Jim Ife (2002) berpendapat bahwa pengembangan komunitas bertujuan untuk melakukan re-establish komunitas tersebut sebagai sebuah lokasi yang signifikan dengan pengalaman manusia dan tempat pertemuan yang dibutuhkan oleh manusia dari segala macam lapisan masyarakat baik itu yang menyangkut social welfare, bisnis maupun elite politik, dan lain-lain.
Asal usul pengalaman manusia dan interaksinya adalah kompleks. Banyak program untuk pengembangan komunitas agar komunitas yang baik tersebut lebih kuat. Dalam hal ini pengembangan komunitas arisan dilakukan bagi kepentingan ekonomi.
Komunitas arisan yang bersifat ekonomi sangat erat berkaitan dengan etika bisnis dan moral karena di sini karakter sangat berperan dalam mendukung kelancaran usaha arisan di perusahaan tersebut di atas.
Dalam kasus perusahaan di atas, penyeleksian awal tentang karakter anggota arisan sangat menentukan dalam menentukan kelancaran usaha komunitas bisnis yang saling mendukung antar anggota tersebut.
Kunci sukses (key success factor) pengelolaan arisan tersebut sangat ditentukan ‘karakter’ personal anggota arisan dalam membentuk komunitas usaha yang bermoral dan ber-etika. Sebenarnya kesan ‘mahal dan sulit’ untuk masuk dalam komunitas tersebut sangat dominan menentukan tingkat keberhasilan/ kelancaran usaha arisan.
Payung hukum dan ‘law enforcement’ (kepastian hukum) sangat diperlukan dalam menunjang kelancaran usaha produk arisan; juga ‘data base’ anggota sangat berperan dalam melihat ‘karakter personal’ nasabah tersebut dalam melakukan pembayaran angsuran arisan setiap bulannya.
‘Community Development’ menurut Jim Ife (2002) sangat diperlukan pada saat ini dimana terjadi krisis dalam ‘human services’ dan kebutuhan akan adanya suatu komunitas arisan. Menurut Kenny (1999) aktivitas komunitas akan terlihat professional, atau anti-profesional, bisa terimprovisasi, ambisius, aktivitas social dan konflik, solidaritas, kohesi dan concesus, radikal, conservative, dan lain-lain.
Krisis di dalam ‘human services’ membuat pembaharuan dalam Community Work, Community Development, Community Organisation, Community Action, Community Practise dan Community Change; yang semua biasa dipakai dalam kebiasaan-kebiasaan di komunitas.
Kondisi community based dipakai dalam berbagai konteks dan selalu mempunyai substansi yang berisi indikasi bahwa pelayanan merupakan sebuah birokrasi yang bersifat konvensional.
‘Community Work’ sering terjadi di dalam krisis dibidang ‘welfare state’ yang dimulai pada awal tahun 1980, sehingga masyarakat membutuhkan komunitas sosial dibidang perekonomian seperti yang diwujudkan dalam bentuk arisan tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya ketidakpastian dan instabilitas atribut-atribut di dunia modern, seperti kondisi sector keuangan dan perbankan. Pierson, 1991; Bryson, 1992; Esping-Andersen, 1990; Goodin, et.al., 1999; Mishra, 1984, 1999; Rodger, 2000 dan beberapa penulis lain seperti Taylor-Gooby (1985) & Beilharz, Considine & Watts (1992) memberikan pertanyaan apakah memang benar fakta-fakta krisis tersebut merupakan atribut-atribut di dalam modern welfare state (Jim Ife, 2002:2).
Dari uraian studi kasus tersebut di atas dapat dikatakan bahwa dalam kasus tersebut di atas ‘individual perspective’ merupakan salah satu variabel penentu kelancaran usaha tersebut (Jim Ife, 2002:49).
Masalah kedua adalah ‘institutional reformist perspective’ yang merupakan struktur dari society tersebut (Jim Ife, 2002:49), hal ini berkaitan erat dengan ‘Justice System’ (courts, police, prison, etc) yang merupakan problem sosial di dalam komunitas agar tetap terjaga arah dan tujuannya bagi kesejahteraan anggota komunitas tersebut.
Perspektif structural yang menyangkut azas kedaulatan usaha tersebut juga harus tetap dipertimbangkan dengan mengedepankan pandangan dari ‘anggota demi anggota’ dan bukan kepentingan kelompok tertentu dan bukan azas kapitalisme dalam menunjang kesuksesan usaha arisan ini.
Yang terakhir adalah post structural perspective (Foucalt, 1972, 1973, 1979) dimana dalam hal ini perlu disempurnakan tentang arti penting komunitas tersebut dalam menunjang pengembangan bisnis/ usaha masing-masing anggota, modernisasi pencatatan (misal melalui pengolahan informasi berbasis data base peserta dalam sebuah kelompok untuk menunjang kelancaran usahanya tersebut tanpa memerlukan dana perbankan, persamaan pengertian dan persepsi masing-masing anggota, dan lain-lain).
Dalam tabel berikut di bawah ini terdapat berbagai macam perbandingan antara perspektif, sumber yang menjadi ‘blame’ dan solusi pemecahan masalahnya melalui perception of problem, dan lain-lain.
Table. Account of Social Issues
Masing-masing nilai/ value dari keempat pendekatan tersebut mengidentifikasi berbagai aspek dari ‘social issues’ dan ‘social change’, dan tidak realistis terkonsentrasi pengaruhnya antara satu aspek dengan aspek lainnya.
Ditinjau dari sisi filsafat ilmu, bisnis sangat berkaitan erat dengan etika dan moral. Dalam hal ini moralitas merupakan perbuatan-perbuatan atau sistem moral yang berkembang di masyarakat.
Setiap budaya mengungkapkan sistem moralnya dan berkaitan dengan budaya sehingga etika akan merefleksikan berbagai sistem moral. Etika dalam hal ini merupakan upaya menemukan ‘Common Demunator’.
Etika bisnis dalam usaha arisan mengutamakan prinsip-prinsip umum tentang moralitas baik dari sisi penyelenggara arisan maupun pesertanya. Dalam kasus ini etika yang tumbuh adalah sistem moralnya, yang merupakan refleksi-refleksi tentang sistem moral yang berkembang di masyarakat.
Pada saat ini dengan terjadinya krisis moral di masyarakat dimana masyarakat dengan mudah mengalami dekandensi moral, maka diperlukan sebuah sistem penseleksian yang ketat untuk dapat diterima sebagai anggota komunitas tersebut.
Menurut Kalin (1978) deontologi yaitu berbuat baik karena ini merupakan suatu keharusan (kewajiban) wajib muncul dari dalam diri sendiri karena hal tersebut merupakan kategori imperaktif dalam realitanya/ implikasinya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan:
Bisnis arisan di perusahaan tersebut di atas sangat berisiko tetapi juga menghasilkan ‘return’ yang tinggi bagi panitia penyelenggara maupun pesertanya; sehingga dari hal tersebut harus dilindungi dengan rambu-rambu maupun peraturan-peraturan (rules) untuk mengamankan kepentingan masing-masing peserta dan dana masyarakat yang berputar di usaha tersebut dalam satu gelombang.
Selain kejelasan terhadap payung hukum yang dipergunakan untuk melindungi produk arisan tersebut, kriteria kepesertaan termasuk persyaratan jaminan maupun referantor peserta serta jenis pekerjaan anggota komunitas merupakan faktor-faktor pokok penentu kelancaran usaha bisnis arisan ini.
Produk arisan sangat unik dan mungkin hanya ditemukan di wilayah
Jaminan yang diserahkan maupun referantor peserta hanya dipergunakan agar para peserta yang telah memenangkan arisan tersebut mempunyai komitmen moral dalam mengikuti komunitas tersebut sampai berakhirnya masa penyelenggaraan arisan.
Data base kepesertaan terutama yang menyangkut karakter personal sangat bernilai karena dapat dipergunakan sebagai referensi pemberian kredit bagi perusahaan pembiayaan maupun lembaga keuangan bank
Karakter penyelenggara dan peserta merupakan faktor kunci sukses penentu keberhasilan produk penyelenggaraan arisan untuk menggalang dana masyarakat lapisan menengah ke bawah dan menggantikan fungsi bank sebagai penyalur kredit.
2. Saran
Seleksi kepesertaan arisan harus ditentukan bersama-sama dengan peserta yang sudah terbukti karakter personalnya untuk menentukan dapat tidaknya seorang calon anggota baru di komunitas arisan tersebut dapat diterima dalam komunitas tersebut.
Data base anggota komunitas arisan harus dicatat dalam sebuah file tersendiri karena sifat pelaksanaan arisan tersebut berjangka waktu panjang (40-50 bulan); dan dipergunakan sebagai referensi untuk pengambilan keputusan penerimaan anggota di masa yang akan datang berdasarkan ‘record’ masa lalunya untuk mencerminkan ‘personal character’nya dalam melakukan kewajiban pembayaran angsuran tersebut.
Modernisasi dan Teknologi komputerisasi wajib dilaksanakan untuk menyimpan seluruh data nasabah dalam sebuah ‘Customer Information File (CIF)’; yang menyimpan seluruh historis data nasabah dari awal sampai akhir pelaksanaan arisan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dunia Bisnis,
Jim Ife, 2002. Community Development, Person Education
N. Nuryesrnan M, Moral dan Etika Dalam Dunia Bisnis, Bank dan Manajemen, Mei/ Juni 1996.
Purba Victor, Hukum Bisnis Dalam Kegiatan Bisnis
Ritha F. Dalimunthe, Etika Bisnis, e – USU Repository©2004 Universitas Sumatera Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar